Om Swastyastu,
Penyakit Kusta atau Lepra mungkin sudah tidak
asing lagi terdengar di masyarakat. Sebagian besar masyarakat kita masih
memiliki tanggapan negative apabila mendengar kata “Kusta”. Tapi sebenarnya apa
itu penyakit kusta?
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal
sebagai penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya, diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, hingga ditemukan bakteri
Mycobacterium lepromatosis oleh Universitas
Texas pada tahun 2008. Saat
ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan hanya untuk menghargai jerih payah penemunya,
melainkan juga karena leprosy dan leper mempunyai konotasi yang begitu
negatif, sehingga penamaan yang netral lebih diterapkan untuk mengurangi stigma
soseal yang tak seharusnya diderita oleh pasien kusta.
Penyebab
Dan Pengobatan Penyakit Kusta
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh Gerhard
Henrik Armauer Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum dapat
dibiakkan dalam media artificial. M. leprae berbentuk
basil dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, tahan asam dan alcohol serta gram positif,
bersifat aerob dengan masa membelah diri yang cukup lama dibandingkan dengan
kuman lain, yaitu 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari sampai dengan 40
tahun Selain itu, penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta
Multibasiler (MB) kepada orang lain melalui cara penularan langsung. Cara
penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar ahli, kusta
menular melalui saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang
lama dan erat)
Ciri-ciri dari kusta sangat beragam, namun yang
paling utama mengenai kulit, saraf dan membrane mukosa. Seseorang dengan
penyakit ini dapan dikelompokan menjadi: Kusta
multibasiler, dengan tingkat
keparahan yang sedang, adalah tipe yang sering ditemukan. Terdapat lesi kulit
yang menyerupai kusta tuberkuloid namun jumlahnya lebih banyak dan tak
beraturan; bagian yang besar dapat mengganggu seluruh tungkai, dan gangguan
saraf tepi dengan kelemahan dan kehilangan rasa rangsang. Tipe ini tidak stabil
dan dapat menjadi seperti kusta lepromatosa atau kusta tuberkuloid; Kusta tuberkuloid
ditandai dengan satu atau lebih hipopigmentasi makula kulit dan bagian yang tidak berasa
(anestetik); Kusta lepormatosa dihubungkan dengan lesi, nodul, plak kulit simetris, dermis kulit yang
menipis, dan perkembangan pada mukosa
hidung yang menyebabkan penyumbatan hidung (kongesti
nasal) dan epistaksis (hidung berdarah atau mimisan) namun
pendeteksian terhadap kerusakan saraf sering kali terlambat.
Kusta dapat menyerang siapa saja, tapi ada
beberapa orang yang termasuk dalam kelompok yang berisiko tinggi terkena
kusta atau dalam hal ini menjadi lebih rentan terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik
dengan kondisi yang buruk seperti kondisi lingkungan yang tidak baik, air yang
tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain
seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta
dua kali lebih tinggi dari wanita.
Studi yang dilakukan di China dan telah
dipublikasikan dalam New England Journal of Medicine menemukan tujuh mutasi gen yang bisa
meningkatkan kerentanan seseorang terkena kusta. Hal ini bertentangan dengan
apa yang selama ini dipercaya oleh para ahli bahwa kusta bukanlah penyakit yang
diwariskan atau turunan. Peneliti menganalisis gen dari 706 penderita kusta dan
1.225 orang yang tidak mengidap kusta. Didapatkan tujuh versi mutasi gen yang
muncul pada orang-orang penderita kusta. Lima diantara gen tersebut terlibat dalam pengaturan sistem kekebalan tubuh.
Bagaimana dengan pengobatan kusta itu
sendiri? Sebelum tahun 1940an, tidak ada satu pengobatan pun yang ditemukan
dapat menyembuhkan kusta, hingga akhirnya sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an. Pada awalnya ilmuwan
hanya menemukan dapson
sebagai obat anti
kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi
bakteri) yang lemah terhadap Mycrobacterium leprae. Dikatakan bahwa penggunaan tunggal dapson menyebabkan populasi bakteri menjadi
kebal. Pada 1960an, dapson akhirnya tidak digunakan lagi. Kemudian
para ilmuwan mulai melakukan pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik
dari dapson,
dan akhirnya ditemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an.
Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya
merumuskan terapi kombinasi dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali
kekebalan bakteri. Terapi multiobat dan kombinasi tiga obat di atas
pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak
digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi
bakteri.
Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu
cukup sulit untuk masuk ke negara yang endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada
Pertemuan Kesehatan Dunia (WHO) ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan sebuah resolusi untuk menghapus
kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan
mandat untuk mengembangkan strategi penghapusan kusta.
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan dua tipe terapi
multiobat standar. Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta
lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah
pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.
PENGOBATAN
KUSTA DALAM KITAB SUCI HINDU
Ribuan tahun lalu pengobatan penyakit kusta
atau lepra ini telah tercantum di dalam salah satu kitab suci Hindu, Atharvaveda. Dimana dalam kitab suci Atharvaveda I.23.1 dikatakan bahwa : “Rajani (curcuma
longa linn)
menyembuhkan semua jenis penyakit kusta (lepra), apakah ia di tulang ataukah
pada kulit. Ia menyingkirkan bintik-bintik putih pada tubuh. Ia juga
menyingkirkan ubanan pada rambut”. Curcuma Longa Linn (Turmeric) merupakan
sejenis keluarga jahe yang merupakan tanaman herbal rhizomatous.
Masyarakat Indonesia lebih mengenal Curcuma Longa Linn sebagai salah satu rempah-rempah untuk memasak
dan biasa dikenal dengan sebutan “Kunyit”.
Ayurveda,
merupakan metode
pengobatan tradisional masyarakat India mencantumkan bahwa Curcuma Longa Linn (kunyit) ini memiliki banyak manfaat dan khasiat
untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, salah satunya adalah penyakit
lepra. Hal ini yang membuat para peneliti India mulai meneliti kandungan kunyit
dan manfaatnya dalam menyembuhkan.
Salah satunya seperti yang dimuat dalam buku Immunomodulatory Effects of
Curcumin. Immunopharmacol Immunotoxicol karangan Yadav VS, Mishra KP, Singh DP,
Mehrotra S, Singh VK, tahun 2005,
Kurkumin (diferuloylmethane), ditemukan dalam bumbu kunyit, pameran
anti-inflamasi, antioksidan, dan aktivitas kemopreventif. Namun, efek
kurkumin pada tanggapan kekebalan sebagian besar masih belum
diketahui. Dalam studi ini telah diteliti efek kurkumin pada mitogen
(phytohaemagglutinin, PHA) dirangsang proliferasi sel-T, pembunuh alami (NK)
sitotoksisitas sel, produksi sitokin oleh sel mononuklear darah perifer manusia
(PBMC), oksida nitrat (NO) produksi dalam sel makrofag tikus,
RAW-264,7. Selain itu, para peneliti telah melakukan assay pergeseran electromobility
untuk menjelaskan mekanisme kerja kurkumin pada tingkat interaksi protein
DNA. Para
ahli
mengamati curcumin yang menghambat PHA-induced proliferasi sel-T, interleukin-2
produksi, generasi NO, dan lipopolysachharide diinduksi faktor-kappaB nuklir
(NF-kappaB) dan menambah sitotoksisitas sel NK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurkumin paling mungkin
menghambat proliferasi sel dan produksi sitokin dengan menghambat gen target
NF-kappaB terlibat dalam induksi parameter kekebalan tubuh.
Dalam Jurnal berjudul “USADA” PENGOBATAN TRADISIONAL BALI oleh Ir. I Nyoman Prastika, M.Si bahwa kunyit (Curcuma Longa Linn)
ini dapat digunakan sebagai obat luar untuk mengobati penyakit Lepra. Menurut Ir. I Nyoman Prastika, M.Si, kunyit (Curcuma Longa Linn) ini dicampur dengan beberapa bahan tambahan
untuk digunakan sebagai obat Lepra, bahan-bahan dan cara pembuatannya pun
sebagai berikut:
Bahan-bahan yang digunakan
sebagai obat luar:
• Kakap sedah (Sirih
tua) + Jahe + Isen (Lengkuas) + Kapur + Kesune Jangu (Bawang putih)+ Akah Paku Dukut (Akar Sayur Paku)+ Inan Kunyit (Induk Kunyit)
Cara Pembuatan:
• Semua bahan diatas digerus lalu kemudian diboreh (digunakan seperti lulur).
Bahan-bahan yang digunakan sebagai obat dalam
untuk mengobati Lepra, antara lain:
1 buah pinang tua + 1 buah sirih tua + Gambir.
Caranya semua bahan-bahan tadi digerus sampai
halus kemudian ditambahkan air panas
secukupnya, kemudian disaring; airnya diminum 3 kali
sehari (Pagi, Siang dan
Malam).
Sedangkan di dalam Jurnal of Ayurveda and Integrative Medicine, Curcuma Longa Linn mempunyai manfaat penting untuk
meningkatkan sistem pencernaan dan merevitalisasi aktivitas metabolisme tubuh mengingat
salah satu factor penting yang harus diperhatikan pada penderita lepra atau
kusta ini adalah asupan nutrisinya, maka Curcuma
Longa Linn (Kunyit) ini dapat membantu status gizi penderita Lepra menjadi
lebih baik.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa
sejak jaman dahulu kala kunyit (curcuma
longa linn) telah diyakini dapat membantu dalam proses penyembuhan penyakit
lepra. Namun, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menunjukkan seberapa
besar kefektifan dari manfaat kunyit dalam penyembuhan lepra. Sehingga
masyarakat dapat memanfaatkan kunyit dengan sebaik-baiknya sebagai salah satu
pengobatan herbal yang aman dan murah bagi penderita lepra.
Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa ilmu pengobatan
Ayurveda bukanlah ilmu pengobatan tradisional biasa dan tanpa dasar, tetapi
merupakan ilmu pengobatan holistik paling kuno yang dapat disejajarkan dan mungkin
lebih maju dari ilmu kedokteran modern saat ini.
Sehingga dalam Ayur Weda terdapat kesimpulan bahwa kehidupan
merupakan perpaduan antara raga (badan), indriya (indera), manah
(pikiran) dan atma (jiwatman). Seseorang akan dikatakan betul-betul sehat kalau
ia sehat dalam tiga hal tersebut.
Om Dirghayuastu Tad Astu Astu,
Om Awighnamastu Tad Astu Astu,
Om Subhamastu Tad Astu Astu,
Om Sriyam Bhawantu, Sukham Bhawantu, Purnam Bhawantu.
Om A No Badrah Kratawo Yantu Wiswatah.
Om Shanty, Shanty, Shanty, Om.
Penulis: Ketut Lastri Aryati, Amd. Kep., mahasiswa
Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
2 komentar:
thanks informasinya mbak ..
wah jadi tmbah wawasan lagi stelah baca disini http://www.tanyadok.com/kesehatan/kusta-apakah-bisa-disembuhkan
Mudah2.bermanfaat
Posting Komentar
Kami sangat berterima kasih kepada Anda yang berkenan menyampaikan komentar