Rabu, 07 Agustus 2013

Untuk Kita Renungkan: Mengapa Sebagian Umat Kaharingan Ingin Keluar dari Hindu?

Penduduk asli Pulau Kalimantan adalah Suku Dayak. Mereka terbagi dalam 405 sub suku, yang masing-masing mempunyai bahasa dan adat-istiadat sendiri-sendiri. Tjilik Riwut membagi Suku Dayak ke dalam 7 kelompok, yaitu: (1) Dayak Kayan, yang daerah persebaraniniya meliputi Kabupaten Bulungan di Kalimantan Timur dan Serawak di Malaysia; (2) Dayak Punan, yang daerah persebarannya meliputi Kabupaten Berau dan Kutai di Kalimantan Timur; (3) Dayak Iban, yang daerah persebarannya meliputi Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat dan Serawak di Malaysia; (4) Dayak Ot Danum, yang daerah persebarannya meliputi bagian besar Kalimantan Tengah; (5) Dayak Klemantan, yang daerah persebarannya mehiputi Kahimantan Barat bagian selatan; (6) Dayak Ngaju, yang daerah persebarannya mehiputi Kahimantan Selatan dan Kalimantan Tengah bagian Tengah; dan (7) Dayak Kenyah, yang daerah persebarannya meliputi Hulu Sungai Belanyan dan Sungai Mahakam di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur.

Sebelum datangnya agama-agama besar yang diakui sebagai agama resmi oleh pemerintah Indonesia, masyarakat Dayak telah memiliki kepercayaan sendiri, yang disebut Kaharingan. Kepercayaan Kaharingan memuat aturan-aturan kehidupan yang nilai-nilai dan isinya bukan hanya sekedar adat-istiadat, tetapi juga ajaran untuk berperilaku. Kepercayaan Kaharingan ini tidak memiliki kitab suci, melainkan disampaikan secara lisan dan turun-temurun. Menurut kepercayaan Kaharingan, masyarakat Dayak mempercayai banyak dewa di sekitar mereka, seperti dewa-dewa yang menguasai tanah, sungai, pohon, batu, dan sebagainya. Di antara dewa-dewa tersebut, terdapat dewa yang tertinggi, yang sebutannya berbeda-beda di kalangan kelompok suku Dayak satu dengan yang lainnya. Misalnya, Dayak Ot Danum menyebut dewa yang tertinggi mereka Mahatara, sedangkan Dayak Ngaju menyebutnya Ranying Mahatalla Langit. Setiap orang yang akan melakukan sesuatu pekerjaan harus meminta ijin dari dewa-dewa yang bersangkutan agar tidak terjadi bencana, kesialan, sakit, dan sebagainya. Orang Dayak juga mengenal isyarat-isyarat alam apabila hendak bepergian jauh, seperti arah terbang burung, suara burung-burung tertentu, ada ular yang melintas di depannya, dan sebagainya. Hal ini bukan karena orang Dayak tidak percaya adanya Tuhan. Mereka percaya adanya Tuhan, tetapi Tuhan tidak berbicara langsung kepada manusia, melainkan dengan perantara alam atau isyarat-isyarat alam tersebut.

Suku Dayak sangat terbuka dengan pengaruh budaya luar, termasuk di antaranya kehadiran agama-agama besar. Keterbukaan mereka tersebut dimanfaatkan oleh kaum misionaris untuk menyebarkan agama mereka masing-masing. Islam telah masuk ke Kalimantan sejak abad ke-13, dibawa oleh kaum pendatang yang berasal dari daerah lain, seperti dari Jawa, Melayu, Bugis, dan sebagainya. Suku Dayak yang tinggal di kawasan pesisir dan banyak berhubungan dengan para pendatang dari suku-suku lain, banyak yang kemudian beralih memeluk agama Islam. Pada pihak lain, kegiatan misionaris agama Kristen Katholik dan Kristen Protestan telah masuk ke pedalaman Kalimantan dan berjalan dengan gencar sejak abad ke-19. Para mionaris Kristen ini menggunakan media pelayanan sosial, seperti bantuan pendidikan, bantuan ekonomi, dan pelayanan kesehatan. Upaya penyebaran agama-agama besar ini cukup berhasil, terutama dalam merekrut generasi mudanya, sehingga pada saat ini sebagian besar generasi muda Dayak telah memeluk agama Islam, Kristen, atau Katholik. Akan tetapi sebagian dari mereka tetap bertahan pada kepercayaan Kaharingan.

Kedatangan agama-agama tradisi besar tersebut di atas ternyata juga membawa dampak buruk terhadap kehidupan orang-orang Suku Dayak. Hal ini dikarenakan agama-agama tradisi besar pada umumnya memandang kepercayaan-kepercayaan di luar mereka sebagai sesuatu yang eksotik, salah, dan harus diluruskan sesuai dengan ajaran agama mereka. Seorang Dayak yang sudah menganut Islam akan merasa malu mengakui dirinya sebagai orang Dayak. Ia akan mengidentifikasi dirinya sebagai orang Melayu.

Menurut pandangan mereka, orang Melayu dengan agama Islamnya identik dengan kemajuan dan kemoderenan, sedangkan orang Dayak dengan kepercayaan Kaharingan-nya identik dengan ketertinggalan dan kekolotan. Sementara itu keberadaan agama Kristen dan Katholik juga tidak mendukung pelestarian adat-istiadat dan tradisi Suku Dayak. Banyak upacara Suku Dayak yang berhubungan dengan upacara kematian, pemujaan roh nenek moyang yang telah meninggal, dan pemujaan alam lingkungan, seperti upacara Tewah/Dalo, upacara penolak bala dan sebagainya, dilarang karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen dan Katholik. Dengan hilangnya upacara-upacara tersebut, hilang pula nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung di dalam tatanan masyarakat Dayak, seperti pelestarian hutan, rasa menghargai terhadap semua makhluk hidup yang ada di alam lingkungan, penghormatan terhadap leluhur, dan sebagainya.

Pada jaman Orde Baru pemerintah memberlakukan lima agama besar yang resmi diakui di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu Dharma, dan Budha. Hal ini menimbulkan kebingungan tersendiri bagi masyarakat Dayak yang menganut kepercayaan Kaharingan. Di satu pihak mereka harus memilih salah satu dari agama-agama yang diakui pemerintah, sementara di pihak lain ajaran-ajaran yang ditawarkan oleh para misionanis dan penyebar agama tersebut dianggap tidak dapat mewadahi kepercayaan asli mereka. Sebagian dari para penganut kepercayaan Kaharingan memilih agama Hindu sebagai agama resmi mereka karena adanya persamaan mendasar antara keduanya, khususnya dengan yang masih dipraktikkan oleh masyarakat Suku Bali sebagai penganut agama Hindu. Setelah bergabung dengan agama Hindu, maka secara tidak resmi muncul istilah Hindu Kaharingan, yaitu untuk menyebut orang-orang Dayak yang telah memeluk agama Hindu. Konsekuensi logis dari bergabungnya mereka ke dalam agama Hindu adalah dilakukannya pembinaan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai majelis tertinggi Agama Hindu di Indonesia.

Ketika kekuasaan Orde Baru runtuh dan kemudian bergulir semangat reformasi, maka di kalangan umat Hindu Kaharingan pun timbul semangat reformasi. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa Hindu Kaharingan tidak sama dengan agama Hindu sebagaimana yang dianut oleh orang Bali, melainkan merupakan agama yang berdiri sendiri. Pada saat ini mereka tengah memperjuangkan kepada pemerintah agar agama Hindu Kaharingan dapat diakui sebagai agama resmi, sejajar dengan agama-agama lainnya. Mereka juga telah membuat majelis umat tersendiri di luar PHDI. Namun tampaknya, di antara mereka juga belum ada kesepakatan bersama mengenai hal ini. Beberapa di antara mereka menawarkan nama BAKDI (Badan Agama Kaharingan Dayak Indonesia), sebagian lagi menawarkan nama Majelis Hindu Kaharingan.

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah mengapa umat Hindu Kaharingan terpecah menjadi dua? Kebijakan apa yang sebaiknya ditempuh PHDI untuk mengatasi hal ini? Jumlah pemeluk Hindu Kaharingan pada saat ini diperkirakan tidak terlalu besar, hanya sekitar 1,4 juta jiwa yang tersebar di 4 propinsi di Kalimantan, yaitu: Kalimantan Tengah 300 ribu jiwa, Kalimantan Timur 450 ribu jiwa, Kalimantan Barat 650 ribu jiwa, dan Kalimantan Selatan 40 ribu jiwa.

Sebagaimana telah disebutkan, konsekuensi logis dari masuknya kepercayaan Kaharingan ke dalam agama Hindu adalah kewajiban bagi PHDI selaku majelis tertinggi agama Hindu untuk melakukan pembinaan terhadap masyarakat Kaharingan. Di dalam pembinaan ini, kepada mereka diperkenalkan dengan sistem pantheon (ketuhanan), hari-hari besar keagamaan, serta sarana dan prasarana upacara agama Hindu. Pada kenyataannya, yang digunakan sebagai model adalah adat dan tradisi umat Hindu suku Bali. Persoalan menjadi muncul ketika praktik-praktik keagamaan masyarakat Dayak akhirnya mulai didominasi oleh praktik keagamaan Hindu suku Bali, seperti pembuatan tempat ibadah yang mengacu pada bentuk-bentuk pura yang ada di Bali, sesaji yang didominasi oleh bentuk sesaji Bali, pakaian adat Bali, dan sebagainya. Yang terjadi bukanlah pembinaan orang Dayak untuk lebih memahami Hindu, melainkan untuk menerima budaya suku Bali. Sementara itu, sejak dahulu masyarakat Dayak telah memiliki sistem pantheon tersendiri, tempat ibadah sendiri, dan bentuk sesaji tersendiri yang berbeda jauh dengan bentuk sesaji yang ada di Bali.

Berbeda dengan agama-agama besar lainnya, agama Hindu tidak mengenal doktrin yang penyeragaman. Hindu berkembang dalam tradisi ke-bhinnekaan yang di Bali sendiri dikenal sebagai konsep Desa, Kala, Patra (Tempat, Waktu dan Kondisi). Hanya saja, entah mengapa kemudian, ketika berhadapan dengan suku yang berbeda, yang muncul adalah semangat Balinisasi, bukan semangat berdasarkan konsep Desa, Kala, Patra. Penganut Hindu suku Bali, ketika dipertanyakan mengapa agama Hindu di Bali tidak sama dengan di India, akan menjawab dengan menggunakan konsep ini. Tetapi ketika PHDI melakukan pembinaan di kalangan umat Hindu Kaharingan, haruskan mengajarkan membuat banten, merayakan Galungan dan Kuningan, dan mengucapkan Om Swastyastu dan Om Shanti, Shanti, Shantih, Om (sedangkan umat Hindu di India menggunakan salam Namaste, Namaskar, atau Namaskaram)? Haruskah juga mengajarkan Tri Sandhya yang terdiri atas sejumlah bait sebagaimana yang digunakan di Bali dan bukannya lebih baik mengajarkan mantram Gayatri? Haruskah membangun pura bergaya aritektur Bali dengan mendatangkan arsitek tradisional Bali? Dan sesudah pura dengan gaya arsitektur Bali berdiri dengan megah, haruskah mereka datang ke pura dengan pakaian adat Bali?

Pura berarsitektur Bali di Palangka Raya. Sumber: Sudah Ada Tiga Pura di Kota Cantik

Bila jawaban terhadap pertanyaan ini adalah ya maka permasalahan sebenarnya adalah bukan hanya pada adanya sebagian umat Kaharingan yang ingin keluar dari Hindu, melainkan kita menggiring Hindu menghadapi kehancuran kedua di Nusantara. Seharusnya, sebagai konsekuensi dari konsep Desa, Kala, Patra; kita mengakui bahwa Hindu Kaharingan itu ada, sebagaimana juga Hindu Bali, Hindu Tengger, Hindu Batak, Hindu Kei, dan entah Hindu apa lagi. Sudah tidak zamannya lagi pada era desentralisasi masih tetap ingin menyeragamkan. Nama boleh berbeda-beda, sepanjang mengimani Panca Sraddha, selebihnya bhinneka tunggal ika. Bukankah Hindu akan menjadi benar-benar toleran bila orang Hindu suku Bali di Kalimantan sesekali bersembahyang di tempat ibadah Kaharingan? Atau yang dibangun di kota-kota Kalimantan bukanlah pura berarsitektur Bali melainkan disesuaikan dengan arsitektur Kaharingan?

Disadur dengan beberapa perubahan dari: http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1361&Itemid=121 dan http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1362&Itemid=121. Dua alinea terakhir ditambahkan.

22 komentar:

Saya sangat mengapresiasi tulusan anda, mungkin memang sudah saatnya Hindu Nusantara memulai wajah baru dan dikembalikan pada adat dan istiadat masing-masing daerah sesuai dengan konsep desa kala patra.

saya sangat mendukung adanya pembaharuan ini,bukan bermaksud menghancurkan Hindu atau menggolongkan Hindu kedalam perbedaan melainkan meletakkan Hindu kembali pada konsep daerah masing-masing (Desa, Kala, Patra) bukan penyeragaman adat BALI (Balinisasi).

trimakasih

Alit Arsana

sangat miris sekali, ketika konsep agama Hindu yang sebenarnya lebih mengutamakan DESA, KALA , dan PATRA. akan tetapi kurang adanya pemahaman dikalangan Hindu secara menyeluruh, harusnya sesuai dengan motto Bhinneka Tunggal Ika. berbeda-beda tetapi tetap satu, suksme

Dinamisme perlu ditumbuhkan dalam persatuan sesama hindu. Jangan memaksakan budaya bali pada suku lainnya.

Saya dari dulu juga sukanya menyebut Hindu Bali. Bukan Hindu Dharma. Kl Hindu Dharma maka tdk boleh ada Balinisasi. Kita mengkritik Muslim yg kearab2an, tp Hindu Bali juga memiliki mental yg sama.

Jujur krn saya tahu weda dr India mk untuk belajar sy sampai kesana, tapi tdk ada niat mengindiakan bali, tp kebenaran yg dipelajari dr weda yg perlu dilaksanakan, yg memang kadang berbeda dg yg sdh ada di Bali. Tp memang sy rasakan, ada tendensi mHindu nusantara adalah Balinisasi

Saat permasalahan ini melonjak kepermukaan dan seorang Tokoh Hindu kaharingan mengirimkan surat ke DPR dan MPR serta ke Presiden. Saya ikut hadir ke Kemenag RI menghadiri undangan dirjen Hindu untuk membahas masalah ini. Hadir juga seorang tokoh mewakili umat Hindu Kaharingan. Memang Balininsasi-lah yg menjadi salah satu penyebab ketidak puasan meraka, Selain juga masalah pembagian anggaran pembinaan dari pemerintah. Mereka mempersoalkan kucuran anggaran pemeintah hanya tertuju pada umat Hindu Bali. Tempat ibadah yg dibangun di kalimantan juga tempat ibadah Hindu Bali. Bahkan Dosen-dosen di Universitan Hindu Tumpak Penyang-Palangkaraya kebanyakan didatangkan dari umat Hindu Bali. Mereka merasa lama-kelamaan Adat dan tradisi kaharingan bisa habis. Saya mengusulkan atau lebih tepat menhyarankan pada pertemuan tsb. supaya lebih memberdayakan masyarakat Hindu Kaharingan dengan adat dan budayanya di Kalimantan. >>>Krn adat dan budaya Hindu memang Bineka Tuinggal ika tan hana dharma mangrwa, banyak aliran, banyak Dewa, banyak adat.

Setuju Hindu Nusantara eg. Hindu Bali, Hindu Jawa, Hindu Tengger, Hindu Kaharingan, Hindu Batak dll.

PHDI aja yg tidak pERNAH dan MAU mengerti KONSEP Desa, Kala, Patra.... dan kemudian yg perlu dipersalahkan adalah yg tidak malu memilih dan dipilih duduk sebagai PHDI tersebut...

Salam damai, Orang kita yaitu orang bali egois hanya mementingkan diri sendiri,coba wiku-WIKU KITA TURUN GUNUNG.. MEYEBARLUASKAN TATTWA DAN ETIKA. JNGAN HANYA UPACARA YNG DIBESR2KN, BANTU UMA5 KITA DALM MEMBUAT TEMPAT SUCI SESUAI ARSITEKTUR DAYAK.DAN BINALAH TRUS RANGKUL SUPAYA MERASA DIPERHATIKN.

Salam damai, Orang kita yaitu orang bali egois hanya mementingkan diri sendiri,coba wiku-WIKU KITA TURUN GUNUNG.. MEYEBARLUASKAN TATTWA DAN ETIKA. JNGAN HANYA UPACARA YNG DIBESR2KN, BANTU UMA5 KITA DALM MEMBUAT TEMPAT SUCI SESUAI ARSITEKTUR DAYAK.DAN BINALAH TRUS RANGKUL SUPAYA MERASA DIPERHATIKN.

Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.

Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

Saya yakin semangat kita semua sama, yaitu jangan sampai terjadi Balinisasi atas umat Hindu di luar Bali. Namun kenapa Balinisasi tetap terjadi? Balinisasi ini terjadi secara alamiah karena tumbuhnya Hindu diluar Bali juga terjadi secara alamiah tanpa ada suatu badan khusus yang menyebarkan agama Hindu. Yang terjadi adalah penduduk kaharingan, jawa dan daerah lain berbondong bondong ingin memeluk agama Hindu, tetapi tidak ada badan / organisasi yang bisa mengayomi mereka. Akhirnya mereka mengacu ke umat Hindu Bali yg tinggal di daerah mereka. Tapi umat Hindu Bali yg merantau kan jarang sekali yg profesinya agamawan. Mereka tidak siap untuk mengajar agama Hindu. Sehingga kalau ada yg menanyakan ritual agama kepada mereka, yg akan disampaikan tentunya adalah ritual yg mereka pahami yaitu ritual umat Hindu Bali. Jadi maksud mereka sebenarnya bukan balinisasi, tetapi ya mereka memang membagi apa yang mereka tahu.. dan mereka tahunya yg model Bali.
Mungkin solusinya adalah perlu ada lembaga yang fokus mengajar Agama Hindu kepada umat yang ingin masuk Agama Hindu. Lembaga ini bisa mengambil peran yg dilakukan oleh umat Hindu Bali yang sering menjadi narasumber di rantau. Dengan adanya pihak yg memang berkompeten untuk mengajar Agama Hindu, maka ritual Hindu yg dibangun di daerah tersebut tentunya akan sesuai dengan kondisi budaya daerah itu.

Tambahan lagi, selain membuat lembaga tadi, hal ini bisa juga dilakukan dengan memastikan bahwa masing masing dari kita terus belajar agama Hindu dengan baik dan selalu menyiapkan diri kalau ada umat Hindu di luar Bali yg ingin belajar dari kita.

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Hindu adalah ajaran Dharma bukan agama dan Hindu adalah Penyelaras dari nilai-nilai Pakem, Adat, Tradisi dan Budaya yang sudah ada di suatu daerah yang kalo di Bali disebut Desa Kala Patra jadi harusnya PHDI jangan merubah hal itu!!! atau memaksakan ajaran Hindu yang ada di suatu daerah ke daerah lain

Semoga Generasi Muda Hindu adalah Generasi yang cerdas,ulet,kreatif.

Agama Kaharingan merupakan agama suku yang eksis di Indonesia hingga sekarang, sementara agama suku lain di Indonesia banyak yang sudah punah

Agama hindu adalah agama alam. Silahkan memuja pencipta alam sesuai penghayatan di wilayah masing masing. Karena hanya satu Tuhan itu dan dengan cara apapun menyembah Tuhan asal tulus dan kecintaan yang dalam akan dapat menuju-Nya. Agama hanya pedoman/manual untuk manusia yang masih hidup untuk menyadari keberadaan-Nya dan memahami kemana akan kembali.

Kebenaran sejati hanya dalam YESUS

Kebenaran sejati adalah mencari dan melihat ke dlm diri bukan pengetahuan keluar dari pengalaman orang lain alias apa kata buku yg dianggap wahyu di baca dan di imani
Hindu hanya istilah yg di berikan orang2 barat adalah ajaran Dharma yaitu tuntunan untuk mencari kebenaran melalui diri sendiri alias pengalaman pribadi bukan orang lain dengan jalan meditasi dan yoga
Mana yg kai percayai? Orang lain atau diri sendiri? Pikirkanlah!

agama kaharingan yang dianut suku dayak merupakan budaya leluhur

Agama yang besar adalah agama yang bisa tumbuh, membaur dan berkembang di setiap aspek budaya dan tradisi suatu tempat. Di bali saja sebagai contoh desa Trunyan yg tetap melestarikan tradisi leluhurnya tetapi mereka tetap memeluk Hindu sebagai agama pengayom

Posting Komentar

Kami sangat berterima kasih kepada Anda yang berkenan menyampaikan komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites