Alam semesta dan semua isinya merupakan perwujudan Ida Sang Hyang Widhi.
Umat Hindu secara turun temurun sudah diajarkan nilai-nilai untuk
menjaga keharmonisan dan keselarasan lingkungan serta alam semesta,
antara lain dinyatakan dalam bait Puja Tri Sandya: Sarvaprani hitankarah
(hendaknya semua makhluk hidup sejahtera), yang mendoakan kesejahteraan
dan keseimbangan jagat raya dan semua isinya.
Namun dalam beberapa dekade terakhir, isu-isu lingkungan selalu menjadi
pembicaraan hangat di seluruh dunia, sepert isu pemanasan global (global
warming) yang berakibat pada perubahan iklim (climate change),
kepunahan berbagai spesies flora dan fauna, penebangan hutan ilegal,
pencemaran wilayah perairan, kerusakan ozon dan polusi udara. Pada tahun
2006, PBB mengeluarkan laporan berjudul Livestock’s Long Shadow,
dilanjutkan pada tahun 2008 dengan judul laporan Kick the Habit, pada
kedua laporan itu tersaji fakta perusakan lingkungan besar-besaran yang
dilakukan oleh industri peternakan di dunia.
Dalam berbagai penelitian, diperkirakan kegiatan peternakan skala besar
untuk konsumsi manusia berpotensi sebagai penyumbang emisi gas rumah
kaca yang melebihi emisi kendaraan bermotor di dunia, setidaknya
mencapai 51 persen. Hal ini diperburuk dengan pola hujan yang tidak
menentu, menyebabkan sistem persediaan air (water supply) terganggu.
Semua permasalahan tersebut berdampak langsung bagi manusia di bumi.
Pada tataran individu, kesehatan manusia semakin terancam dengan
meluasnya penyakit berbahaya. Kita merasakan bahwa cuaca semakin panas,
terutama di perkotaan. Obesitas dan kelaparan, serta perpindahan
penyakit dari hewan ke manusia menjadi isu hangat dalam dua dekade
belakangan. Lebih dari 65 persen penyakit menular manusia diketahui
ditularkan melalui hewan, antara lain flu burung dan flu babi. Perubahan
iklim merupakan fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia.
Dampaknya pun bersifat global, sehingga memerlukan penanganan yang
holistik dan menjadi tanggung jawab bersama.
Periode 1940 hingga sekarang, tercatat lebih dari 60 perjanjian
internasional yang terkait dengan lingkungan hidup. Terakhir, pada tahun
2007 diselenggarakan konferensi PBB tentang perubahan iklim di Bali,
yang hasilnya disebut Bali Road Map. Agenda utama Bali Road Map berfokus
pada aksi-aksi untuk melakukan kegiatan adaptasi terhadap dampak
negatif perubahan iklim (misalnya banjir dan kekeringan), cara
mengurangi emisi GRK (Gas Rumah Kaca), cara mengembangkan dan
memanfaatkan teknologi yang bersahabat dengan iklim serta pendanaan
untuk mitigasi dan adaptasi.
Upaya-upaya untuk melestarikan lingkungan di Bali sudah dilaksanakan
sejak lama, melalui kearifan lokal yang dimiliki masyarakatnya. Salah
satu kearifan lokal tersebut adalah Upacara Tumpek Kandang, sering juga
disebut Tumpek Uye, upacara ini diselenggarakan pada Saniscara (Sabtu)
Kliwon Wuku Uye yang jatuh setiap 210 hari sekali.
Selain hari Tumpek Kandang, dalam hari-hari raya Hindu di Bali terdapat
juga lima jenis Tumpek yang lain, yaitu Tumpek Bubuh atau Tumpek Wariga,
yakni upacara selamatan untuk tumbuh-tumbuhan, Tumpek Landep, selamatan
untuk senjata, Tumpek Kuningan, selamatan untuk gamelan, Tumpek Wayang,
selamatan untuk wayang dan Tumpek Krulut, selamatan untuk unggas.
Umumnya upacara selamatan untuk unggas ini digabungkan pada hari Tumpak
Kandang/Uye ini.
Selanjutnya, menurut Prof. DR. I Made Titib Ph.D, hari Tumpek Krulut
sama dengan hari Rakshabhanda, Raksha Bandhan atau Rakhi, yakni hari
kasih sayang di India. Rakshabhanda adalah acara khusus untuk merayakan
ikatan emosional dengan mengikatkan benang suci di pergelangan tangan,
sebagai simbol kasih sayang, perlindungan dan doa-doa. Inti dari
perayaan ini adalah kasih sayang kepada semua makhkluk, dan dimaknai
sama sebagai hari Valentine di Eropa.
Dalam Lontar Sundarigama disebutkan, pada Hari Tumpek Kandang, umat
Hindu memuja kebesaran Tuhan sebagai Siva atau Pasupati, terutama dalam
manifestasi beliau sebagai Rare Angon (Sang Hyang Rudra), agar selalu
memberikan anugrah perlindungan dan keselamatan bagi semua makhluk
hidup, terutama binatang ternak dan hewan peliharaan, karena hewan-hewan
tersebut telah berjasa dalam menompang kehidupan manusia di dunia.
Selain itu, makna lain yang terkandung dalam upacara ini adalah upaya
untuk menyucikan jiwa (roh) dari hewan-hewan peliharaan/ternak.
Diharapkan, di kehidupan selanjutnya, para binatang tersebut dapat naik
ke derajat yang lebih tinggi, dan bisa terlahir sebagai manusia.
Sekarang, terkait upacara Tumpek Kandang, bagaimana implementasi nyata
kita untuk membantu menyelamatkan lingkungan dan menghargai semua
mahkluk?
Saat ini banyak orang memilih menjadi seorang vegetarian, sebagai sebuah
alternatif hidup berkualitas di era modern. Di Indonesia masyarakat
masih beranggapan, bahwa orang menjadi vegetarian adalah karena larangan
agama atau aliran kepercayaan (sampradaya) tertentu dan belum menjadi
sebuah gaya hidup. Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa dulu menjadi
seorang vegetarian adalah karena mengikuti ajaran agama, sebagaimana
dalam agama Hindu diajarkan Ahimsa, yang berarti tidak membunuh dan
menyakiti, dan dalam agama Buddha mengenai dharma, cinta kasih dan kasih
sayang terhadap semua makhluk. Namun jika kita maknai lebih mendalam,
sebenarnya vegetarian adalah gaya hidup yang universal dan tidak terkait
dengan agama tertentu.
Menjadi vegetarian bukan berarti orang tersebut tidak suka atau tidak
mampu membeli daging, tentu ada alasan lain yang melatarbelakanginya.
Seiring dengan kemajuan jaman, motivasi orang untuk menjadi vegetarian
pun mulai berkembang, baik karena alasan medis, gaya hidup sehat, bahkan
di sejumlah negara maju bergeser menjadi demi lingkungan dan etika.
Demi lingkungan, karena untuk menghasilkan daging dalam skala besar
diperlukan energi dan sumber daya yang besar pula, yang berimbas pada
kerusakan lingkungan, dan di negara-negara maju hal tersebut menjadi isu
penting. Sedangkan etika berhubungan dengan perilaku manusia yang keji,
kejam dan semena-mena terhadap binatang. Selama manusia belum bisa
menciptakan kehidupan, maka selama itu pula ia tidak berhak mengambil
hak hidup (membunuh) mahkluk lain. Bagi kaum vegetarian, pembunuhan
terhadap binatang sangat dihindari.
You are what you eat, atau Anda adalah apa yang Anda makan, merupakan
ungkapan yang sangat populer di dunia Barat. Perilaku yang kejam dalam
proses memperoleh, memperoses dan mengkonsumsi daging, akan memberikan
dampak negatif bagi orang yang melakukannya. Para penikmat daging
biasanya cendrung agresif, cepat marah, mudah stress dan lebih sering
sakit. Sebaliknya kaum vegetarian cenderung lebih mampu menjaga
kestabilan emosinya dan lebih jarang sakit. Untuk itu, gaya hidup
vegetarian akan memberikan dampak positif bagi fisik-psikis manusia dan
lingkungan hidup sekitarnya.
Perayaan Tumpek Kandang adalah upaya umat Hindu untuk menjaga
keharmonisan antara manusia dan berbagai hewan peliharaannya, baik
unggas, babi, kambing, sapi dan sebagainya. Khusus sapi, dalam kitab
suci Veda, disebutkan mengenai keangungan sapi dalam agama Hindu, bahwa
sapi merupakan hewan yang sangat suci dan sangat mulia. Sapi diibaratkan
sebagai seorang ibu yang memberi makan, memberi susu dan menyayangi
anak-anaknya. Di jaman dahulu, masyarakat agraris menggunakan sapi dan
kerbau untuk membantu proses pertanian dan transportasi, susunya diolah
menjadi susu segar, ghe, yogurt, keju dan lain-lain, sedangkan
kotorannya dipakai sebagai pupuk dan sarana penting upacara Agnihotra.
Sedemikian besar jasa sapi bagi manusia, sehingga agama Hindu dengan
jelas melarang umatnya untuk membunuh dan mengkonsumsi daging sapi,
apalagi di luar kepentingan yadnya atau upacara.
Ironisnya, pembantaian sapi besar-besaran justru terjadi di Bali. Bukan
hanya umat lain dan para wisatawan asing saja yang mengkonsumsi sapi,
namun sekarang banyak umat Hindu yang tidak malu-malu lagi untuk
menyantap olahan sapi, mereka sangat menggemari makanan-makanan berbahan
dasar sapi, seperti bakso sapi, lawar sapi (godel), sate sapi, soto
sapi, bahkan kuliner asing seperti steik sapi selalu ramai pengunjung.
Dan yang paling disayangkan, di Bali telah dibangun Rumah Potong Hewan
(Sapi) bertaraf internasional yang berlokasi di Gianyar, RPH ini
menyedot anggaran pemerintah pusat dan pemda lebih dari 16 milyar.
Jumlah yang sangat fantastis.
Sangat ironis memang, ajaran Hindu yang sangat memuliakan sapi, dimana
sapi sebagai hewan suci dan lambang kendaraan Dewa Siwa justru dibantai
besar-besaran di Bali. Upacara Tumpek Kandang yang seharusnya menjadi
wujud penghargaan kita kepada para binatang terkadang hanya menjadi
seremonial semu semata. Hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai moral
agama di masyarakat telah dikalahkan oleh kilauan materi. Seharusnya
kita bisa meneladani para sulinggih/pendeta dan pemangku yang memang
sudah memahami ajaran Hindu dengan baik, dengan tidak mengkonsumsi
daging, terutama daging sapi.
Sebaliknya, daripada membuat Rumah Potong Hewan dengan biaya mahal,
alangkah baik dan mulianya jika di Bali justru dibangun peternakan susu
sapi terbesar, dengan melibatkan serta memberdayakan masyarakat lokal.
Untuk memperoleh susu berkualitas baik, maka sapi-sapi tersebut harus
diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang. Di Bali, pangsa pasar
produk susu dan hasil olahannya masih terbentang luas, kebutuhan produk
olahan susu sampai saat ini masih mengandalkan pasokan dari Jawa dan
luar negeri. Agar berhasil, tentu saja rencana ini harus ditopang oleh
manajemen serta pemasaran yang baik dan professional, dengan SDM-SDM
yang berkualitas Jika ini bisa diwujudkan, maka taraf hidup masyarakat
bisa terbantu, tanpa harus melakukan pembantaian terhadap sesama mahkluk
ciptaan Tuhan.
Penulis: Nararya Narottama
Disadur sesuai dengan aslinya dari tulisan: http://majalahhinduraditya.blogspot.com/2013/06/tumpek-kandang-antara-konsep-dan.html
0 komentar:
Posting Komentar
Kami sangat berterima kasih kepada Anda yang berkenan menyampaikan komentar