Melasti Tawur Kasanga

Meningkatkan bhakti, menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa, dan mencegah kerusakan alam

Ngiring Prawatek Dewata

Melakukan perjalanan suci menuju sumber air seperti laut atau mata air lainnya yang memiliki nilai sakral

Anganyutaken Laraning Jagat

Membangkitkan spiritualitas untuk berusaha menghilangkan kesengsaraan hidup di bumi secara ragawi dan rohani

Anganyutaken Papa Klesa

Membinasakan kepapaan yang disebabkan oleh oleh awidya, asmita, raga, dwesa dan abhiniwesa

Anganyuntaken Letuhing Bhuwana

Menjaga kelestarian alam semesta dengan membersihkan pencemaran pertiwi, apah, bayu, teja, dan akasa

Kamis, 26 Juni 2014

MEMAHAMI TATWA DALAM YADNYA DI ERA MODERN


Om Swastyastu,
Kata yadnya seperti yang kita ketahui sudah lama populer, tetapi masih banyak umat yang memberi arti sempit pada kata yadnya tersebut. Bagi umat yang masih awam setiap mendengar kata yadnya dalam benaknya selalu terbayang bahwa di suatu tempat ada berbagai jenis sesajen, asap dupa mengepul, bau bunga dan wangi kemenyan yang semerbak, ada puja stawa sulinggih atau pemangku, ada suara tabuh, kidung, gambelan yang meriah dan berbagai atraksi seni religious. Bayangan tersebut tidaklah salah, namun ada kekeliruan anggapan kalau yadnya diidentikkan dengan kegiatan upacara keagamaan, yang sesungguhnya pengertian yadnya tidak sesempit itu.
Kata yajnya sesungguhnya berasal dari bahasa sanskerta.Yadnya secara etimologi berasal dari akar kata Yaj artinya : “korban”. Dengan demikian yadnya dapat diartikan korban suci dengan tulus iklas. Pengorbanan dalam konteks ini cakupanya sangat luas dan bukan saja dalam bentuk ritual, upakara tetapi dapat juga dipahami sebagai pengorbanan dalam bentuk pikiran, tindakan dan yang lainya. Dalam kitab Bhagavadgita IV.33 dinyatakan sebagai berikut:
Sreyaan dravyamayaad yadnyaaj.
Jnyanayadnyaah paramtapa.
Sarvam karmaa’khilam paartha.
Jnyaane parsamaapyate

(Bhagavad Gita IV.33)
Lebih utama persembahan dengan Jnyana Yadnya daripada persembahan materi dalam wujud apa pun. Sebab, segala pekerjaan apa pun seharusnya berdasarkan ilmu pengetahuan suci (Jnyana).
Di jaman yang modern seperti sekarang ini yang mana kehidupan masyarakat yang serba praktis pola hidup masyarakat cendrung konsomtif (serba instan) dan hedonisme. Masyarakat pada umumnya melakoni hidup dengan rutinitas yang padat, terkadang sampai lupa waktu, terutama masyarakat yang hidup di kota-kota besar.
Jika umat tidak memahami tatwa yadnya yang sesungguhnya , sudah pasti umat akan beranggapan bahwa beryadnya khuusnya di Hindu akan sangat memberatkan umat kerena penuh dengan ritual upacara dengan berbagai sesajen atau banten yang begitu banyak.
Sesungguhnya jika umat memahami tatwa atau esensi dari yadnya, maka umat akan dapat memahami kalau beryadnya tidak hanya dengan ritual semata tetapi dapat pula dilakukan dengan melaksanakan ajaran dharma. Jika segala sesuatu atau perbuatan yang kita lakukan berdasarkan atas dharma dengan tulus ikhlas dapat disebut yadnya.
Dalam Bhagavadgita dikatakan belajar dan mengajar yang didasari oleh keiklasan serta penuh pengabdian untuk memuja nama Tuhan maka itu pun tergolong kedalam yadnya. Memelihara alam dan lingkungan sekitar pun tergolong kedalam yadnya. Mengendalikan hawa nafsu dan panca indra adalah yadnya.
Selain itu menolong orang sakit, mengentaskan kemiskinan, menghibur orang yang sedang tertimpa musibah pun adalah yadnya. Jadi jelaslah yadnya itu bukan terbatas pada kegiatan upacara keagamaan saja.
Jikaumat telah memahami tatwa yadnya yang sesungguhnya maka umat tidak akan beranggapan kalau yadnya yang setiap hari kita lakukan hanya berkutat dengan ritual upacara semata yang penuh dengan sesajen. Hal tersebut terkadang dapat memberatkan umat sehingga muncul anggapan kalau beryadnya itu rumit dan terkesan ada unsur pemaksaan.
Sesungguhnya jika dipahami, Hindu itu merupakan Agama yang fleksibel. Hindu adalah “cara hidup” kata S Radhakrisnan. Dan, “Hindu disetiap aktifitasnya menunjukan elastisitasnya (fleksibel) tidak kaku” ujar MK Gandhi. Demikian juga “Hindu fleksibel tidak membunh budaya setempat dimana Hindu itu berkembang, seperti ibarat bola karet yang mengelinding.
Menggelinding di pasir ia akan menjadi pasir, menggelinding dirumput ia akan menjadi rumput”. Ujar guru agung Svami Vivekananda. Jadi ajaran Hindu tidak kaku, demikian juga kaitanya dalam melakukan ritual yadnya Hindu tidak mengharuskan beryadnya dengan kemegahan dan kemewahan serta mengeluarkan uang banyak.
Apabila ditinjau dari tiga kerangka dasar Agama Hindu yaitu Tatwa, Etika, dan Upakara atau Upacara, dimana kerangka ini merupakan cerminan dari “Tri Angga Sarira” dari manusia diantaranya ada badan Atma yang bermanifestasi sebagai “Mahat” dan tercermin sebagai Tatwa. Kedua adalah badan Antakarana (jiwa) bermanifestasi sebagai “Budhi” dan tercermin sebagai perilaku atau etika.
Ketiga adalah adanya jasad tubuh “Panca Maha Butha” bermanifestasi sebagai “Ahamkara” dan merupakan cerminan upakara atau upacara (bersifat material). Sesungguhnya yadnya yang kita lalukan adalah cerminan dari diri sendiri, dikatakan dalam Upanisad; sesungguhnya Tuhan berada dalam diri kita sendiri. Jika kita ingin memiliki atau mempersembahkan yadnya yang berkualitas hendaknya kita mampu mengendalikan diri sendiri terutama mengendalikan pikiran.
Manawa Dharmasastra II.92, dikatakan bahwa; “pikiran adalah indra yang kesebelas, pikiran itu disebut rajendrya atau raja-raja indria”. Jadi jika ingin yadnya yang kita persembahkan berkualitas, maka kita harus dapat memahami bahwa sebenarnya Tuhan ada dalam diri serta mampu untuk mengendalikan pikiran. Sebab pikiran merupakan penyebab dari kehancuran.
Demikian untuk dipahami umat sedharma, beryadnya yang berkualitas bukan diukur dari kemegahan dan besar kecilnya upacara. Sesungguhnya kualitas dari yadnya tersebut berada dalam diri sendiri. Jika sudah mampu untuk mengendalikan pikiran, tindakan dan nafsu dalam diri maka apapun perbuatan yang kita lakukan adalah yadnya yang berkualitas.
Sesungguhnya tatwa atau esensi dari yadnya yang kita lakukan adalah bertolak ukur dari diri sendiri. Selain itu jika dikaitkan dengan kehidupan dijaman yang modern ini tatwa yadnya itu sendiri, bilamana kita mampu untuk mengendalikan pikiran dan tindakan serta dapat menolong orang yang sedang kesusahan adalah besar yadnya tersebut.
Sebagai harapan kitabersama, jika kita menghargai ciptaan Tuhan maka kita secara tidak langsung telah melakukan yadnya yang utama. Seperti dalam Hindu dikatakan dalam konsep Tat Twam Asi, aku adalah kamu yang artinya jika kita menyayangi dan memelihara ciptaan Tuhan maka sama artinya kita mempersembahkan bhakti kepada-Nya. Akhir kata saya tutup dengan parama santih
Om Santih, Santih, Santih Om
Penulis: Ni Luh Putu Sri Astini, S.Pd.H
Guru Agama Hindu pada SDN Bertingkat Naikoten Kota Kupang

Senin, 23 Juni 2014

MENGGAPAI BAHAGIA DENGAN TRI KAYA PARISUDHA


Om Swastyastu,
Hidup bahagia adalah dambaan setiap insan di muka bumi ini, sebagai manusia yang memiliki kelebihan dibanding makhluk hidup lainnya kita menempuh banyak untuk dapat mencapai kehidupan bahagia dan sejahtera. Salah satu jalan itu adalah dengan menghayati dan melaksanakan ajaran Tri Kaya Parisudha. Tri artinya tiga, Kaya berarti perilaku sedangkan Parisudha artinya suci. Jadi Tri Kaya Parisudha artinya tiga perbuatan yang harus disucikan. Tiga perilaku yang harus disucikan tersebut meliputi pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Pikiran yang suci disebut dengan Manacika Parisudha
Perkataan yang suci disebut dengan Wacika Parisudha
Perbuatan yang suci disebut dengan Kayika Parisudha
Ketiganya itu sangat berpengaruh pada kehidupan manusia dan merupakan unsur budi pekerti yang luhur. Orang bijaksana menyatakan :
Waspadalah terhadap pikiran anda karena ia akan menjadi kata-kata anda,
Waspadalah terhadap kata-kata anda karena ia akan menjadi tindakan anda
Waspadalah terhadap tindakan anda karena ia akan jadi sikap anda.

Dalam Kitab Sarasamuccaya 77 juga disebutkan :
Sebab yang membuat orang dikenal adalah perbuatannya, pikirannya, ucapan-ucapannya, hal itulah yang sangat menarik perhatian orang, untuk mengetahui kepribadian seseorang : oleh karena itu hendaklah yang baik itu selalu dibiasakan dalam laksana, perbuatan dan pikiran.

Berdasarkan uraian tadi maka jelaslah bagi kita bahwa pikiran manusia dapat menjadi sumber kebahagiaan atau sekaligus sumber kesengsaraan. Kalau kita mampu selalu mengupayakan adanya pikiran yang baik akan timbul perkataan yang baik dan seterusnya mewujudkan perbuatan yang baik.
Dari Tri Kaya Parisudha maka timbullah sepuluh pengendalian diri yang wajib dilaksanakan yaitu tiga macam berdasar pikiran, empat macam berdasar perkataan, dan tiga macam berdasar perbuatan.
Lebih lanjut bisa kami jelaskan sebagai berikut:
1)       Tidak mengingini sesuatu yang tidak halal atau tidak menginginkan barang milik rumah tangga. Secara sadar atau tidak, didalam setiap diri manusia terdapat sifat tamak atau rakus. Namun, sifat tersebut bisa dibawa kearah yang positif misalnya haus akan ilmu pengetahuan, maka kita haruslah giat menggali ilmu dengan membaca buku atau berguru pada Guru Pengajian. Sedangkan sifat tamak yang negative misalnya selalu iri melihat tetangga serba lebih dibandingkan diri kita. Namun rasa iri tersebut membuat kita jengkel, marah dan ingin memiliki apa yang tetangga punya dengan berbagai cara, bahkan yang tidak halal. Mencuri misalnya.. Ada pepatah mengatakan, rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri. Manusia tidak pernah puas atas apa yang dimilikinya.   
2)       Tidak berpikir buruk terhadap makhluk lain. Misalnya: pada suatu ketika kita melintas di depan sekelompok teman yang tertawa sambil sesekali berbicara berbisik-bisik. Jangan pernah curiga mereka mentertawakan kita.
3)       Tidak mengingkari Hukum Karma Phala. Dalam ajaran agama kita mengenal ajaran karma phala yaitu suatu hokum sebab akibat. Apapun yang kita lakukan baik buruk, berat ringan, besar kecil, jelas ada hasilnya  cepat atau lambat itu sudah pasti jangan pernah merasa sangsi akan hal tersebut.

Berikut adalah empat macam pengendalian berdasar perkataan antara lain :
1.        Tidak mencaci maki. Dimanapun kapanpun hendaknya kita hindari segala bentuk caci maki itu karena sungguh sangat menyakitkan dan berbahaya. Di televisi pernah ditayangkan bagaimana seorang pemuda dapat bersikap bengis emosinya meledak tidak terkontrol yang akhirnya berakibat fatal hanya karena dia dimaki oleh temannya. Pemuda tersebut secara brutal menyerang temannya yang telah memakinya itu hingga tewas.
2.        Tidak berkata kasar pada makhluk lain. Dalam kondisi apapun kita dituntut selalu mampu mengendalikan diri, jangan pernah berkata dengan nada tinggi, berteriak marah-marah kepada siapa saja baik kepada anak, suami atau istri maupun orang lain. Kalau misalnya dalam rumah tangga kita ada masalah yang membuat perasaan tidak nyaman atau marah mari komunikasikan bersama-sama secara baik untuk mencari solusinya. Jangan biarkan emosi menguasai diri kita sehingga melontarkan kata-kata kasar itu sungguh tiada terpuji.
3.        Tidak memfitnah. Kita harus mampu mengendalikan ucapan kita, berkata sesuai dengan kenyataan atau tidak mengada-ada yang merugikan orang lain. Ada ungkapan, “fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan”. Itu benar, sungguh sangat kejam. Bila kita mampu mengendalikan ucapan kita dengan tidak memfitnah berarti kita akan merasa nikmat hidup damai berdampingan.
4.        Tidak ingkar janji pada ucapan sendiri. Kita semua tahu janji adalah hutang apapun bentuknya tetap harus ditepati, apa yang telah kita ucapkan harus direalisasikan dalam bentuk perbuatan sebagai wujud tanggung jawab kita terhadap janji yang telah kita buat.
Berikut adalah pengendalian diri berdasarkan perbuatan :
1.        Tidak menyiksa atau membunuh makhluk lain. Dengan segala kelebihan kita sebagai manusia dibanding makhluk lainnya kita tentu dapat mengupayakan sikap atau perilaku yang mulia sesuai ajaran agama kita. Sesame saudara, sahabat, orang lain sekalipun kita hendaknya saling menyayangi. Termasuk mencintai binatang maupun tumbuh-tumbuhan sekalipun sebagai upaya melestarikan karunia Tuhan yang menjadi sumber kehidupan kita.
2.        Tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda. Sesuatu yang kita dapatkan dengan cara yang tidak baik pasti tidak akan bertahan lama. Harta benda yang kita upayakan harus diusahakan dengan cara yang halal sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan pelaksanaan yadnya sebagai ucapan syukur kepada Tuhan.
3.        Tidak berzinah. Melakukan perbuatan tidak senonoh kepada istri atau suami orang adalah perbuatan tercela. Ditengah gelombang kehidupan yang semakin keras desakan ekonomi menghimpit namun kita tetap berpegang teguh kepada kesucian dan martabat kita baik dalam keluarga, masyarakat dan agama.
Demikianlah secara panjang lebar tentang upaya pengendalian diri sebagai wujud pelaksanaan Tri Kaya Parisudha. Bila sepuluh jenis pengendalian diri tersebut secara utuh dapat kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari tentu kita merasakan kedamaian, ketentraman dan  kebahagiaan yang tiada tara. Untuk itu jangan pernah longgarkan kendali itu agar cita-cita kita terwujud.
Demikianlah beberapa pengetahuan dharma yang bisa kami sampaikan, semoga dapat meningkatkan sradha dan bhakti kita kepada Tuhan. Dan sebagaimana di awal telah kita buka dengan doa maka di akhir penyampaian ini juga kami tutup dengan doa:
Om Sarve bhavantu sukhinah
Sarve santu nira mayah
Sarve bhadrani pasyantu
Mi kas cid dukha bhag bhavet

“Ya Tuhan semoga semuanya memperoleh kebahagiaan, semoga semuanya memperoleh kedamaian, semoga semuanya memperoleh kebajikan, saling pengertian dan semoga semuanya terbebas dari penderitaan.”

Atas karuniaMu ya Tuhan damai dihati, damai dibumi dan damai selama-lamanya.
Om Santih, Santih, Santih Om
Penulis: Oleh : Regina Sherly Pentau, S.Ag

Sabtu, 21 Juni 2014

PENGUKUHAN PHDI KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN













Jumat, 20 Juni 2014

KEWAJIBAN MANUSIA PADA ZAMAN KALIYUGA


Anye krtayuge dharmastre
tayam dwapere” pare
anye kaliyuge nrrnam
yugahrasa nurupatah
Kewajiban manusia di zaman krtayuga berbeda macamnya dan kewajiban-kewajiban yang ditentukan di zaman tretayuga dan di zaman dwapara demikian pula di zaman kaliyuga, sesuai menurut panjangnya masa yang semakin berkurang (Mds. I. 85)
Pendahuluan
Agama Hindu mengenal adanya 4 (empat) zaman yang disebut “Catur Yuga” yang terdiri dan: Krtayuga, Trta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Masa kerta yuga adalah merupakan masa yang penuh kedamaian dimana pada masa tersebut tidak ada manusia yang berbuat adharma walaupun hanya dalam pikiran. Manusia pada masa itu selalu mematuhi ajaran-ajaran kebenaran dan tiada pernah menyakiti mahluk lain baik dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan. Yang ada dalam kehidupan manusia pada masa tersebut adalah berbuat untuk kesenangan orang lain dan berjalan diatas jalannya dharma sehingga jaman tersebut sering juga dinamakan: Zaman Satya Yuga yang mengandung arti bahwa pada masa itu manusia hidup didalam kesetiaan. “Masa kertayuga ini berlangsung selama 1.460.000 tahun manusia dengan ketentuan masa berikutnya berkurang satu”.
Zaman selanjutnya disebut Trta Yuga yang merupakan masa kedua dari catur yuga. Pada masa ini pikiran manusia mulai dikotori oleh sesuatu kejahatan untuk menghancurkan manusia lainnya. “Pada masa ini mulailah muncul kerajaan-kerajaan yang memisahkan antara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya. Masa ini diawali dengan kehancuran Kerajaan Arjuna Sashrabahu dan diakhiri dengan runtuhnya kerajaan Sri Rama.
Sedangkan zaman ketiga disebut zaman Dwapara Yuga, dirnana pada masa ini manusia sudah mulai berwatak dua yakni sebagian dirinya merupakan kebaikan dan sebagian lainnya tersimpan kejahatan. Pada zaman ini manusia sudah mulai merasa pamrih untuk membantu orang lain, maksudnya mereka membantu orang lain karena ada maksud dan tujuan untuk mendapatkan imbalan dari pekerjaan yang dilakoninya. “Zaman ini diakhiri oleh pemerintahan Parikesit yang merupakan cucunya dari Arjuna”. Demikianlah uraian mengenai 3 (tiga) yuga yang mendahului zaman Kali Yuga.
Kewajiban manusia pada zaman Kaliyuga.
Kaliyuga adalah merupakan zaman terakhir menurut ajaran Agama Hindu. Bila ditinjau dari segi arti katanya, kaliyuga adalah merupakan kebalikan dari zaman Krta/Satya Yuga, dimana kalau pada zaman krta yuga hati manusia benar-benar tertuju kepada Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pengembali alam beserta isinya, maka pada zaman kaliyuga kepuasan hatilah yang menjadi tujuan utama dari manusia. Pada zaman ini apabila manusia sudah dapat memenuhi segala sesuatu yang bersifat keduniawian baik itu berupa harta (kekayaan) ataupun tahta (kedudukan) maka puaslah orang tersebut. Sesungguhnya kewajiban utama manusia pada zaman Kaliyuga adalah: berdana punya sebagaimana dinyatakan dalam kitab Parasara Dharmasastra 1, 23 sebagai berikut:
Tapah Param Krtayuge Tretayam Jnananucyate Dvapare Yajnamityacurddanam
Ekam kalau yuge.
Pelaksanaan penebusan dosa yang ketat (tapa) merupakan kewajiban pada masa Satyayuga; pengetahuan tentang sang diri (jnana) pada tretayuga; pelaksanaan upacara kurban keagamaan (yajna) pada masa Dwaparayuga, dan melaksanakan amal sedekah (danam) pada masa Kaliyuga
Sangat jelas terlihat bahwa berdana adalah merupakan kewajiban manusia pada zaman kaliyuga. Namun dalam kehidupan sekarang ini kita melihat banyak orang kaya yang kikir dan tidak mau mendermakan kekayaannya walaupun untuk yajna sekalipun.
Apakah yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi?
Hal ini  karena mereka beranggapan bahwa makin sering bersedekah maka makin berkuranglah harta miliknya. Pandangan yang demikian adalah sangat keliru karena sesungguhnya makin banyak kita bersedekah maka makin banyak pula kenikmatan yang akan diperoleh sebagaimana dinyatakan dalam kitab Sarasamuscaya Sloka 171 sebagai berikut:
Kuneng phalaning tyagadana yawat katemung bhogapabhoga ring palaloka dlaha, yapwan phalaning sewaka ring wwang kabayan, katemung medaguna, si yatnan kitatutur, kuneng phalaning ahingsa, si tan pamati-mati, kadirghayusan mangka ling sang pandita ( S.S. Sloka 171
Maka hasil pemberian sedekah yang berlimpah-limpah adalah diperolehnya berbagai kenikmatan di dunia lain kelak; akan pahala pengabdian kepada orang tua-tua adalah diperolehnya hikmah kebijaksanaan yaitu tetap waspada dan sadar, adapun akibat ahimsa yaitu tidak melakukan perbuatan membunuh adalah usia panjang; demikian kata sang pandita (orang arif bijaksana).
Oleh sebab itu,  mengingat berdana punya merupakan kewajiban utama pada zaman kaliyuga ini marilah kita mencoba membuka hati kita untuk melaksanakan dana punya. Kitab Sarasamuscaya Sloka 212 memberikan tuntutan agar dapat melatih diri untuk berdana punya sebagai berikut:
Kuneng tekapanika sang mataki-taki dana karma, alpa wastu sakareng danakena, kadyangganingprat, lunggat, lutik, bungkila, samsam prakara, telas parityaga pwa irika, licin anglugas alaris ri kawehanya, makanimittang abhyasa,
dadya ika mehakena rah dagingnya mene
(S.S. Sloka 212
Bagi orang yang melatih atau menguji diri untuk perbuatan memberikan sedekah, hendaknya dengan cara memberikan sedekah barang-barang yang tak berarti untuk sementara, sebagai misalnya salur-saluran, pucuk tumbuh-tumbuhan, tunas tanam-tanaman, umbi-umbian dan semacamnya tanam-tanaman yang daunnya boleh dimakan; jika untuk itu telah ada keikhlasan pengorbanan, licin, bebas dan lancar jalannya pemberian sedekah itu disebabkan karena telah merupakan kebiasaan dapat terjadi bahwa orang itu akan memberikan darah dagingnya sendiri nanti.
Setelah kita menyadari bahwa betapa besarnya pahala berdana punya tersebut bagi kehidupan kita, alangkah mulianya bila kita dapat menjadi tauladan dalam hal bersedekah, janganlah hanya dapat memberikan nasehat orang untuk dapat bersedekah, namun dirinya tidak pernah melaksanakan. Jika hal ini dilakukan, betapa nistanya kata-kata yang diucapkannya, karena sesungguhnya apa yang disampaikan akan sia-sia dan tiada akan membuahkan hasil sebagaimana diungkapkan dalam Sarasamusccaya sebagai berikut:
Kunang ikang wwang mapitutur juga, makon agawaya danapunya, akweh akadika tuwi, ikang wwang mangkana kramanya, ya ika tan siddhasadhya dlaha, wiluma asingsesta prayojananya, kadi kramaning kliba, tan paphala polahnya.
Tetapi orang yang hanya memberi ingat atau nasehat saja menyuruh agar berbuat kebajikan memberi sedekah, baik banyak ataupun sedikit, orang yang demikian prilakunya, adalah tidak kesampaian maksudnya kelak, sekalian cita-cita dan tujuannya akan sia-sia, sebagai keadaan seorang mati pucuk (mandul) tidak berhasil perbuatannya (S.S. Sloka 214),
Perbuatan itu sama hasilnya dengan memberikan punya dengan hati marah akan tidak menuai hasil sama sekali seperti diungkapkan dalam lontar Slokantara sebagai berikut:
Walaupun seandainya dana itu berjumlah amat besar. Tetapi diberikan dengan hati marah Akhirnya tidak berbeda dengan abu. Dan setumpuk ilalang dibakar oleh api yang kecil saja. (S.S. Sloka 20 (5)).
Oleh karena itu, marilah kita berusaha melatih diri untuk mampu berdana punya sesuai dengan kemampuan kita, walau sekecil apapun karena yang terpenting dalam bersedekah adalah ketulusan hati dan bukan dengan kesombongan, gen gsi ataupun dengan maksud memamerkan kekayaan. Di dalam kitab Sarasamusccaya diungkapkan secara jelas mengenai hal tersebut sebagai berikut:
Yadyapin akedika ikang dana, ndan mangene welkang ya, agong phalanika, yadyapin akweha tuwi; mangke welkang tuwi, yan antukning anyaya, nisphala ika, kalinganya, tan si kweh, tan si kedik, amuhara kweh kedik ning danaphala, kaneng paramarthanya, nyayanyaya ning dana juga. (S.S. Sloka 184)
Biarpun sedikit pemberian (sedekah) itu, tetapi mengenai kehausan atau keinginan hati, besarlah manfaatnya; meski banyak apalagi menyebabkan semakin haus dan diperoleh dengan cara yang tidak layak atau tidak patut, tiada faedahnya itu; tegasnya, bukan yang banyak atau bukan yang sedikit, menyebabkan banyak atau sedikit faedah pemberian itu, melainkan pada hakekatnya tergantung dari layak atau tidaknya pemberian itu.
Hal senada diungkapkan pula dalam Lontar Slokantara, sebagai berikut:
Walaupun dana itu berjumlah kecil dan tidak berarti,
Tetapi jika diberikan dengan hati suci, akan membawa kebaikan yang tidak terkira
Sebagai halnya sebuah biji pohon beringin.
(Sloka 194).
Berdasarkan beberapa kutipan sloka yang telah diuraikan, dapatlah diambil intisarinya bahwa kewajiban utama manusia pada zaman Kaliyuga adalah melaksanakan dana punya, yang semestinya dilakukan dengan hati yang suci dan ikhlas, bukan dengan jalan memamerkan diri terlebih-lebih dengan harapan untuk mendapatkan pujian, sia-sialah semuanya itu.
Demikianlah kewajiban utama manusia di zaman kaliyuga yakni: “Melaksanakan Dana Punya/Sedekah”.
Penulis: I Made Astika Dhana

Kamis, 19 Juni 2014

PIODALAN DI PURA CENDANA KABUPATEN SUMBA TIMUR

                                                                    17 Desember 2013

















Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites