Melasti Tawur Kasanga

Meningkatkan bhakti, menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa, dan mencegah kerusakan alam

Ngiring Prawatek Dewata

Melakukan perjalanan suci menuju sumber air seperti laut atau mata air lainnya yang memiliki nilai sakral

Anganyutaken Laraning Jagat

Membangkitkan spiritualitas untuk berusaha menghilangkan kesengsaraan hidup di bumi secara ragawi dan rohani

Anganyutaken Papa Klesa

Membinasakan kepapaan yang disebabkan oleh oleh awidya, asmita, raga, dwesa dan abhiniwesa

Anganyuntaken Letuhing Bhuwana

Menjaga kelestarian alam semesta dengan membersihkan pencemaran pertiwi, apah, bayu, teja, dan akasa

Rabu, 31 Juli 2013

Hindu Menginspirasi Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):
"... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. [1] Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):
"Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.

Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia").

Kawasan Nusantara. Sumber: Yayasan Lembaga Budaya Nusantara

Nama Indu sebagaimana diusulkan oleh James Richardson Logan dan kemudian dimodifikasi menjadi Indo oleh Adolf Bastian berasal dari India, sedangkan nama India sendiri berasal dari kata Sindhu, nama sungai yang sekarang dinamakan sungai Indus di India. Kata sindhu dalam bahasa Sanskrta berarti sungai, aliran air, atau lautan, berasal dari akar kata sidh yang berrarti "menjaga". Nama Sindhu ( सिन्धु) disebut sebanyak 176 kali dalam kitan suci Rigveda, 95 times sebagai plural, mula-mula sebagai nama sungai-sungai suci. Pada ayat-ayat terakhir, nama Sindhu kemudian dipersempit maknanya, misalnya dalam daftar nama sungai dalam Nadistuti sukta, menjadi nama sungai yang sekarang bernama Indus. Sindhu merupakan satu-satunya nama sungai dalam bahasa Sanskrta yang bergender laki-laki, semua nama sungai lainnya bergender perempuan. Nama Sindhu kemudian menjadi Hinduš dalam bahasa Persia Kuno, Ἰνδός (Indós) dalam bahasa Yunani Kuno, dan kemudian menjadi Indus dalam bahasa Latin.

Disadur tanpa perubahan dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia dan ditambah dengan terjemahan dari: https://en.wikipedia.org/wiki/Indus_River

Balinisasi, Tonggak Awal Kehancuran Kedua Hindu Nusantara

Pada awal kemerdekaan, Kementrian Agama RI masih menganggap penganut Hindu sebagai kaum pemuja berhala dan pengikut sistem keyakinan primitif. Masyarakat Hindu masih berdiri sendiri tanpa ada wadah yang menaunginya. Sangat berbeda dengan Islam dan Kristen yang pada saat itu sistem organisasi keagamaannya sudah sangat mapan. Sehingga tidaklah mengherankan jika pada awal-awal kemerdekaan, Hindu di bumi Nusantara seperti hilang ditelan bumi. Satu-satunya pengaruh Hindu yang masih kelihatan menyala redup hanyalah di pulau Bali. Hindu di Bali beruntung karena diselamatkan oleh sistem banjar, desa pekraman, dadia dan berbagai organisasi-organisasi tradisional kecil lainnya.

Disaat keberadaan agama leluhur Nusantara ini tidak diakui oleh Negara dan adanya usaha pemberhangusan oleh sekelompok oknum, beruntunglah masih ada segelintir tokoh-tokoh yang dengan gigihnya memperjuangkan agar sistem kepercayaan sebagaimana yang berkembang di Bali dapat diakui keberadaannya oleh Negara. I Gusti Bagus Sugriwa merupakan salah satu cendikiawan Bali yang dengan getolnya berjuang ke tingkat pusat pada saat itu. Akhirnya pada tanggal 29 Juli 1958, lima orang wakil berbagai organisasi Hindu yakni Ida Pedanda Kemenuh, I Gusti Ananda Kusuma, Ida Bagus Dosther, Ida Bagus Wayan Gede, dan I Ketut Kandia serta didampingi oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bali I Gusti Putu Merta menghadap presiden RI, Ir. Sukarno di Istana Tampaksiring. Atas kebijakan presiden, Kementrian Agama akhirnya mengakui keberadaan sistem kepercayaan yang ada di Bali dengan menyebutnya sebagai agama Hindu Bali.

Meskipun secara nasional Hindu di Bali sudah diakui, ternyata akibat perubahan susunan pemerintahan kerajaan ke demokrasi menyebabkan sistem keagamaan di Bali menjadi carut marut. Hal ini diakibatkan oleh sistem pengaturan keagamaan yang sebelumnya dipegang secara penuh oleh kerajaan. Sementara itu paska kemerdekaan, peran kerajaan sangat dibatasi dan raja sudah tidak memiliki kekuasaan apa-apa lagi. Ketiadaan payung yang jelas, mengakibatkan satu desa pekraman dengan desa pekraman yang lainnya sama sekali tidak terkoordinasi dan efeknya, praktik-praktik keagamaan yang dilakukan juga kelihatan tidak bersesuaian.

Berawal dari gagasan Ida bagus Puniatmadja dan Ida Bagus Mantra waktu mereka sama-sama kuliah di India, dan berkat kerja keras para cendekiawan dan sulinggih selama 3 hari (21-23 Februari 1959) dalam mengadakan paruman, akhirnya mereka berhasil membentuk Parisada Hindu Dharma Bali (PHDB) yang diharapkan bisa menaungi sistem keagamaan Hindu di seluruh Bali. Piagam Parisada kala itu disepakati oleh 11 sulinggih dan 22 walaka. Lahirnya Parisada Hindu Dharma Bali berhasil melonggarkan sekat-sekat pemisah yang sangat kental antara satu daerah dengan daerah lainnya di Bali. Semua masyarakat Hindu Bali dapat berbaur dalam satu visi dibawah organisasi yang baru ini.

Setelah berselang beberapa lama, akhirnya para tokoh-tokoh Hindu menyadari bahwa di Indonesia agama Hindu tidak hanya ada di Bali, tetapi menyebar di berbagai daerah dengan keanekaragaman buadaya dan adat-istiadatnya. Karena itulah pada Mahasabha ke V yang berlangsung tanggal 24 sampai dengan 27 Februari 1986, Parisada Hindu Dharma Bali berubah nama menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Dengan demikian mulai saat itu organisasi Hindu yang awalnya hanya bertujuan menaungi Hindu Bali tumbuh menjadi organisasi berskala nasional. Akibatnya, di berbagai daerah di Indonesia mulai banyak tumbuh bermunculan kelompok-kelompok masyarakat yang mengklaim diri mereka secara resmi sebagai Hindu. Bahkan di daerah Solo dan Klaten, muncul tokoh Jawa yang terang-terangan memasang pengumuman yang berisi ”lowongan” masuk Hindu. Lowongan ini ternyata mendapat sambutan yang sangat antusias dari masyarakat setempat kala itu, sehingga jumlah pengikut Hindu membludak bak jamur yang tumbuh di musim hujan.

Didorong oleh keharusan memeluk salah satu dari lima agama yang diakui negara, selain di Jawa, masyarakat Dayak di Kalimantan, sekelompok suku Batak di Sumatra Utara, para etnis Tamil, sekelompok masyarakat di Maluku dan di berbagai wilayah lainnya mendeklarasikan dirinya sebagai Hindu. Pilihan mengakui diri sebagai Hindu mereka ambil karena menurut mereka ajaran Hindu sanggup mewadahi dasar-dasar kepercayaan turun-temurun yang mereka anut. Ambilah contohnya kalangan suku Dayak yang sangat getol dengan tradisi pemujaan leluhurnya. Jika mereka mengklaim diri sebagai Islam, maka mereka harus menghapuskan tradisi pemujaan leluhur karena mungkin dianggap syirik. Jika mereka masuk Kristen atau Katolik, maka mereka harus menghilangkan keyakinan mereka akan reinkarnasi yang notabena tidak diimani dalam kedua agama ini. Sehingga kala itu yang paling dekat dengan sistem kepercayaan yang mereka anut hanyalah Hindu.

Dalam perkembangannya, ternyata Hindu dari etnis Bali-lah yang lebih memegang kendali. Parisada Hindu Dharma Indonesia dan perwakilan Hindu di Departemen Agama ternyata selalu didominasi oleh umat Hindu etnis Bali. Orang-orang Bali-pun berdiaspora dengan cepat ke berbagai daerah di Nusantara. Mereka umumnya sukses menjadi tokoh-tokoh panutan bagi umat Hindu etnis non-Bali karena mereka dianggap lebih mampu dalam pemahaman agama. Sayangnya posisi stategis seperti ini oleh sebagian oknum tidak disikapi dengan bijak. Merek lupa akan ketetapan-ketetapan Mahasabha ke-5 Parisada dalam merangkul Hindu yang plural di Nusantara. Sangat jarang umat Hindu Bali yang peka terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka sering kali mengidentikkan Hindu sebagai Bali, sehingga mereka sering kali berusaha melakukan Balinisasi terhadap Hindu. Mereka membuat bangunan tempat suci ala Bali di luar Bali tanpa memandang tradisi dan budaya setempat. Mereka mengimport bebantenan, tata upacara, para sulinggih dan segala kebudayaan Bali. Akibatnya, para penganut Hindu setempat menjadi asing di daerahnya sendiri. Mereka seolah-olah secara soft dipaksa meninggalkan budaya dan tradisi leluhurnya dan menjadikan Hindu Bali sebagai standar Hindu Nasional yang harus diikuti.

Sebagaimana terjadi di Palangkaraya, disana terdapat sebuah bangunan pura ala Bali yang sangat megah. Pura tersebut dibangun oleh beberapa perantau Hindu Bali yang bekerja baik di bagian birokrat maupun swasta. Disana juga bermukim orang-orang Hindu etnis Dayak yang tentu saja tidak kalah banyaknya dengan Hindu Bali. Dikala kegiatan persembahyangan purnama-tilem dan kegiatan keagamaan lainnya, para Hindu Dayak sering kali “dipaksa” datang ke Pura dengan berbagai atribut kebaliannya. Sementara saat masyarakat Hindu Dayak melakukan upacara keagamaan sesuai tradisi leluhur mereka, sangat jarang umat Hindu Bali yang mau ikut berpartisipasi dan melebur diri dalam tradisi mereka. Hal ini sudah pasti menimbulkan kecemburuan sosial dimana para penganut Hindu suku Dayak ini merasa terpinggirkan dan tidak dihargai.

Gencarnya Balinisasi juga diakibatkan oleh kurikulum pendidikan agama Hindu di Indonesia yang didominasi oleh ajaran-ajaran yang berbau kebali-balian. Tentu saja hal ini terjadi karena tokoh-tokoh penyusun kurikulumnya didominasi oleh orang Bali. Disamping itu, akibat minimnya sumber daya manusia non-Bali, dengan sangat terpaksa tenaga-tenaga pengajar agama Hindu di luar Bali lagi-lagi harus diimport dari Bali. Sehingga jika para tenaga pengajar ini tidak aware terhadap tradisi budaya lokal setempat, mereka bisa jadi akan menjadi agen pembinasahan local genius yang ada. Ternyata baik secara langsung maupun tidak langsung, proses derasnya Balinisasi ini mengakibatkan surutnya pemeluk Hindu etnis non-Bali. Sebagaimana yang terjadi pada beberapa penganut Hindu suku Dayak. Banyak di antara mereka pada akhirnya eksodus meninggalkan Hindu dan memilih masuk agama lain. Dari beberapa sumber lisan, banyak Hindu Dayak yang akhirnya masuk agama Katolik. Kenapa mereka memilih masuk Katolik kalaupun dasar keyakinan leluhur mereka lebih dekat dengan Hindu? Setidaknya dari hasil diskusi saya dengan seorang teman, ternyata jawabannya bukan pada masalah keyakinan, tetapi masalah penghargaan terhadap tradisi budaya lokal mereka. Mereka merasa lebih nyaman dan dihargai oleh para misionaris Katolik. Para misonaris bersedia merangkul mereka secara utuh tanpa harus memberhanguskan kepercayaan asli. Mereka hanya diarahkan untuk meyakini Yesus sebagai Tuhan juru selamat dan mensintesiskannya kedalam sistem keyakinan yang sudah ada. Sehingga meskipun secara de yure agama mereka berubah, namun secara de fakto mereka seolah-olah tidak terusik.

Kesuksesan para misionaris Katolik dalam melakukan konversi di beberapa daerah yang lain seperti di Jawa dan beberapa tempat di Bali juga ternyata menggunakan “senjata” yang sama. Umat Katolik di Jawa sangat identik dengan prosesi adat Jawa, sendang (mata air) yang dianggap suci, gua yang diidentikkan dengan gua maria dan mereka juga mengadopsi sangat banyak ritual-ritual yang pada dasarnya merupakan turunan dari ritual Hindu. Di Bali, para misionaris melakukan kamuflase dengan membuat bangunan Gereja yang tidak ubahnya dengan Pura umat Hindu Bali. Bedanya, mereka hanya meletakkan tanda salib di pura tersebut dan menyebut Tuhan mereka sebagai Sang Hyang Yesus sebagai pengganti Sang Hyang Widhi. Banten dan beberapa upacara dasar juga mash tetap mereka gunakan.

Apa yang dapat kita petik sebagai pelajaran dari kejadian ini? Tidak ubahnya seperti hukum Newton pertama, manusia juga cenderung memiliki efek lembam. Yaitu efek yang cenderung mempertahankan kondisi awalnya. Sehingga tidaklah mengherankan jika kita berusaha melakukan perubahan terhadap sesuatu termasuk diri sendiri, akan terjadi pertentangan dan perlawanan yang hebat meskipun perubahan yang kita lakukan ke arah yang benar dan lebih baik. Itulah sebabnya perubahan yang cepat (revolusi) selalu diwarnai oleh kondisi chaos dalam masyarakat. Namun sangat berbeda halnya jika perubahan ini dilakukan sedikit demi sedikit dalam waktu yang lama (evolusi). Meski harus memakan waktu, namun perubahan yang terjadi tidak akan menimbulkan konflik yang berarti dan menghasilkan output yang permanen. Para misionaris Katolik sangat memahami hal ini sehingga mereka tidak berusaha melakukan revolusi, tetapi melakukan evolusi dalam menginjeksikan ajarannya. Pada generasi pertama suatu masyarakat menjadi pengikut Katolik, mungkin mereka hanya Katolik di KTP saja, tetapi lambat laun melalui proses pembelajaran secara bertahap ke generasi berikutnya, pada akhirnya akan dihasilkan pemeluk Katolik yang benar-benar taat pada ajaran agamanya.

Orang Hindu-pun harus belajar dan mencontoh para misionaris Katolik. Apa lagi pada kenyataannya Hindu jauh lebih fleksibel dari agama-agama manapun. Hindu tidak mengajarkan penyebaran dharma dengan menonjolkan sisi kulitnya. Melainkan yang terpenting adalah substansi ajarannya. Sangat tidak bijak jika usaha penanaman ajaran Hindu harus diikuti dengan “pemaksaan” terhadap bentuk bangunan tempat suci, pakaian dan bebantenan yang notabena merupakan local genius masyarakat Bali. Karena meskipun Bali mayoritas Hindu, namun Hindu bukanlah Bali. Hindu Bali tidak bisa dijadikan standar dalam penerapan ajaran Hindu di Indonesia. Aturan ini juga berlaku pada usaha-usaha Indianisasi di Nusantara. Berbagai sampradaya Hindu yang masuk ke Indonesia baik yang langsung datang dari India maupun dari daerah lain mengalami penolakan hebat lebih dikarenakan adanya proses “revolusi kulit luar”, bukan karena substansi ajaran filsafatnya. Karena itu, sudah saatnya para “dharma defender” merubah stategi dan metode pengajarannya dengan mengesampingkan kulit dan mengedepankan substansi.

Disadur sesuai dengan aslinya dari:  http://narayanasmrti.com/opini/balinisasi-tonggak-awal-kehancuran-kedua-hindu-nusantara/

Bandingkan dengan tulisan Ngakan Putu Putra "Apakah Bali Akan Tetap Hindu?" yang dimuat di Website PHDI, tulisan yang sangat jelas menunjukkan betapa lebih pentingnya Bali daripada Hindu.

Nyepi, Moratorium Kerakusan

Pada setiap pergantian Tahun Saka, umat Hindu merayakan Hari Nyepi. Perayaan ini diawali dengan Melasti, penyucian diri ke pantai dan Tawur Agung Kasanga pada bulan mati (Tilem). Kemudian, pada hari Nyepi, umat Hindu melakukan Catur Brata Penyepian (empat pengendalian diri pada hari Nyepi), yaitu amati gni (tidak menyalakan api), amati lalungaan (tidak bepergian), amati lelanguan (tidak mengadakan hiburan), dan amati karya (tidak bekerja). Pelaksanaan Catur Brata Penyepian menyebabkan suasana menjadi sangat hening. Suasana sepi ini berlangsung pada titik Matahari dan Bulan lurus dengan Bumi. Matahari, ketika Nyepi berlangsung, tepat berada di garis khatulistiwa (tengah Bumi). Posisi Matahari ketika itu sedang berjalan ke utara. Orang Bali menyebutnya ngutarayana. Hal ini melambangkan bahwa sinar sang pencerah sedang berada di Bumi. Bulan jatuhnya Nyepi disebut dengan Vaisakha, yang berarti lengan kasih.

Jadi, pada saat itu, Tuhan memang sedang menjulurkan kasihnya ke Bumi dengan sinar Matahari yang merata ke seluruh belahan Bumi. Purnama pada Vaisakha ini (14 hari setelah Nyepi) merupakan purnama yang paling terang sehingga umat di Bali melaksanakan upacara Bhatara Turun Kabeh di Pura Agung Besakih. Umat percaya bahwa pada purnama yang paling terang tersebut para dewa turun ke dunia untuk memberikan anugerahnya. Terlebih pada saat itu, alam Bali sedang menyediakan bunga-bunga yang semringah. Hujan sudah mulai berhenti turun sehingga tanaman sedang menyimpan harapan untuk panen.

Pada saat pencerahan merata di seluruh Bumi seperti inilah, Raja Kaniskha dari Suku Saka memerintahkan mulainya perhitungan tahun pada 78 Masehi. Tahun ini bernama tahun Saka, sesuai dengan nama sukunya. Saat itu (78 Masehi), Raja Kaniskha telah berhasil mempersatukan seluruh masyarakatnya untuk membangun perdamaian dunia. Sebagai tanda keberhasilannya, Sang Raja juga mengirimkan banyak utusan ke seluruh dunia untuk mewartakan perdamaian. Salah satu utusannya datang ke Indonesia, membangun peradaban aksara di Pulau Jawa dan Bali sebagai pembuka masa pencerahan di Indonesia.

Masa-masa pencerahan ini memang diawali dengan masa-masa usaha penaklukan. Kerajaan Mataram Kuno tidak terlepas dari usaha-usaha penaklukan pada sekitar abad ke-7 Masehi. Mpu Sendok di Jawa Timur dengan Kerajaan Medang Kemulannya juga mengemban misi penaklukan terhadap Bali dan daerah sekitarnya. Kerajaan ini dilanjutkan Kerajaan Kahuripan (Airlangga) yang juga sarat dengan misi penaklukan. Kerajaan Kediri yang lahir dari kerajaan ini menyisakan cerita perang saudara. Demikian juga, raja-raja sesudahnya senantiasa mengemban misi penaklukan untuk mencapai perdamaian.

Apakah perdamaian hanya didapatkan dengan penaklukan? Tidakkah ada jalan lain? Setelah mengamati penaklukan yang tiada henti tersebut, orang-orang Saka memutar Dharmacakra (roda darma) untuk perdamaian masyarakatnya. Roda darma ini berlawanan dengan Cakrawerti (roda kekuasaan). Kalau Cakrawerti menaklukan dunia dengan kekerasan, tetapi Dharmacakra menaklukan dunia dengan kasih sayang. Salah satu usahanya adalah pelatihan untuk menaklukan nafsu yang berada di dalam diri. Sejarah mencatat penaklukan dengan perang terhadap sesama hanya akan memunculkan dendam dan kekerasan yang tidak berkesudahan. Oleh karena itu, penaklukan terhadap dunia di luar diri mestilah dihentikan.

Manusia mesti mulai bisa menaklukan dirinya sendiri. Sepanjang manusia tidak dapat menaklukan nafsunya yang tidak terkendali, tidak akan pernah ada perdamaian di dunia. Mahatma Gandhi berkata bahwa dunia cukup untuk semua makhluk, tetapi tidak cukup untuk satu manusia yang rakus. Perenungan Nyepi pada tahun 2010 (1932 Saka) ini berlangsung di tengah keadaan yang seperti itu. Pada saat ini, perilaku manusia hampir tidak terkendali. Keinginan untuk menambah kekayaan telah mengubah muka Bumi. Kerja keras manusia bertahun-tahun telah membuat muka bumi menjadi semakin angker. Ancaman bencana terjadi di mana-mana. Gempa, gunung meletus, banjir, tanah longsor, dan berbagai bencana lainnya telah menjadi berita keseharian. Setiap hari Bumi telah menjadi semakin panas karena ulah manusia.

Suatu mitologi Hindu dalam cerita Barongswari yang sering dipentaskan di Bali menggambarkan keadaan ini. Cerita ini berawal dari keadaan Dewi Uma, Sakti (kekuatan) Shiwa di surga yang diminta oleh Shiwa untuk mencari susu ke dunia. Beliau kemudian turun ke dunia. Di dunia, beliau sangat aktif bekerja untuk menemukan susu bagi kehidupan. Karena Sang Dewi sangat aktif, wajahnya perlahan berubah angker. Dunia pun menjadi ketakutan sehingga Shiwa pun turun ke dunia untuk mengajaknya merenung, bersemadi, memikirkan kembali segala aktivitasnya. Cerita Kuntiseraya, atau yang lebih dikenal dengan Sudamala, juga mengisahkan bahwa Bhatara Shiwa memasuki raga Sahadewa untuk menyadarkan Dewi Durga bahwa proses kerja yang telah dilaluinya telah menyebabkan keangkeran wajahnya. Oleh karena itu, Shiwa perlu datang untuk melakukan sudamala (pembersihan) sehingga dunia kembali menunjukkan wajahnya yang cantik.

Kedua mitologi ini mengajarkan umat untuk senantiasa melakukan penyucian terhadap Bumi di tengah seluruh proses kerja yang berlangsung. Manusia tidak bisa terlepas dari hukum kerja. Semua manusia, bahkan makhluk, harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Proses kerja ini hendaknya berlangsung untuk mengangkat derajat kemanusiaan, bukan sebaliknya. Namun, yang terjadi sering kali sebaliknya. Dalam proses kerja, derajat manusia sering kali menurun. Manusia kerap menjadi rakus terhadap hasil kerja sehingga eksploitasi terjadi demikian besar terhadap Bumi. Hal ini jelas-jelas akan merusak Bumi, tempat hidup manusia. Dengan demikian, proses kerja yang seperti itu tidak akan membangun manusia, tetapi akan menghancurkan manusia. Atas nama ”pembangunan”, hutan bakau dibabat karena digunakan untuk berbagai fasilitas industri. Hutan lindung juga terus tergerus, sampai tinggal 15-20 persen dari luas Pulau Bali.

Padahal, Bali mestinya memiliki 30 persen kawasan lindung. Kawasan suci juga mulai terjamah dengan berbagai aktivitas industri, seperti vila dan hotel. Pada sisi yang berbeda, mulai tumbuh jalan-jalan by pass yang lebar untuk urat nadi perekonomian. Orang Bali semakin merintih karena keterbatasan lahan sehingga pertanian mulai ditinggalkan, padahal sektor lain belum menyediakan lapangan pekerjaan memadai. Udara Bali juga mulai menyerap polusi. Sisa-sisa pembakaran membekas di udara sehingga keadaan semakin panas. Udara yang panas menyulut situasi sosial yang semakin panas. Konflik-konflik lahan, ruang ekonomi dan adat, seakan menjadi berita keseharian di Bali. Keadaan Bali yang tenang, seperti yang digambarkan Rabindranath Tagore, hampir tidak tampak lagi. Bali telah penuh hiruk-pikuk peradaban modern. The Morning Island benar-benar telah berubah menjadi pasar pagi yang gegap gempita.

Di tengah kondisi seperti itu, inspirasi perenungan dari mitologi Barongswari dan Kuntisraya pantas mendapatkan perhatian. Di dalam kekerasan aktivitas dunia orang Bali sekarang ini, manusia Bali perlu memikirkan usaha perenungan, bahkan sudamala, untuk menjaga keberlangsungan dunia. Bumi yang telah menjadi begitu angker karena ulah manusia mesti dibersihkan agar menunjukkan keindahannya kembali. Bali, Pulau Pewata, Pulau Surga, harus didapatkan kembali dengan perencanaan pembangunan yang bijak. Pertumbuhan ekonomi mestilah dibatasi dalam posisi tertentu untuk memungkinkan adanya usaha pelestarian alam.

Momen Nyepi seperti saat ini sangat tepat digunakan untuk usaha perenungan seperti itu. Bahkan, dalam keheningan Nyepi, umat hendaknya mulai melakukan langkah-langkah moratorium, untuk menghentikan segala bentuk kerakusan. Manusia, pada titik ini, hendaknya mulai memikirkan usaha-usaha penyelamatan. Meminjam mitologi Sudamala, umat Hindu hendaknya mesti mulai memberikan raganya bagi Shiwa sehingga usaha pembersihan dunia atau sudamala dapat terjadi. Dengan usaha seperti ini, Ibu Bumi (Durga) diharapkan kembali ke wajah aslinya yang cantik. Hal itu adalah misi ketuhanan yang mesti dilaksanakan umat manusia. Oleh karena itu, manusia hendaknya menyediakan raganya untuk misi ketuhanan ini.

Disadur dari: http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1570&Itemid=81, dengan sedikit modifikasi.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites