Penduduk asli Pulau Kalimantan adalah Suku Dayak. Mereka terbagi
dalam 405 sub suku, yang masing-masing mempunyai bahasa dan
adat-istiadat sendiri-sendiri. Tjilik Riwut membagi Suku Dayak ke dalam 7 kelompok, yaitu: (1) Dayak Kayan, yang daerah persebaraniniya meliputi Kabupaten Bulungan di Kalimantan Timur dan Serawak di Malaysia; (2) Dayak Punan, yang daerah persebarannya meliputi Kabupaten Berau dan Kutai di Kalimantan Timur; (3) Dayak Iban, yang daerah persebarannya meliputi Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat dan Serawak di Malaysia; (4) Dayak Ot Danum, yang daerah persebarannya meliputi bagian besar Kalimantan Tengah; (5) Dayak Klemantan, yang daerah persebarannya mehiputi Kahimantan Barat bagian selatan; (6) Dayak Ngaju, yang daerah persebarannya mehiputi Kahimantan Selatan dan Kalimantan Tengah bagian Tengah; dan (7) Dayak
Kenyah, yang daerah persebarannya meliputi Hulu Sungai Belanyan dan
Sungai Mahakam di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur.
Sebelum
datangnya agama-agama besar yang diakui sebagai agama resmi oleh pemerintah
Indonesia, masyarakat Dayak telah memiliki kepercayaan sendiri, yang
disebut Kaharingan. Kepercayaan Kaharingan memuat aturan-aturan
kehidupan yang nilai-nilai dan isinya bukan hanya sekedar adat-istiadat,
tetapi juga ajaran untuk berperilaku. Kepercayaan Kaharingan ini tidak
memiliki kitab suci, melainkan disampaikan secara lisan dan
turun-temurun. Menurut kepercayaan Kaharingan, masyarakat Dayak
mempercayai banyak dewa di sekitar mereka, seperti dewa-dewa yang
menguasai tanah, sungai, pohon, batu, dan sebagainya. Di antara dewa-dewa
tersebut, terdapat dewa yang tertinggi, yang sebutannya berbeda-beda di kalangan kelompok suku Dayak satu dengan yang lainnya. Misalnya, Dayak Ot Danum
menyebut dewa yang tertinggi mereka Mahatara, sedangkan Dayak Ngaju menyebutnya
Ranying Mahatalla Langit. Setiap orang yang akan melakukan sesuatu
pekerjaan harus meminta ijin dari dewa-dewa yang bersangkutan agar
tidak terjadi bencana, kesialan, sakit, dan sebagainya. Orang Dayak juga
mengenal isyarat-isyarat alam apabila hendak bepergian jauh, seperti
arah terbang burung, suara burung-burung tertentu, ada ular yang
melintas di depannya, dan sebagainya. Hal ini bukan karena orang Dayak
tidak percaya adanya Tuhan. Mereka percaya adanya Tuhan, tetapi Tuhan
tidak berbicara langsung kepada manusia, melainkan dengan perantara alam
atau isyarat-isyarat alam tersebut.
Suku Dayak sangat terbuka
dengan pengaruh budaya luar, termasuk di antaranya kehadiran agama-agama
besar. Keterbukaan mereka tersebut dimanfaatkan oleh
kaum misionaris untuk menyebarkan agama mereka masing-masing. Islam telah masuk ke
Kalimantan sejak abad ke-13, dibawa oleh kaum pendatang yang berasal
dari daerah lain, seperti dari Jawa, Melayu, Bugis, dan sebagainya. Suku
Dayak yang tinggal di kawasan pesisir dan banyak berhubungan dengan para
pendatang dari suku-suku lain, banyak yang kemudian beralih memeluk agama Islam. Pada pihak lain, kegiatan misionaris agama Kristen Katholik dan Kristen
Protestan telah masuk ke pedalaman Kalimantan dan berjalan dengan gencar
sejak abad ke-19. Para mionaris Kristen ini menggunakan media pelayanan
sosial, seperti bantuan pendidikan, bantuan ekonomi, dan pelayanan
kesehatan. Upaya penyebaran agama-agama besar ini cukup
berhasil, terutama dalam merekrut generasi mudanya, sehingga pada saat
ini sebagian besar generasi muda Dayak telah memeluk agama Islam,
Kristen, atau Katholik. Akan tetapi sebagian dari mereka tetap
bertahan pada kepercayaan Kaharingan.
Kedatangan agama-agama
tradisi besar tersebut di atas ternyata juga membawa dampak buruk
terhadap kehidupan orang-orang Suku Dayak. Hal ini dikarenakan
agama-agama tradisi besar pada umumnya memandang kepercayaan-kepercayaan
di luar mereka sebagai sesuatu yang eksotik, salah, dan harus
diluruskan sesuai dengan ajaran agama mereka. Seorang Dayak yang sudah
menganut Islam akan merasa malu mengakui dirinya sebagai orang Dayak. Ia
akan mengidentifikasi dirinya sebagai orang Melayu.
Menurut
pandangan mereka, orang Melayu dengan agama Islamnya identik dengan
kemajuan dan kemoderenan, sedangkan orang Dayak dengan kepercayaan
Kaharingan-nya identik dengan ketertinggalan dan kekolotan. Sementara
itu keberadaan agama Kristen dan Katholik juga tidak mendukung
pelestarian adat-istiadat dan tradisi Suku Dayak. Banyak upacara Suku
Dayak yang berhubungan dengan upacara kematian, pemujaan roh nenek
moyang yang telah meninggal, dan pemujaan alam lingkungan, seperti
upacara Tewah/Dalo, upacara penolak bala dan sebagainya, dilarang
karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen dan Katholik. Dengan
hilangnya upacara-upacara tersebut, hilang pula nilai-nilai dan
norma-norma yang terkandung di dalam tatanan masyarakat Dayak, seperti
pelestarian hutan, rasa menghargai terhadap semua makhluk hidup yang ada
di alam lingkungan, penghormatan terhadap leluhur, dan sebagainya.
Pada
jaman Orde Baru pemerintah memberlakukan lima agama besar yang resmi
diakui di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu Dharma, dan
Budha. Hal ini menimbulkan kebingungan tersendiri bagi masyarakat
Dayak yang menganut kepercayaan Kaharingan. Di satu pihak mereka harus
memilih salah satu dari agama-agama yang diakui pemerintah, sementara di
pihak lain ajaran-ajaran yang ditawarkan oleh para misionanis dan
penyebar agama tersebut dianggap tidak dapat mewadahi kepercayaan asli
mereka. Sebagian dari para penganut kepercayaan Kaharingan memilih agama
Hindu sebagai agama resmi mereka karena adanya persamaan
mendasar antara keduanya, khususnya dengan yang masih dipraktikkan oleh
masyarakat Suku Bali sebagai penganut agama Hindu. Setelah
bergabung dengan agama Hindu, maka secara tidak resmi muncul
istilah Hindu Kaharingan, yaitu untuk menyebut orang-orang Dayak yang
telah memeluk agama Hindu. Konsekuensi logis dari bergabungnya
mereka ke dalam agama Hindu adalah dilakukannya pembinaan oleh
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai majelis tertinggi Agama
Hindu di Indonesia.
Ketika kekuasaan Orde Baru runtuh dan
kemudian bergulir semangat reformasi, maka di kalangan umat Hindu Kaharingan pun timbul semangat reformasi. Sebagian dari mereka menyatakan
bahwa Hindu Kaharingan tidak sama dengan agama Hindu sebagaimana yang dianut oleh orang Bali, melainkan merupakan agama yang berdiri sendiri. Pada saat ini mereka tengah memperjuangkan kepada
pemerintah agar agama Hindu Kaharingan dapat diakui sebagai agama resmi, sejajar dengan agama-agama lainnya. Mereka juga telah
membuat majelis umat tersendiri di luar PHDI. Namun tampaknya, di antara mereka juga belum
ada kesepakatan bersama mengenai hal ini. Beberapa di antara mereka menawarkan nama BAKDI (Badan Agama Kaharingan Dayak
Indonesia), sebagian lagi menawarkan nama Majelis Hindu Kaharingan.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah mengapa umat Hindu Kaharingan
terpecah menjadi dua? Kebijakan apa yang sebaiknya ditempuh PHDI untuk mengatasi hal ini? Jumlah pemeluk Hindu
Kaharingan pada saat ini diperkirakan tidak terlalu besar, hanya sekitar 1,4 juta jiwa yang
tersebar di 4 propinsi di Kalimantan, yaitu: Kalimantan Tengah 300 ribu
jiwa, Kalimantan Timur 450 ribu jiwa, Kalimantan Barat 650 ribu jiwa,
dan Kalimantan Selatan 40 ribu jiwa.
Sebagaimana telah disebutkan, konsekuensi logis dari masuknya kepercayaan Kaharingan ke dalam agama
Hindu adalah kewajiban bagi PHDI selaku majelis tertinggi agama
Hindu untuk melakukan pembinaan terhadap masyarakat Kaharingan. Di
dalam pembinaan ini, kepada mereka diperkenalkan dengan sistem pantheon
(ketuhanan), hari-hari besar keagamaan, serta sarana dan prasarana
upacara agama Hindu. Pada kenyataannya, yang digunakan sebagai
model adalah adat dan tradisi umat Hindu suku Bali. Persoalan menjadi
muncul ketika praktik-praktik keagamaan masyarakat Dayak akhirnya mulai
didominasi oleh praktik keagamaan Hindu suku Bali, seperti pembuatan
tempat ibadah yang mengacu pada bentuk-bentuk pura yang ada di Bali,
sesaji yang didominasi oleh bentuk sesaji Bali, pakaian adat Bali, dan
sebagainya. Yang terjadi bukanlah pembinaan orang Dayak untuk lebih memahami Hindu, melainkan untuk menerima budaya suku Bali. Sementara itu, sejak dahulu masyarakat Dayak telah memiliki
sistem pantheon tersendiri, tempat ibadah sendiri, dan bentuk sesaji
tersendiri yang berbeda jauh dengan bentuk sesaji yang ada di Bali.
Berbeda dengan agama-agama besar lainnya, agama Hindu tidak
mengenal doktrin yang penyeragaman. Hindu berkembang dalam tradisi ke-bhinnekaan yang di Bali sendiri dikenal sebagai konsep Desa, Kala, Patra
(Tempat, Waktu dan Kondisi). Hanya saja, entah mengapa kemudian, ketika berhadapan dengan suku yang berbeda, yang muncul adalah semangat Balinisasi, bukan semangat berdasarkan konsep Desa, Kala, Patra. Penganut Hindu suku Bali, ketika dipertanyakan mengapa agama Hindu di Bali tidak sama dengan di India, akan menjawab dengan menggunakan konsep ini. Tetapi ketika PHDI melakukan pembinaan di kalangan umat Hindu Kaharingan, haruskan mengajarkan membuat banten, merayakan Galungan dan Kuningan, dan mengucapkan Om Swastyastu dan Om Shanti, Shanti, Shantih, Om (sedangkan umat Hindu di India menggunakan salam Namaste, Namaskar, atau Namaskaram)? Haruskah juga mengajarkan Tri Sandhya yang terdiri atas sejumlah bait sebagaimana yang digunakan di Bali dan bukannya lebih baik mengajarkan mantram Gayatri? Haruskah membangun pura bergaya aritektur Bali dengan mendatangkan arsitek tradisional Bali? Dan sesudah pura dengan gaya arsitektur Bali berdiri dengan megah, haruskah mereka datang ke pura dengan pakaian adat Bali?
Bila jawaban terhadap pertanyaan ini adalah ya maka permasalahan sebenarnya adalah bukan hanya pada adanya sebagian umat Kaharingan yang ingin keluar dari Hindu, melainkan kita
menggiring Hindu menghadapi kehancuran kedua di Nusantara. Seharusnya, sebagai konsekuensi dari konsep Desa, Kala, Patra; kita mengakui bahwa Hindu Kaharingan itu ada, sebagaimana juga Hindu Bali, Hindu Tengger, Hindu Batak, Hindu Kei, dan entah Hindu apa lagi. Sudah tidak zamannya lagi pada era desentralisasi masih tetap ingin menyeragamkan. Nama boleh berbeda-beda, sepanjang mengimani Panca Sraddha, selebihnya bhinneka tunggal ika. Bukankah Hindu akan menjadi benar-benar toleran bila orang Hindu suku Bali di Kalimantan sesekali bersembahyang di tempat ibadah Kaharingan? Atau yang dibangun di kota-kota Kalimantan bukanlah pura berarsitektur Bali melainkan disesuaikan dengan arsitektur Kaharingan?
Disadur dengan beberapa perubahan dari:
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1361&Itemid=121 dan
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1362&Itemid=121. Dua alinea terakhir ditambahkan.