Senin, 05 Agustus 2013

Umat Hindu Adat Kei, Maluku Tenggara

Pada zaman dahulu, sekitar tahun 1810, ada seorang tokoh spiritual yang berasal dari Bali. Beliau bernama Ketut yang sering di sebut dengan nama Tebtut. Beliau mempunya istri yang berasal dari desa Tanimbar Kei, bernama Nen Sikre. Beliau kemudian mengajarkan ajaran spiritual kegamaan, yaitu ajaran agama Hindu. Tetapi jauh sebelum beliau datang, sebutan agama Hindu sudah ada di desa ini. Sebutan agama Hindu bagi umat di desa Tanimbar Kei sudah ada sebelum zaman penjajahan Belanda, sejak zaman kerajaan Majapahit. Jauh sebelum masuknya agama Hindu, masyarakat di desa Tanimbar Kei sudah memegang teguh adat, tradisi dan kepercayaan setempat, yaitu kepecayaan terhadap benda-benda sakral dan mitu (leluhur) yang suci. Setelah masuknya ajaran Hindu di desa ini, tokoh adat desa Tanimbar Kei menerima ajaran agama Hindu sebagai suatu keyakinan masyarakat setempat. Hal ini dibuktikan dengan simbol-simbol yang masih terdapat di rumah-rumah adat yang ada di dalam ajaran Hindu. Salah satunya, yaitu keyakinan tentang mitu dan sirih pinang, terkandung nilai-nilai ajaran Hindu mengenai konsep Panca Sraddha dan kerangka dasar ajaran Hindu.


Lihat Peta Lebih Besar


Menurut hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bal (Bali), ketika itu merupakan wilayah kerajaan Majapahit di kawasan Barat Nusantara. Konon, dua perahu utama berlayar dari pulau Bali, masing-masing dinahkodai oleh dua orang, masing-masing bergelar Hala'ai Deu dan Hala'ai Jangra. Setibanya di perairan kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil, sedangkan perahu rombongan Jangra menepi di desa Ler-Ohoylim, pulau Kei Besar. Letvuan dijadikan pusat pemerintahan, tempat dikembangkannya hukum adat Larvul Ngabal (darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit Sakmas. Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa benda warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Bal Sorbay (Bali-Surabaya), yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu dulu berlabuh. Bukti-bukti itu kini dapat ditemui di Desa Tanimbar Kei, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Desa Tanimbar Kei terbagi menjadi dua lokasi, yaitu Ohoratan (kampung atas) dan Tahat (kampung bawah), serta satu dusun, yaitu  Dusun Mun.

Tokoh Umat Hindu Kei. Sumber: Umat Hindu Kei, Maluku Tenggara


Kampung atas berada tepat di atas tebing yang tingginya sekitar 25 m. Kampung atas sangat disucikan dan disakralkan oleh umat Hindu di desa Tanimbar Kei karena memiliki peninggalan seperti tempat-tempat suci dan rumah adat yang masih ada sampai sekarang. Benda-benda peningalan seperti rumah adat, arca (wadah), meriam peningalan zaman Belanda, gelang dari timah, tembaga, mas, dan uang gobang (pis bolong) sangat berperan dalam melaksanakan proses ritual adat. Pada zaman dahulu masyarakat yang bermukim di kampung atas mayoritas merupakan masyarakat dan tokoh adat beragama Hindu. Seiring dengan perjalan waktu, banyak anggota masyarakat beralih ke agama lain. Anggota masyarakat yang beralih ke agama lain berpindah tempat tinggal ke kampung bawah dan dusun Mun. Ini merupakan aturan tradisi mitu (leluhur) yang tidak boleh dilanggar. Karena akan berdampak buruk bagi kesejahteraan keluarga tersebut dan masyarakat desa Tanimbar Kei.

Kampung bawah sudah ada sejak zaman dahulu dan masyarakat yang bermukim di sana pada mulanya juga mayoritas beragama Hindu. Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat yang bermukim di kampung bawah terdiri dari pemeluk agama Islam, Katholik, dan Protestan. Berkembangnya komunitas Katholik dan Protestan tidakdi desa Tanimbar Kei terjadi karena pernikahan campur antara masyarakat Hindu desa Tanimbar Kei dengan penduduk desa lain yang setelah menikah kemudian tingal di desa Tanimbar Kei.  Pada tahun 1969, hasil rapat para tokoh adat menetapkan agar komunitas Non-Hindu dari kampung atas pindah bermukim di kampung bawah dan di dusun Mun. Ini semua bertujuan untuk menghormati para leluhur dan menghormati proses kesakralan ritual tradisi yang sering dilakukan di kampung atas. 

Dusun Mun terletak tidak jauh dari kampung atas dan kampung bawah. Mayoritas masyarakat yang tingal di dusun Mun beragama Islam. Masyarakat yang tinggal di dusun Mun masih memiliki hubungan persaudaraan yang sangat erat dengan umat yang berda di kampung atas dan kampung bawah. Semua masyarakat yang berada di ketiga lokasi ini merupakan keturunan satu nenek moyang dan bersaudara. Awal perpindahan masyarakat ke lokasi baru dusun Mun ini, disebabkan karena sekitar tahun 1967 terjadi kesalapahaman karena masyarakat beragama Kristen membunyikan lonceng gereja pada saat umat Hindu sedang melaksanakan tradisi Tate’e. Maka disitulah awal mulanya masyarakat desa Taimbar Kei membentuk dusun Mun sebagai tempat bermukim komunitas Islam, Katolik dan komunitas Protestan. Ajaran Islam masuk ke desa Tanimbar Kei dibawa oleh Mabal Latar yang berasal dari desa Banda Eli. Sejak diterimanya Mabal Latar, masyarakat dari desa Banda Eli kemudian menetapkan masyarakat Desa Tanimbar Kei sebagai pela (saudara).

Ritual-ritual yang dijalankan dipimpin oleh tokoh-tokoh adat yang telah dipercayakan oleh masyarakat setempat. Ritual sesajen seperti sirih, kapur pinang, tembakau, kopi dan sopi, tidak lepas dari setiap kegiatan ritual karena merupakan suatu ciri khas desa ini dalam menjalankan proses ritual kapada Sang Hyang Widhi dan para leluhur.  

Sejak sekitar tahun 1952 tokoh adat masyarakat Hindu di desa Tanimbar Kei berkeinginan untuk membangun tempat suci Pura. Karena tidak ada orang tang dapat mendorong dan memotifasi masyarakat untuk membantu niat baik tokoh adat maka ini belum bisa diwujudkan. Maka wacana itu berlalu begitu saja karena umat di desa ini belum mengerti tata cara untuk membangun tempat suci pura ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis seprti, "Mengapa umat Hindu yang mayoritas belum mempunyai tempat ibadah, sedangkan umat lain yang minoritas sudah mempunyai sarana tempat ibadah?" Selain merasa terpojokkan oleh pertanyaan-pertanyaan seperti ini, kurangnya pengetahuan dan pemahaman umat tentang sraddha menyebabkan banyak umat Hindu beralih memeluk agama lain.

Menghadapi kenyataan ini, PHDI Kab Maluku Tenggara yang di ketuai oleh M. Yamko berinisiatif mengadakan rapat dengan tokoh-tokoh adat dan masyarakat Hindu di desa Tanimbar Kei. Setelah enam kali rapat, dicapai kesepakatan dan keinginan untuk membangun pura dengan nama Pura Wuar Masbaat.
Pura mulai dibangun pada 27 Agustus 2007 dengan bantuan dana pertama dari Depag RI dan kemudian bantuan dari dari umat sedharma dan dari pemerintah daerah setempat. Sampai sekarang ini, pembangunan pura sudah mencapai 90% selesai.

Diringkas dari:  http://wwwhinduadatkei.blogspot.com/

6 komentar:

Warisan budaya dan sejarah leluhur jgn sampai punah...kita WAJIB melestarikannya...Terima kasih untuk semua informasi yg anda berikan..... smoga bermanfaat bg anak cucu kita lbh mengetahui sejarah....Tanat Evav..Larvul Ngabal...!

adat dan budaya merupakan suatu identitas suatu daerah.

terimah kasih telah mengulas banyak tentang tanimbar kei, saya merasa sangat bangga berasal dari sini dan dibesarkan dari ajaran-ajaran budaya yang masih dijaga hingga sekarang.

Semoga segala usaha yg baik untuk terlaksananya niat ini dimudahkan jalannya oleh Yang Kuasa sehingga bisa trrwujud sesuai yg diharapkan.

Semoga segala usaha yg baik untuk terlaksananya niat ini dimudahkan jalannya oleh Yang Kuasa sehingga bisa trrwujud sesuai yg diharapkan.

Sy dr bali.sy ingin brkenalan dg masyarakat key.nama fb sy putu saipul.

Posting Komentar

Kami sangat berterima kasih kepada Anda yang berkenan menyampaikan komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites