Selasa, 10 Juni 2014

PASRAH TOTAL KEPADA HYANG WIDHI SEBAGAI BENTUK ANTISIPASI EGO

 Om Swastyastu,
Om Awighnam Astu Namo Sidham,
Om Siddhirastu Tat Astu Swaha,
Om Anno Bhadrah Krattavo Yantu Visvattah.

PENDAHULUAN
Keyakinan yang mutlak merupakan rahasia keberhasilan spiritual. Belakangan para ilmuwan pun mengatakan, ”Scientist do not believe in our eyes” (para ilmuwan tidak percaya pada kedua mata fisik ini). Karena mereka tahu ada kebenaran yang lebih tinggi yang belum mereka ketahui. Kita dapat melihat sesuatu karena ada cahaya. Cahaya adalah gelombang elektromagnetik yang dihasilkan oleh matahari atau lampu. Cahaya merupakan suatu bentuk energi yang berupa gelombang dengan frekuensi tertentu.
Di hadapan manusia lain, kita seringkali membanggakan (menyombongkan) diri dan memperlihatkan kekuasaan-kekuasaan kecil yang kita miliki. Menonjolkan diri sendiri dan menganggap orang lain tak berarti. Meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain, memuji diri sendiri dan mencemooh orang lain. Seolah-olah kitalah penentu segala-galanya, yang paling tahu dan paling hebat di antara semuanya. Akan tetapi, ketika kita berhadapan dengan Tuhan, semua kesombongan itu tiba-tiba menjadi runtuh. Di hadapan-Nya kita merasa tak berdaya. Di hadapan-Nya kita tak lebih dari makhluk lemah yang hina, papa, dan penuh kenestapaan. Oleh karenanya kita pun lalu memanjatkan doa agar dibebaskan dari semua kesengsaraan serta dianugerai kedamaian dan kebahagiaan yang kekal.
Dibandingkan dengan Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Agung, Maha Kasih, dan maha segala-galanya, kita merasa kecil bagai debu yang tak berarti. Kekuasaan kita yang kecil tak berarti apa-apa. Pengetahuan kita yang terbatas pun tak mampu berbuat banyak. Lalu apa yang harus kita sombongkan? Apabila Ia berkehendak mengambil semua milik kita termasuk hidup kita sendiri, apa yang bisa kita lakukan? Bila maut datang menjemput tak seorang pun mampu mengelakkannya. Semua harta benda yang kita kumpulkan tak bisa menyertai kita, orang-orang yang kita cintai pun hanya bisa mengantar sampai ke kuburan. Satu-satunya yang mengiringi kita adalah buah perbuatan kita di dunia ini. Daripada mengejar kesenangan-kesenangan dunia yang sementara (dan membawa konsekuensi penderitaan), alangkah baiknya jika kita memiliki kepasrahan total pada Tuhan. Beliau jauh lebih tahu apa yang kita butuhkan dan apa yang baik buat kita. Dengan menumpahkan seluruh bakti kita kepada Tuhan dan memasrahkan semua pada kehendak-Nya niscaya Beliau akan senantiasa melindungi kita dan mengambil alih semua beban yang menggelayuti kita. Sebagaimana telah dijanjikan sendiri oleh Tuhan dalam Bhagawad Gita, IX.22:
”Bersujudlah hanya pada-Ku, renungkan Aku selalu, akan Kuberikan segala apa yang belum engkau miliki dan Kujaga segala apa yang engkau miliki.”

Bila kita pasrahkan hidup kita hanya pada Tuhan maka kita takkan memiliki ketakutan akan apa pun. Tuhan akan menanggung semua beban. Tuhan akan melindugi kita selalu. Bila kita memiliki kepasrahan total pada Tuhan, geledek pun akan lewat dengan tenang di sisi kita.
PIKIRAN JANGAN MENDUA
Dalam Mahabharata kita tahu bahwa Drupadi hendak ditelanjangi oleh Dursasana dalam sebuah sidang agung di istana Hastinapura. Setelah gagal memperoleh perlindungan dari sang suami (Panca Pandawa) dan sang kakek Bhisma, maka satu-satunya harapannya tinggal pada Sri Kresna, Sang Titisan Wisnu. Drupadi lalu memanjatkan doa memohon pertolongan Sri Krisna. Namun, pertolongan Sri Krisna datangnya begitu terlambat sehingga hampir saja Drupadi berhasil dipermalukan.
Mengapa hal itu terjadi? Sesungguhnya yang terjadi adalah, ketika pertama berdoa pikiran Drupadi masih mendua antara menahan tarikan pada kainnya dan memusatkan pikiran pada Sri Krisna. Begitu tinggal satu tarikan lagi, dia pasrahkan semuanya pada Krisna, ia cakupkan kedua tangannya memanggil nama Tuhan dengan sepenuh hati. Saat itu juga pertolongan datang, kain Drupadi bertambah panjang tak habis-habisnya.
Kepasrahan total juga diperlihatkan oleh Arjuna sehingga Arjuna terpilih menjadi instrumen atau alat Tuhan untuk menegakkan kebenaran.
Suatu hari Krisna dan Arjuna berjalan di sepanjang jalan terbuka. Ketika melihat burung melintas di udara, Krisna bertanya pada Arjuna,
”Apakah itu seekor merpati?” Arjuna menjawab, ”Ya, itu seekor merpati.”
Kembali Krisna bertanya, ”Apakah itu elang?” Arjuna menjawab, ”Ya, itu burung elang.” ”Bukan Arjuna, itu tampaknya seperti gagak bagi-Ku. Bukankah itu gagak?” tanya Krisna. Arjuna menjawab, ”Maaf, tak dapat disangsikan lagi itu memang gagak.”
Krisna tertawa dan menegur Arjuna karena menyetujui saran apa pun yang dikatakan-Nya. Arjuna berkata, ”Bagiku kata-kata-Mu jauh lebih berbobot daripada apa yang terlihat di mataku. Engkau dapat menjadikannya seekor gagak, merpati, dan elang. Jika Kau menyebutnya gagak, pastilah demikian.”
Keyakinan yang mutlak seperti inilah yang merupakan rahasia keberhasilan spiritual. Belakangan para ilmuwan pun mengatakan, ”Scientist do not believe in our eyes” (para ilmuwan tidak percaya pada kedua mata fisik ini). Karena mereka tahu ada kebenaran yang lebih tinggi yang belum mereka ketahui. Kita dapat melihat sesuatu karena ada cahaya. Cahaya adalah gelombang elektromagnetik yang dihasilkan oleh matahari atau lampu. Cahaya merupakan suatu bentuk energi yang berupa gelombang dengan frekuensi tertentu. Jika frekuensinya berubah maka bentuk sinarnya pun bisa berubah. Misalnya menjadi sinar X, infra merah dan sebagainya.
Kita dapat melihat benda-benda karena ada cahaya yang masuk melalui lensa mata kita dan diterima oleh pusat saraf penglihatan. Inilah yang menyebabkan kita bisa melihat orang-orang di sekitar kita. Betapa cantik dan gagahnya mereka. Tetapi seandainya frekuensi gelombang cahaya tadi berubah sehingga yang timbul Sinar X, apa yang akan tampak oleh kita? Bukan lagi orang seperti yang kita lihat tadi, melainkan hanya tulang-tulang rangka belaka. Tidak ada lagi senyuman, tidak ada lagi kecantikan atau keindahan. Karena kemurahan hati Tuhan jualah kita dapat menyaksikan keindahan ciptaan-Nya di dunia ini. Maka, pasrahkanlah segala sesuatunya kepada Tuhan.
Jangan pasrah berpikir bahwa kebaktian atau pemujaan adalah pakaian seragam yang kita tanggalkan begitu selesai sembahyang. Yang terpenting adalah, What’s next?, apa yang kita lakukan setelah proses sembahyang itu selesai. Percuma jika kita rajin bersembahyang, tetapi serajin itu pula berbuat yang asubha karma (tidak baik). Jadilah seperti lebah yang selalu mengisap sari madu bunga-bungaan,  jangan menjadi lalat yang sesaat kemudian menuju sampah yang busuk.
Mungkin kita berpikir bahwa meditasi adalah sikap duduk dengan aturan-aturan tertentu. Tetapi pada saatnya nanti kita akan sadar bahwa setiap saat adalah meditasi pada Tuhan. Apa pun yang kita lakukan setiap saat bila semua itu dipersembahkan sebagai pemujaan pada Tuhan maka setiap detik dalam hidup kita adalah meditasi.
“Om Dewa Suksma Parama Achintya Ya Namah Swaha,
Om Sarwa Karya Prasidhantam,
Om Santi, Santi, Santi Om.

Penulis: Ni Luh Putu Sri Astini, S.Pd.H,  Guru Agama Hindu pada SDN Bertingkat Naikoten Kota Kupang

2 komentar:

Terima kasih atas tulisan ibu...sebagai bahan renungan

Terima kasih atas tulisan ibu...sebagai bahan renungan

Posting Komentar

Kami sangat berterima kasih kepada Anda yang berkenan menyampaikan komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites