Anye krtayuge dharmastre
tayam dwapere” pare
anye kaliyuge nrrnam
yugahrasa nurupatah
tayam dwapere” pare
anye kaliyuge nrrnam
yugahrasa nurupatah
Kewajiban manusia
di zaman krtayuga berbeda macamnya dan kewajiban-kewajiban yang ditentukan di
zaman tretayuga dan di zaman dwapara demikian pula
di zaman kaliyuga, sesuai menurut panjangnya masa yang semakin berkurang (Mds.
I. 85)
Pendahuluan
Agama Hindu mengenal adanya 4 (empat)
zaman yang disebut “Catur Yuga” yang terdiri dan: Krtayuga, Trta Yuga,
Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Masa kerta yuga adalah merupakan masa yang
penuh kedamaian dimana pada masa tersebut tidak ada manusia yang berbuat
adharma walaupun hanya dalam pikiran. Manusia pada masa itu selalu mematuhi
ajaran-ajaran kebenaran dan tiada pernah menyakiti mahluk lain baik dalam
pikiran, perkataan maupun perbuatan. Yang ada dalam kehidupan manusia pada masa
tersebut adalah berbuat untuk kesenangan orang lain dan berjalan diatas
jalannya dharma sehingga jaman tersebut sering juga dinamakan: Zaman Satya Yuga
yang mengandung arti bahwa pada masa itu manusia hidup didalam kesetiaan.
“Masa kertayuga ini berlangsung selama 1.460.000 tahun manusia dengan ketentuan
masa berikutnya berkurang satu”.
Zaman selanjutnya disebut Trta Yuga yang
merupakan masa kedua dari catur yuga. Pada masa ini pikiran manusia mulai
dikotori oleh sesuatu kejahatan untuk menghancurkan manusia lainnya. “Pada masa
ini mulailah muncul kerajaan-kerajaan yang memisahkan antara golongan yang satu
dengan golongan yang lainnya. Masa ini diawali dengan kehancuran Kerajaan
Arjuna Sashrabahu dan diakhiri dengan runtuhnya kerajaan Sri Rama.
Sedangkan zaman ketiga disebut zaman
Dwapara Yuga, dirnana pada masa ini manusia sudah mulai berwatak dua yakni
sebagian dirinya merupakan kebaikan dan sebagian lainnya tersimpan kejahatan.
Pada zaman ini manusia sudah mulai merasa pamrih untuk membantu orang lain,
maksudnya mereka membantu orang lain karena ada maksud dan tujuan untuk
mendapatkan imbalan dari pekerjaan yang dilakoninya. “Zaman ini diakhiri
oleh pemerintahan Parikesit yang merupakan cucunya dari Arjuna”.
Demikianlah uraian mengenai 3 (tiga) yuga yang mendahului zaman Kali Yuga.
Kewajiban manusia pada zaman Kaliyuga.
Kaliyuga adalah merupakan zaman terakhir
menurut ajaran Agama Hindu. Bila ditinjau dari segi arti katanya, kaliyuga
adalah merupakan kebalikan dari zaman Krta/Satya Yuga, dimana kalau pada zaman
krta yuga hati manusia benar-benar tertuju kepada Tuhan sebagai pencipta,
pemelihara dan pengembali alam beserta isinya, maka pada zaman kaliyuga
kepuasan hatilah yang menjadi tujuan utama dari manusia. Pada zaman ini apabila
manusia sudah dapat memenuhi segala sesuatu yang bersifat keduniawian baik itu
berupa harta (kekayaan) ataupun tahta (kedudukan) maka puaslah orang tersebut.
Sesungguhnya kewajiban utama manusia pada zaman Kaliyuga adalah: berdana punya
sebagaimana dinyatakan dalam kitab Parasara Dharmasastra 1, 23 sebagai berikut:
Tapah
Param Krtayuge Tretayam Jnananucyate Dvapare Yajnamityacurddanam
Ekam
kalau yuge.
Pelaksanaan penebusan dosa yang ketat (tapa) merupakan kewajiban
pada masa Satyayuga; pengetahuan tentang sang diri (jnana) pada tretayuga;
pelaksanaan upacara kurban keagamaan (yajna) pada masa Dwaparayuga, dan
melaksanakan amal sedekah (danam) pada masa Kaliyuga
Sangat jelas terlihat bahwa berdana adalah merupakan kewajiban
manusia pada zaman kaliyuga. Namun dalam kehidupan sekarang ini kita melihat
banyak orang kaya yang kikir dan tidak mau mendermakan kekayaannya walaupun
untuk yajna sekalipun.
Apakah yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi?
Hal ini karena mereka beranggapan bahwa makin sering
bersedekah maka makin berkuranglah harta miliknya. Pandangan yang demikian
adalah sangat keliru karena sesungguhnya makin banyak kita bersedekah maka
makin banyak pula kenikmatan yang akan diperoleh sebagaimana dinyatakan dalam
kitab Sarasamuscaya Sloka 171 sebagai berikut:
Kuneng
phalaning tyagadana yawat katemung bhogapabhoga ring palaloka dlaha, yapwan
phalaning sewaka ring wwang kabayan, katemung medaguna, si yatnan kitatutur,
kuneng phalaning ahingsa, si tan pamati-mati, kadirghayusan mangka ling sang
pandita ( S.S. Sloka 171
Maka
hasil pemberian sedekah yang berlimpah-limpah adalah diperolehnya berbagai
kenikmatan di dunia lain kelak; akan pahala pengabdian kepada orang tua-tua
adalah diperolehnya hikmah kebijaksanaan yaitu tetap waspada dan sadar, adapun
akibat ahimsa yaitu tidak melakukan perbuatan membunuh adalah usia panjang;
demikian kata sang pandita (orang arif bijaksana).
Oleh sebab itu, mengingat berdana punya merupakan kewajiban
utama pada zaman kaliyuga ini marilah kita mencoba membuka hati kita untuk
melaksanakan dana punya. Kitab Sarasamuscaya Sloka 212 memberikan tuntutan agar dapat
melatih diri untuk berdana punya sebagai berikut:
Kuneng
tekapanika sang mataki-taki dana karma, alpa wastu sakareng danakena,
kadyangganingprat, lunggat, lutik, bungkila, samsam prakara, telas parityaga
pwa irika, licin anglugas alaris ri kawehanya, makanimittang abhyasa,
dadya ika mehakena rah dagingnya mene (S.S. Sloka 212
dadya ika mehakena rah dagingnya mene (S.S. Sloka 212
Bagi
orang yang melatih atau menguji diri untuk perbuatan memberikan sedekah,
hendaknya dengan cara memberikan sedekah barang-barang yang tak berarti untuk
sementara, sebagai misalnya salur-saluran, pucuk tumbuh-tumbuhan, tunas
tanam-tanaman, umbi-umbian dan semacamnya tanam-tanaman yang daunnya boleh
dimakan; jika untuk itu telah ada keikhlasan pengorbanan, licin, bebas dan
lancar jalannya pemberian sedekah itu disebabkan karena telah merupakan
kebiasaan dapat terjadi bahwa orang itu akan memberikan darah dagingnya sendiri
nanti.
Setelah kita menyadari bahwa
betapa besarnya pahala berdana punya tersebut bagi kehidupan kita, alangkah
mulianya bila kita dapat menjadi tauladan dalam hal bersedekah, janganlah hanya
dapat memberikan nasehat orang untuk dapat bersedekah, namun dirinya tidak
pernah melaksanakan. Jika hal ini dilakukan, betapa nistanya kata-kata yang
diucapkannya, karena sesungguhnya apa yang disampaikan akan sia-sia dan tiada
akan membuahkan hasil sebagaimana diungkapkan dalam Sarasamusccaya
sebagai berikut:
Kunang ikang wwang mapitutur juga, makon agawaya danapunya, akweh
akadika tuwi, ikang wwang mangkana kramanya, ya ika tan siddhasadhya dlaha,
wiluma asingsesta prayojananya, kadi kramaning kliba, tan paphala polahnya.
Tetapi
orang yang hanya memberi ingat atau nasehat saja menyuruh agar berbuat
kebajikan memberi sedekah, baik banyak ataupun sedikit, orang yang demikian
prilakunya, adalah tidak kesampaian maksudnya kelak, sekalian cita-cita dan
tujuannya akan sia-sia, sebagai keadaan seorang mati pucuk (mandul) tidak berhasil
perbuatannya (S.S. Sloka 214),
Perbuatan
itu sama hasilnya dengan memberikan punya dengan hati marah akan tidak menuai
hasil sama sekali seperti diungkapkan dalam lontar Slokantara sebagai berikut:
Walaupun seandainya dana itu berjumlah
amat besar. Tetapi diberikan dengan hati marah Akhirnya tidak berbeda dengan
abu. Dan setumpuk ilalang dibakar oleh api yang kecil saja. (S.S. Sloka 20 (5)).
Oleh karena itu, marilah kita berusaha
melatih diri untuk mampu berdana punya sesuai dengan kemampuan kita, walau
sekecil apapun karena yang terpenting dalam bersedekah adalah ketulusan hati
dan bukan dengan kesombongan, gen gsi ataupun dengan maksud memamerkan
kekayaan. Di dalam kitab Sarasamusccaya diungkapkan secara jelas mengenai hal
tersebut sebagai berikut:
Yadyapin akedika ikang dana, ndan mangene welkang ya, agong
phalanika, yadyapin akweha tuwi; mangke welkang tuwi, yan antukning anyaya,
nisphala ika, kalinganya, tan si kweh, tan si kedik, amuhara kweh kedik ning
danaphala, kaneng paramarthanya, nyayanyaya ning dana juga. (S.S. Sloka 184)
Biarpun
sedikit pemberian (sedekah) itu, tetapi mengenai kehausan atau keinginan hati,
besarlah manfaatnya; meski banyak apalagi menyebabkan semakin haus dan
diperoleh dengan cara yang tidak layak atau tidak patut, tiada faedahnya itu;
tegasnya, bukan yang banyak atau bukan yang sedikit, menyebabkan banyak atau
sedikit faedah pemberian itu, melainkan pada hakekatnya tergantung dari layak
atau tidaknya pemberian itu.
Hal senada diungkapkan pula dalam Lontar
Slokantara, sebagai berikut:
Walaupun dana itu berjumlah kecil dan tidak berarti,
Tetapi jika diberikan dengan hati suci, akan membawa kebaikan yang tidak terkira
Sebagai halnya sebuah biji pohon beringin. (Sloka 194).
Tetapi jika diberikan dengan hati suci, akan membawa kebaikan yang tidak terkira
Sebagai halnya sebuah biji pohon beringin. (Sloka 194).
Berdasarkan beberapa
kutipan sloka yang telah diuraikan, dapatlah diambil intisarinya bahwa kewajiban utama manusia pada
zaman Kaliyuga adalah melaksanakan dana punya, yang semestinya dilakukan
dengan hati yang suci dan ikhlas, bukan dengan jalan memamerkan diri terlebih-lebih dengan harapan
untuk mendapatkan pujian, sia-sialah semuanya itu.
Demikianlah kewajiban utama manusia di zaman kaliyuga yakni:
“Melaksanakan Dana Punya/Sedekah”.
Penulis: I Made Astika Dhana
1 komentar:
Sungguh bahagia sekali saya dapat membaca artikel/dharmawacana ini. Terima kasih atas punia pemikiran seperti ini. Suksma.
Posting Komentar
Kami sangat berterima kasih kepada Anda yang berkenan menyampaikan komentar