Om Swastyastu,
Kata yadnya seperti yang kita ketahui sudah lama populer,
tetapi masih banyak umat yang memberi arti sempit pada kata yadnya tersebut.
Bagi umat yang masih awam setiap mendengar kata yadnya dalam benaknya selalu
terbayang bahwa di suatu tempat ada berbagai jenis sesajen, asap dupa mengepul,
bau bunga dan wangi kemenyan yang semerbak, ada puja stawa sulinggih atau
pemangku, ada suara tabuh, kidung, gambelan yang meriah dan berbagai atraksi
seni religious. Bayangan tersebut tidaklah salah, namun ada kekeliruan anggapan
kalau yadnya diidentikkan dengan kegiatan upacara keagamaan, yang sesungguhnya
pengertian yadnya tidak sesempit itu.
Kata yajnya sesungguhnya berasal dari bahasa
sanskerta.Yadnya secara etimologi berasal dari akar kata Yaj artinya :
“korban”. Dengan demikian yadnya dapat diartikan korban suci dengan tulus
iklas. Pengorbanan dalam konteks ini cakupanya sangat luas dan bukan saja dalam
bentuk ritual, upakara tetapi dapat juga dipahami sebagai pengorbanan dalam
bentuk pikiran, tindakan dan yang lainya. Dalam kitab Bhagavadgita IV.33
dinyatakan sebagai berikut:
Sreyaan dravyamayaad yadnyaaj.
Jnyanayadnyaah paramtapa.
Sarvam karmaa’khilam paartha.
Jnyaane parsamaapyate
(Bhagavad Gita IV.33)
Jnyanayadnyaah paramtapa.
Sarvam karmaa’khilam paartha.
Jnyaane parsamaapyate
(Bhagavad Gita IV.33)
Lebih utama persembahan dengan Jnyana Yadnya daripada
persembahan materi dalam wujud apa pun. Sebab, segala pekerjaan apa pun
seharusnya berdasarkan ilmu pengetahuan suci (Jnyana).
Di jaman yang modern seperti sekarang ini yang mana
kehidupan masyarakat yang serba praktis pola hidup masyarakat cendrung
konsomtif (serba instan) dan hedonisme. Masyarakat pada umumnya melakoni hidup
dengan rutinitas yang padat, terkadang sampai lupa waktu, terutama masyarakat
yang hidup di kota-kota besar.
Jika umat tidak memahami tatwa yadnya
yang sesungguhnya , sudah pasti umat akan beranggapan bahwa beryadnya khuusnya
di Hindu akan sangat memberatkan umat kerena penuh dengan ritual upacara dengan
berbagai sesajen atau banten yang begitu banyak.
Sesungguhnya jika umat memahami tatwa atau esensi dari
yadnya, maka umat akan dapat memahami kalau beryadnya tidak hanya dengan ritual
semata tetapi dapat pula dilakukan dengan melaksanakan ajaran dharma. Jika
segala sesuatu atau perbuatan yang kita lakukan berdasarkan atas dharma dengan
tulus ikhlas dapat disebut yadnya.
Dalam Bhagavadgita dikatakan belajar dan mengajar yang
didasari oleh keiklasan serta penuh pengabdian untuk memuja nama Tuhan maka itu
pun tergolong kedalam yadnya. Memelihara alam dan lingkungan sekitar pun
tergolong kedalam yadnya. Mengendalikan hawa nafsu dan panca indra adalah
yadnya.
Selain itu menolong orang sakit, mengentaskan kemiskinan,
menghibur orang yang sedang tertimpa musibah pun adalah yadnya. Jadi jelaslah
yadnya itu bukan terbatas pada kegiatan upacara keagamaan saja.
Jikaumat telah memahami tatwa yadnya yang sesungguhnya maka
umat tidak akan beranggapan kalau yadnya yang setiap hari kita lakukan hanya
berkutat dengan ritual upacara semata yang penuh dengan sesajen. Hal tersebut
terkadang dapat memberatkan umat sehingga muncul anggapan kalau beryadnya itu
rumit dan terkesan ada unsur pemaksaan.
Sesungguhnya jika dipahami, Hindu itu merupakan Agama yang
fleksibel. Hindu adalah “cara hidup” kata S Radhakrisnan. Dan, “Hindu disetiap
aktifitasnya menunjukan elastisitasnya (fleksibel) tidak kaku” ujar MK Gandhi.
Demikian juga “Hindu fleksibel tidak membunh budaya setempat dimana Hindu itu
berkembang, seperti ibarat bola karet yang mengelinding.
Menggelinding di pasir ia akan menjadi pasir, menggelinding
dirumput ia akan menjadi rumput”. Ujar guru agung Svami Vivekananda. Jadi
ajaran Hindu tidak kaku, demikian juga kaitanya dalam melakukan ritual yadnya
Hindu tidak mengharuskan beryadnya dengan kemegahan dan kemewahan serta
mengeluarkan uang banyak.
Apabila ditinjau dari tiga kerangka dasar Agama Hindu yaitu
Tatwa, Etika, dan Upakara atau Upacara, dimana kerangka ini merupakan cerminan
dari “Tri Angga Sarira” dari manusia diantaranya ada badan Atma yang
bermanifestasi sebagai “Mahat” dan tercermin sebagai Tatwa. Kedua adalah badan
Antakarana (jiwa) bermanifestasi sebagai “Budhi” dan tercermin sebagai perilaku
atau etika.
Ketiga adalah adanya jasad tubuh “Panca Maha Butha”
bermanifestasi sebagai “Ahamkara” dan merupakan cerminan upakara atau upacara
(bersifat material). Sesungguhnya yadnya yang kita lalukan adalah cerminan dari
diri sendiri, dikatakan dalam Upanisad; sesungguhnya Tuhan berada dalam diri
kita sendiri. Jika kita ingin memiliki atau mempersembahkan yadnya yang
berkualitas hendaknya kita mampu mengendalikan diri sendiri terutama
mengendalikan pikiran.
Manawa Dharmasastra II.92, dikatakan bahwa; “pikiran adalah indra yang kesebelas, pikiran
itu disebut rajendrya atau raja-raja indria”. Jadi jika ingin yadnya yang
kita persembahkan berkualitas, maka kita harus dapat memahami bahwa sebenarnya
Tuhan ada dalam diri serta mampu untuk mengendalikan pikiran. Sebab pikiran
merupakan penyebab dari kehancuran.
Demikian untuk dipahami umat sedharma, beryadnya yang berkualitas bukan diukur dari kemegahan dan besar kecilnya upacara. Sesungguhnya kualitas dari yadnya tersebut berada dalam diri sendiri. Jika sudah mampu untuk mengendalikan pikiran, tindakan dan nafsu dalam diri maka apapun perbuatan yang kita lakukan adalah yadnya yang berkualitas.
Demikian untuk dipahami umat sedharma, beryadnya yang berkualitas bukan diukur dari kemegahan dan besar kecilnya upacara. Sesungguhnya kualitas dari yadnya tersebut berada dalam diri sendiri. Jika sudah mampu untuk mengendalikan pikiran, tindakan dan nafsu dalam diri maka apapun perbuatan yang kita lakukan adalah yadnya yang berkualitas.
Sesungguhnya tatwa atau esensi dari yadnya yang kita
lakukan adalah bertolak ukur dari diri sendiri. Selain itu jika dikaitkan
dengan kehidupan dijaman yang modern ini tatwa yadnya itu sendiri, bilamana
kita mampu untuk mengendalikan pikiran dan tindakan serta dapat menolong orang
yang sedang kesusahan adalah besar yadnya tersebut.
Sebagai harapan kitabersama, jika kita menghargai ciptaan
Tuhan maka kita secara tidak langsung telah melakukan yadnya yang utama.
Seperti dalam Hindu dikatakan dalam konsep Tat Twam Asi, aku adalah kamu yang
artinya jika kita menyayangi dan memelihara ciptaan Tuhan maka sama artinya
kita mempersembahkan bhakti kepada-Nya. Akhir kata saya tutup dengan parama santih
Om Santih,
Santih, Santih Om
Penulis:
Ni Luh Putu Sri Astini, S.Pd.H
Guru Agama Hindu pada SDN Bertingkat
Naikoten Kota Kupang