Sabtu, 05 April 2014

MELASTI, MEMETIK SARI KEHIDUPAN



Tradisi India yang bermakna sama dengan malasti ala Bali ini bernama nagasankirthan. Bedanya: di India nagasankirthan dilakukan berkeliling sambil mengidungkan nama-nama suci Tuhan seraya mengusung simbol Tuhan dalam bentuk gambar istadewata.
Sebelum Nyepi dirayakan pada pananggal apisan sasih Kadasa (hari pertama bulan ke sepuluh) selalu didahului dengan kegiatan melasti, nyejer, dan tawur kasanga. Makna melasti dan tawur kasanga ini dijelaskan dalam lontar berbahasa Jawa Kuno, Aji Swamandala dan Sunarigama. Ini menunjukkan, prosesi upacara semacam ini dahulu sudah pernah dilakukan umat Hindu di Pulau Jawa.

Dalam lontar Sang Hyang Aji Swamandala disebutkan, “Malasti ngarania ngiring prawatek dewata anganyutaken laraningjagat, papa klesa, letuhing bhuwana.” ini berarti: malasti adalah menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa, dan kekotoran Alam Semesta. Sedangkan lontar Sunarigama menyuratkan, tujuan malasti itu adalah “amet sarining amertha kamandalu ring telenging segara,” yang berarti “mengambil saripati kehidupan di tengah samudra”.

Dan kutipan lontar tersebut terkandung makna malasti yang sangat luas, dalam, dan universal. Keluasan, kedalaman, dan keuniversalan arti dan makna yang tersurat dan tersirat dalam teks lontar tersebut menjadi kian penting dicamkan manakala dikaitkan dengan kehidupan kita di planet Bumi ini. Lewat teks lontar ini didapat pemahaman, malasti sesungguhnya memberikan empat Iangkah tuntunan guna menjadikan hidup ini bermakna dalam mendapatkan sari-sari kehidupan.

Pertama, ngiring prawatek dewata. Artinya, membangun sikap hidup untuk senantiasa menguatkan sraddha bhakti dan patuh pada tuntunan para Dewata, sinar suci Tuhan, baik sebagai Dewa Dewa maupun sebagai Dewa Pitara - roh suci yang telah mencapai alam Dewa atau Sidha Dewata. Teks lontar Sang Hyang Aji Swamandala inilah yang dijadikan landasan oleh umat Hindu di Bali melakukan upacara malasti dengan melakukan pawai keagamaan di Bali dinamakan mapeed - guna melakukan perjalanan suci menuju sumber air, seperti laut, sungai, atau mata air lain yang dianggap memiliki nilai sakral secara keagamaan Hindu. Peserta malasti umumnya dan pura kahyangan yang ada di tingkat desa pakraman dan sekitarnya, lengkap diiringi umat panyungsung masing-masing pura tersebut. Balk pura kahyangan tiga yang merupakan jenis pura dewa pratistha maupun pura atma pratistha.

Sebelum puncak upacara malasti dilakukan di pusat-pusat mata air, seperti laut, sungai, danau, dan lain-lain, semua peserta lazim berkumpul dahulu di Pura Desa setempat. Begitu pula setelah puncak upacara malasti dilakulcan, semua pengiring malasti pun berkumpul kembali di Pura Desa. Di Pura Desa ini, usai malasti, lazimnya arca-arca dewadewi yang disucikan itu di-adegang atau nyejer beberapa hati, dan selama itu pula umat desa setempat berkumpul bersama pula di Puna Desa.

Adapun saat malasti itu dilangsungkan, simbol-simbol keagamaan yang sudah mengalami proses penyakralan sesuai dengan ketentuan keagamaan Hindu di Bali, seperti arca dewa-dewi, itu pun diusung menuju sumber-sumber air. Di sumber-sumber air itulah puncak upacara digelar dengan inti menghaturkan bakti kepada Tuhan dalam manifestasi sebagai Dewa Baruna, lalu diakhiri nunas tirta wangsuh pada sebagai simbolik tirta amerta kamandalu yang didapatkan di tengah samudra.

Usai malasti, arca-arca sakral tadi lantas diusung pula keliling wilayah desa pakraman, sebelum akhirnya berkumpul bersatu kembali di bale agung Pura Desa setempat. Dalam aras spiritual, perjalanan mengusung arca suci keliling desa ini dimaksudlcan buat menebar dan menyebarkan getaran atau vibrasi kesucian ke sekeliling wilayah desa.

Kedua, anganyutaken laraning jagat. Ini berarti, dengan upacara malasti orang dimotivasi secana ritual supaya membangkitkan spiritualitas unmk menghilangkan laraningjagat. Tidak mudah mencarikan padanan makna laraning jagat mi dalam bahasa Indonesia. Lara agak mirip, memang, dengan hidup menderita. Namun, lara tidaklah semata-mata orang yang miskin materi. Banyak juga orang kaya, atau berkuasa, berpendidikan tinggi, ataupun keturunan bangsawan, hidupnya tergolong lara. Kenapa?

Karena orang kaya menggunakan kekayaannya untuk membangkitkan kehidupan yang mengumbar hawa nafsu. Kekuasaan dijadikan media mengembangkan ego, untuk bersombong-sombong-ria, atau menggunakan kekuasaan untuk mengeruk keunmngan pribadi. Bukan untuk mengabdi kepada mereka yang menderita. Demikian juga banyak ilmuwan menjadi sombong karena merasa diri pintar. Banyak juga orang yang meninggi-ninggikan kewangsaannya. Sifat-sifat negatif semacam inilah yang akan menimbulkan disharmoni dalam kehidupan bermasyarakat, menimbulkan laraningjagat.

Menghilangkan laraning jagat, karena itu, hendaknya diwujud-nyatakan dengan menghilangkan sumber penderitaan masyarakat, baik bersifat sakala maupun niskala.

Ketiga, anganyutaken papa klesa. Para pinandita maupun pandita Hindu di Tanah Air dalam mengantarkan upacara keagamaan selalu mengucapkan mantram: OM papa klesa winasanam. Mantram ini hampir tidak pernah dilupakan, yang berarti: Ya, Tuhan, semoga papa klesa ini terbinasakan. Hidup manusia menjadi papa karena didominasi sifat-sifat klesa dalam diri pribadi yang bersangkutan. Kelima klesa awidya, asmita, raga, dwesa, dan abhiniwesa yang dibawa oleh unsur pradana dalam diri inilah yang patut diatasi agar hidup tidak menjadi papa. Hidup yang papa itu berjalan jauh di luar garis dharma, sehingga membawa seseorang semakin jauh dan Tuhan.

Keempat, anganyutaken letuhing bhuwana. Yang dimaksud dengan bhuwana yang letuh adalah alam yang tidak lestari. Letuh berarti kotor lahir bathin. Atau dalam kitab Sarasamuscaya dinamakan bukan bhuta hita. Bhuta berarti ‘unsur yang ada’. Bhuta itu ada lima, sehingga dinamakan pancamahabhuta, mencakup: pertiwi (padat/tanah), apah (cair/air), teja (bersinar/api), bayu (berembus/angin), dan akasa. Kelima unsur alam inilah yang wajib dijaga kesejahteraannya, dengan tidak mengganggunya.

Begitulah, upacara malasti itu bertujuan menanamkan nilai-nilai filosofis tadi sehingga setiap orang termotivasi melakukan empat langkah tersebut dalam hidupnya secara sadar dan terencana. Malasti dilakukan beberapa han sebelum upacara tawur kasanga, lazimnya tiga hari sebelum tawur kasanga. Adapun tawur kasanga digelar bertepatan dengan Tilem Kasanga, bulan mati kesembilan.

Patut diperhatikan, tujuan utama malasti adalah mendapatkan tirta amerta kamandalu di tengah samudra. Tirta itu air suci, sedangkan amerta berarti hidup. Adapun kamandalu dalam bahasa Sansekerta berarti ‘tempat air suci’. Mengapa disebut air suci? Karena ia dapat memenuhi keinginan yang mulia.

Kamandalu berasal dan kata kama, berarti keinginan. Keingmnan itu ada dua: wisaya kama dan sreya kama. Wisaya kama merupakan keinginan yang didorong hawa nafsu semata, sedangkan sreya kama keinginan mulia yang didorong kesucian hati nurani. Keinginan mulia im, misalnya, ingmn ber- dana punia, ingin berkorban. Keinginan tertinggi adalah mencapai moksa.

Jadi, malasti merupakan simbolik upaya menyucikan buwana alit dan buwana agung. Dengan kesucian kita dapat meraih kehidupan yang mulia dan mendapat wadah untuk mengembangkan keinginan mulia, sreya kama. Malasti juga mengingarkan manusia agar selalu mengembangkan sreya kama, mengembangkan keinginan mulia, sekaligus meredam wisaya kama, keinginan mengumbar hawa nafsu.

Upacara malasti, karena itu, merupakan media sakral memvisualkan proses hidup guna meraih kehidupan yang sejahtera lahir batin di Bumi ini. Bumi inilah media mencapai tujuan hidup tertinggi: mencapai moksa.

Ini berarti dengan empat langkah itulah umat baru dapat dibenarkan memperoleh hidup sejahtera, yang dalam lontar Sunarigama dibahasakan “amet sarining amerta kamandalu ring telenging segara” (mengambil air kehidupan di tengah samudra). Ini memberi tuntunan: manusia berhak mendapatkan amerta kamandalu bila terlebih dahulu melakukan empat langkah penting.

Lontar Aji Swamandala membabarkan empat langkah penting yang dimaksud itu: bahwa guna meraih air kehidupan yang sejahtera lahir bathin, terlebih dahulu tingkatkanlah sraddha bhakti kepada Tuhan. Kuatnya sraddha bhakti kepada Tuhan jadikan pendorong meningkatkan kepedulian sosial (anganyutaken laraning jagat), memperbaiki kualitas diri dengan melepaskan lima kekotoran diri (papa klesa), sekaligus menghilangkan sikap hidup yang merusak alam (letuhing buwana).

Dikutip dari I Ketut Wiana, sesuai dengan aslinya. http://www.parisada.org.

0 komentar:

Posting Komentar

Kami sangat berterima kasih kepada Anda yang berkenan menyampaikan komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites