Rabu, 07 Mei 2014

TINGGALKAN SIKAP SINISME DAN FANATISME SEMPIT

(Bhagawad Gita IV. 11).



Ye yathaa mam prapadyante
taam tathai va bhajami aham
mama vartamaa nuvartante
manusyaah paartha sarvasah

[Jalan manapun yang ditempuh manusia menuju kearahKu, semuanya Aku terima dan arah manapun sepanjang itu jalan menujuKu oh Parta]


KEBERADAAN Tuhan itu pertama-tama didekati dengan keyakinan. Kemudian barulah menggunakan akal yang logis untuk menganalisaNya. Misalnya, keberadaan alam semesta ini demikian luas dengan dimensi yang tidak terjangkau oleh kecerdasan intelektual. Dengan kecerdasan itu manusia tidak bisa membuktikan bahwa siapa sesungguhnya sebagai pencipta atau perancang alam semesta ini sehingga nyata ada. Tidak mungkin yang ada ini diciptakan oleh yang tidak ada.

Setelah analisa intelektual tidak menjangkaunya maka timbulah logika bahwa ada sesuatu Yang Maha Tinggi tak terbatas sebagai penciptanya. Karena diluar kemampuan kecerdasan manusia mencapainya, maka munculah kesimpulan bahwa Sang Pencipta itu adalah Tuhan. Tuhan itu tidak mungkin diterangkan oleh manusia betapapun hebat tingkat kercerdasannya. Dalam ajaran Siwa dinyatakan: Bhatara Siwa meraga suksma, sira suwung tan kagrahita dening manah muang indria. Artinya Tuhan itu amat gaib, kosong, tidak bisa diraih dengan kecerdasan pikiran dan indria.

Pernyataan ini dapat ditetapkan bahwa Kemahakuasaan Tuhan itu hanya dapat dicapai melalui pendekatan Sradha dan Bhakti atau diyakini dan dipuja. Melalui Sradha dan Bhakti inilah manusia dapat mendayagunakan keyakinannya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hidupnya. Umat manusia yang meyakini keberadaan dan kemahakuasaan Tuhan, pada kenyataanya disamping memiliki berbagal kesamaan juga memiliki banyak perbedaan. Dalam hal meyakini keberadaan Tuhan itupun di antara manusia memiliki banyak perbedaan yang meliputi banyak aspek. Perbedaan dalarn meyakini Tuhan ini ada dalam wujud Agama dan ada dalam wujud kelompok kepercayaan pada Tuhan. Di internal umat seagamapun terjadi juga berbagai perbedaan itu. Dinamika perbedaan itu ada dalam batas-batas dialogis, ada juga berlanjut sampai pada kondisi dikotomis. Perbedaan yang sampai pada kondisi dikotomis ini kalau tidak dikelola dengan balk dapat berkembang hingga menimbulkan konflik.

Agar tidak terjebak pada kondisi dikotomis yang mengarah pada konflik, semua pihak yang meyakini Tuhan wajib meninggalkan sikap fanatisme sempit dan sinis pada para pemuja Tuhan yang berbeda dengan yang kita anut dan pahami. Alamsyah Ratu Prawira Negara saat menjabat Menteri Agama di era orde baru pernah menyatakan, semua agama itu baik hanya satu yang terbaik, itulah yang aku peluk.

Pernyataan Alamsyah Ratu Prawira Negara ini patut direnungkan dalam-dalam. Semua agama yang dianut oleh umat manusia di dunia ini baik dan seyogyanya kita hormati. Hanya salah satu yang kita yakini terbaik itulah yang kita peluk. Ini artinya, agama yang tidak kita peluk bukan berarti tidak baik. Di samping itu, sangat tidak lazim orang menganut banyak agama. Menganut salah satu dari agama yang ada karena melalui proses turun-menurun. Ada juga menganut salah satu agama karena pilihan sendiri. Fanatik pada agama yang dianut tentunya sah saja, apalagi agama yang dianut itu sebagai pilihannya. Sepanjang agama yang tidak dianut itu tidak dianggap jelek dan salah. Fanatisme yang sempit dengan menganggap agama yang tidak dianut itu salah dan sesat akan menimbulkan masalah serius dalam kehidupan bersama dalam masyanakat. Penganut agama yang dianggap tidak salah dan sesat itu tentunya akan bereaksi. Kalau pengendalian dirinya tidak kuat akan membalas bahwa agama yang tidak dianut itulah yang salah dan sesat. Bahkan ada peng-khotbah suatu agama yang terang-terangan menyatakan di sebuah TV swasta bahwa hanya umatnyalah yang akan masuk surga sedangkan umat lain semuanya akan masuk neraka dengan azab deritanya. Kaitan dengan hal ini kalau tidak bijak kita memahaminya dan ikut bodoh seperti peng-khotbah itu bisa menimbulkan gesekan-gesekan sosial yang amat peka dan berbahaya bagi persatuan bangsa. Waktu kita akan habis untuk bertengkar dan saling mengklaim bahwa agama yang dianutnyalah yang paling benar dan paling baik. Selain dari agama yang dianut adalah salah dan sesat. Seyogyanya gunakanlah waktu semaksimal mungkin untuk mengamalkan ajaran agama yang dianut sampai menimbulkan transformasi diri ke arah yang semakin baik, membawa hidup bahagia lahir batin.

Sinisme dan fanatisme sempit dalam kehidupan beragama akan membawa citra umat beragama menjadi merosot. Swami Vivekananda dalam kongres parlemen agama-agama sedunia di Chicago, AS tahun 1893 menyatakan, mengharapkan dunia ini hanya ada satu agama saja dianut adalah suatu impian di siang bolong. Pada kenyataannya memang sampai saat ini manusia penghuni dunia ini menganut banyak agama. Meskipun manusia memiliki berbagai persamaan, tetapi dalam hal menganut agama, mereka sulit rasanya akan hanya menganut satu agama. Menyamakan mereka yang seagama saja, nampaknya amat sulit. Apalagi menyatukan umat manusia penghuni dunia ini untuk menganut satu agama yang sama. Tentu tidak mungkin.

Demikian juga halnya dalam Agama Hindu yang amat menghargai kemerdekaan melakukan Sradha dan Bhakti pada Tuhan. Sri Swami Siwananda dalam bukunya All About Hinduism menyatakan, Hinduisme menghidangkan hidangan spiritual pada setiap orang sesuai dengan pertumbuhan rohaninya. Karena itu tidak ada pertentangan dalam perbedaan Hindu yang indah ini. Adanya perbedaan bentuk luar dan tradisi budaya beragama Hindu itu karena penerapan Agama Hindu itu wajib didasarkan pada lima pertimbangan sebagaimana dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII. 10. Lima dasar pertimbangan itu adalah Iksha, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa. Kemerdekaan beragama Hindu ini sangat sejalan dengan isi UUD 1945 yang menyatakan, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk menganut agama dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya itu. Ini artinya, jangankan antarsatu kelompok dengan kelompok penganut agama lain, antara seseorang dengan orang lain pun wajib saling menghormati dalam perbedaan agama yang dianut. Yang penting, tidak adanya sikap yang sinis dan fanatik yang sempit dari satu penganut agama pada penganut agama lain yaag dianggap berbeda. Gunakanlah waktu ini sebaik mungkin untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hidup ini baik dalam kebersamaan maupun dalam kesendirian.
Sumber:  I Ketut Wiana. http://www.parisada.org

0 komentar:

Posting Komentar

Kami sangat berterima kasih kepada Anda yang berkenan menyampaikan komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites