Melasti Tawur Kasanga

Meningkatkan bhakti, menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa, dan mencegah kerusakan alam

Ngiring Prawatek Dewata

Melakukan perjalanan suci menuju sumber air seperti laut atau mata air lainnya yang memiliki nilai sakral

Anganyutaken Laraning Jagat

Membangkitkan spiritualitas untuk berusaha menghilangkan kesengsaraan hidup di bumi secara ragawi dan rohani

Anganyutaken Papa Klesa

Membinasakan kepapaan yang disebabkan oleh oleh awidya, asmita, raga, dwesa dan abhiniwesa

Anganyuntaken Letuhing Bhuwana

Menjaga kelestarian alam semesta dengan membersihkan pencemaran pertiwi, apah, bayu, teja, dan akasa

Rabu, 28 Mei 2014

PENGUKUHAN PHDI KABUPATEN KUPANG

PHDI Kabupaten Kupang telah dikukuhkan oleh Ketua PHDI Provinsi NTT pada Tanggal 15 Mei 2014. Pelantikan dilaksanakn di Jaba sisi Pura Luhur Akasa Bandara Eltari Penfui Kupang. Hadir saat pelantikan Pembimas Hindu Kanwil Kemenag Provinsi NTT, ketua Paruman Walaka PHDI Prov. NTT, sekretaris , Wakil ketua bidang Kelembagaan dan organisasi, bendahara, wakil ketua bidang sains PHDI Prov NTT, Ketua Banjar Dharma Agung Kupang, Ketua Peradah Provinsi NTT, dan tokoh-tokoh umat di Kabupaten Kupang. Dalam sambutannya, Ketua PHDI Kabupaten Kupang Ir. I made Suaba Aryanta, MP, menyatakan terima kasih karena pengurus PHDI kabupaten Kupang telah dilantik hari ini, dan mohon bimbingan agar organisasi yang baru dilantik ini dapat berjalan dan berfungsi sesuai dengan yang diharapkan. Sementara itu, ketua PHDI Provinsi NTT, Drs IGM. Putra Kusuma, M.Si, dalam sambutannya menyatakan bahwa kita patut bersyukur kepada Brahman, Ida Sang Hyang Widi, karena sampai saat ini kita diberkati kesehatan, sehingga dapat melaksanakan pelantikan pengurus PHDI kabupaten Kupang masa bhakti 2013-2014.  Dalam sambutannya juga menyampaikan rasa terima kasih kepada umat Hindu, khususnya yang ada di Kabupaten Kupang, karena telah berhasil membentuk PHDI Kabupaten Kupang, sehingga hari ini dapat dikukuhkan. Pembentukan PHDI dimaksud memang sudah diperlukan mengingat keberadaan umat Hindu di Kabupaten Kupang sudah cukup banyak sehingga upaya pembinaan dapat dilakukan lebih intensif. Akhir kata, selamat bertugas kepada semua pengurus yang baru saja dilantik. mari kita salah bahu membahu dalam melakukan pelayanan kepada umat, agar Hindu tetap lestari dan berkembang di daerah ini. terima kasih.












Sabtu, 10 Mei 2014

WEDA SUMBER AJARAN HINDU



E-mail
Pengertian Weda
Sumber ajaran agama Hindu adalah Kitab Suci Weda, yaitu kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi. Weda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Weda adalah sabda suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa.
Weda secara ethimologinya berasal dari kata "Vid" (bahasa sansekerta), yang artinya mengetahui atau pengetahuan. Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci Weda dikenal pula dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para maha Rsi. Juga disebut kitab mantra karena memuat nyanyian-nyanyian pujaan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Weda adalah Sruti dan merupakan kitab yang tidak boleh diragukan kebenarannya dan berasal dari Hyang Widhi Wasa.
Bahasa Weda
Bahasa yang dipergunakan dalam Weda disebut bahasa Sansekerta, Nama sansekerta dipopulerkan oleh maharsi Panini, yaitu seorang penulis Tata Bahasa Sensekerta yang berjudul Astadhyayi yang sampai kini masih menjadi buku pedoman pokok dalam mempelajari Sansekerta.
Sebelum nama Sansekerta menjadi populer, maka bahasa yang dipergunakan dalam Weda dikenal dengan nama Daiwi Wak (bahasa/sabda Dewata). Tokoh yang merintis penggunaan tatabahasa Sansekerta ialah Rsi Panini. Kemudian dilanjutkan oleh Rsi Patanjali dengan karyanya adalah kitab Bhasa. Jejak Patanjali diikuti pula oleh Rsi Wararuci.
Pembagian dan Isi Weda
Weda adalah kitab suci yang mencakup berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia. Berdasarkan materi, isi dan luas lingkupnya, maka jenis buku weda itu banyak. maha Rsi Manu membagi jenis isi Weda itu ke dalam dua kelompok besar yaitu Weda Sruti dan Weda Smerti. Pembagian ini juga dipergunakan untuk menamakan semua jenis buku yang dikelompokkan sebagai kitab Weda, baik yang telah berkembang dan tumbuh menurut tafsir sebagaimana dilakukan secara turun temurun menurut tradisi maupun sebagai wahyu yang berlaku secara institusional ilmiah. Kelompok Weda Sruti isinya hanya memuat wahyu, sedangkan kelompok Smerti isinya bersumber dari Weda Sruti, jadi merupakan manual, yakni buku pedoman yang sisinya tidak bertentangan dengan Sruti. Baik Sruti maupun Smerti, keduanya adalah sumber ajaran agama Hindu yang tidak boleh diragukan kebenarannya. Agaknya sloka berikut ini mempertegas pernyataan di atas.
Srutistu wedo wijneyo dharma
sastram tu wai smerth,
te sarrtheswamimamsye tab
hyam dharmohi nirbabhau. (M. Dh.11.1o).
Artinya:
Sesungguhnya Sruti adalah Weda, demikian pula Smrti itu adalah dharma sastra, keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber ajaran agama Hindu. (Dharma)
Weda khilo dharma mulam
smrti sile ca tad widam,
acarasca iwa sadhunam
atmanastustireqaca. (M. Dh. II.6).
Artinya:
Seluruh Weda merupakan sumber utama dari pada agama Hindu (Dharma), kemudian barulah Smerti di samping Sila (kebiasaan- kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Weda). dan kemudian acara yaitu tradisi dari orang-orang suci serta akhirnya Atmasturi (rasa puas diri sendiri).
Srutir wedah samakhyato
dharmasastram tu wai smrth,
te sarwatheswam imamsye
tabhyam dharmo winir bhrtah. (S.S.37).
Artinya:
Ketahuilah olehmu Sruti itu adalah Weda (dan) Smerti itu sesungguhnya adalah dharmasastra; keduanya harus diyakini kebenarannya dan dijadikan jalan serta dituruti agar sempurnalah dalam dharma itu.
Dari sloka-sloka diatas, maka tegaslah bahwa Sruti dan Smerti merupakan dasar utama ajaran Hindu yang kebenarannya tidak boleh dibantah. Sruti dan Smerti merupakan dasar yang harus dipegang teguh, supaya dituruti ajarannya untuk setiap usaha.
Untuk mempermudah sistem pembahasan materi isi Weda, maka dibawah ini akan diuraikan tiap-tiap bagian dari Weda itu sebagai berikut:
SRUTI
Sruti adalah kitab wahyu yang diturunkan secara langsung oleh Tuhan (Hyang Widhi Wasa) melalui para maha Rsi. Sruti adalah Weda yang sebenarnya (originair) yang diterima melalui pendengaran, yang diturunkan sesuai periodesasinya dalam empat kelompok atau himpunan. Oleh karena itu Weda Sruti disebut juga Catur Weda atau Catur Weda Samhita (Samhita artinya himpunan). Adapun kitab-kitab Catur Weda tersebut adalah:
Rg. Weda atau Rg Weda Samhita.
Adalah wahyu yang paling pertama diturunkan sehingga merupakan Weda yang tertua. Rg Weda berisikan nyanyian-nyanyian pujaan, terdiri dari 10.552 mantra dan seluruhnya terbagi dalam 10 mandala. Mandala II sampai dengan VIII, disamping menguraikan tentang wahyu juga menyebutkan Sapta Rsi sebagai penerima wahyu. Wahyu Rg Weda dikumpulkan atau dihimpun oleh Rsi Pulaha.
Sama Weda Samhita.
Adalah Weda yang merupakan kumpulan mantra dan memuat ajaran mengenai lagu-lagu pujaan. Sama Weda terdiri dari 1.875 mantra. Wahyu Sama Weda dihimpun oleh Rsi Jaimini.
Yajur Weda Samhita.
Adalah Weda yang terdiri atas mantra-mantra dan sebagian besar berasal dari Rg. Weda. Yajur Weda memuat ajaran mengenai pokok-pokok yajus. Keseluruhan mantranya berjumlah 1.975 mantra. Yajur Weda terdiri atas dua aliran, yaitu Yayur Weda Putih dan Yayur Weda Hitam. Wahyu Yayur Weda dihimpun oleh Rsi Waisampayana.
Atharwa Weda Samhita
Adalah kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran yang bersifat magis. Atharwa Weda terdiri dari 5.987 mantra, yang juga banyak berasal dari Rg. Weda. Isinya adalah doa-doa untuk kehidupan sehari-hari seperti mohon kesembuhan dan lain-lain. Wahyu Atharwa Weda dihimpun oleh Rsi Sumantu.
Sebagaimana nama-nama tempat yang disebutkan dalam Rg. Weda maka dapat diperkirakan bahwa wahyu Rg Weda dikodifikasikan di daerah Punjab. Sedangkan ketiga Weda yang lain (Sama, Yayur, dan Atharwa Weda), dikodifikasikan di daerah Doab (daerah dua sungai yakni lembah sungai Gangga dan Yamuna.
Masing-masing bagian Catur Weda memiliki kitab-kitab Brahmana yang isinya adalah penjelasan tentang bagaimana mempergunakan mantra dalam rangkain upacara. Disamping kitab Brahmana, Kitab-kitab Catur Weda juga memiliki Aranyaka dan Upanisad.
Kitab Aranyaka isinya adalah penjelasan-penjelasan terhadap bagian mantra dan Brahmana. Sedangkan kitab Upanisad mengandung ajaran filsafat, yang berisikan mengenai bagaimana cara melenyapkan awidya (kebodohan), menguraikan tentang hubungan Atman dengan Brahman serta mengupas tentang tabir rahasia alam semesta dengan segala isinya. Kitab-kitab brahmana digolongkan ke dalam Karma Kandha sedangkan kitab-kitab Upanishad digolonglan ke dalam Jnana Kanda.
SMERTI
Smerti adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Penyusunan ini didasarkan atas pengelompokan isi materi secara sistematis menurut bidang profesi. Secara garis besarnya Smerti dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yakni kelompok Wedangga (Sadangga), dan kelompok Upaweda.
Kelompok Wedangga:
Kelompok ini disebut juga Sadangga. Wedangga terdiri dari enam bidang Weda yaitu:
(1). Siksa (Phonetika)
Isinya memuat petunjuk-petunjuk tentang cara tepat dalam pengucapan mantra serta rendah tekanan suara.

(2). Wyakarana (Tata Bahasa)
Merupakan suplemen batang tubuh Weda dan dianggap sangat penting serta menentukan, karena untuk mengerti dan menghayati Weda Sruti, tidak mungkin tanpa bantuan pengertian dan bahasa yang benar.

(3). Chanda (Lagu)
Adalah cabang Weda yang khusus membahas aspek ikatan bahasa yang disebut lagu. Sejak dari sejarah penulisan Weda, peranan Chanda sangat penting. Karena dengan Chanda itu, semua ayat-ayat itu dapat dipelihara turun temurun seperti nyanyian yang mudah diingat.

(4). Nirukta
Memuat berbagai penafsiran otentik mengenai kata-kata yang terdapat di dalam Weda.

(5). Jyotisa (Astronomi)
Merupakan pelengkap Weda yang isinya memuat pokok-pokok ajaran astronomi yang diperlukan untuk pedoman dalam melakukan yadnya, isinya adalah membahas tata surya, bulan dan badan angkasa lainnya yang dianggap mempunyai pengaruh di dalam pelaksanaan yadnya.

(6). Kalpa
Merupakan kelompok Wedangga (Sadangga) yang terbesar dan penting. Menurut jenis isinya, Kalpa terbagi atas beberapa bidang, yaitu bidang Srauta, bidang Grhya, bidang Dharma, dan bidang Sulwa. Srauta memuat berbagai ajaran mengenai tata cara melakukan yajna, penebusan dosa dan lain-lain, terutama yang berhubungan dengan upacara keagamaan. Sedangkan kitab Grhyasutra, memuat berbagai ajaran mengenai peraturan pelaksanaan yajna yang harus dilakukan oleh orang-orang yang berumah tangga. Lebih lanjut, bagian Dharmasutra adalah membahas berbagai aspek tentang peraturan hidup bermasyarakat dan bernegara. Dan Sulwasutra, adalah memuat peraturan-peraturan mengenai tata cara membuat tempat peribadatan, misalnya Pura, Candi dan bangunan-bangunan suci lainnya yang berhubungan dengan ilmu arsitektur.

Kelompok Upaweda:
Adalah kelompok kedua yang sama pentingnya dengan Wedangga. Kelompok Upaweda terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
(1). Itihasa
Merupakan jenis epos yang terdiri dari dua macam yaitu Ramayana dan Mahabharata. Kitan Ramayana ditulis oleh Rsi Walmiki. Seluruh isinya dikelompokkan kedalam tujuh Kanda dan berbentuk syair. Jumlah syairnya sekitar 24.000 syair. Adapun ketujuh kanda tersebut adalah Ayodhya Kanda, Bala Kanda, Kiskinda Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda dan Utara Kanda. Tiap-tiap Kanda itu merupakan satu kejadian yang menggambarkan ceritra yang menarik. Di Indonesia cerita Ramayana sangat populer yang digubah ke dalam bentuk Kekawin dan berbahasa Jawa Kuno. Kekawin ini merupakan kakawin tertua yang disusun sekitar abad ke-8.

Disamping Ramayana, epos besar lainnya adalah Mahabharata. Kitab ini disusun oleh maharsi Wyasa. Isinya adalah menceritakan kehidupan  keluarga Bharata dan menggambarkan pecahnya perang saudara diantara bangsa Arya sendiri. Ditinjau dari arti Itihasa (berasal dari kata "Iti", "ha" dan "asa" artinya adalah "sesungguhnya kejadian itu begitulah nyatanya") maka Mahabharata itu gambaran sejarah, yang memuat mengenai kehidupan keagamaan, sosial dan politik menurut ajaran Hindu. Kitab Mahabharata meliputi 18 Parwa, yaitu Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedhikaparwa, Asramawasikaparwa, Mausalaparwa, Mahaprastanikaparwa, dan Swargarohanaparwa.

Di antara parwa-parwa tersebut, terutama di dalam Bhismaparwa terdapatlah kitab Bhagavad Gita, yang amat masyur isinya adalah wejangan Sri Krsna kepada Arjuna tentang ajaran filsafat yang amat tinggi.

(2). Purana
Merupakan kumpulan cerita-cerita kuno yang menyangkut penciptaan dunia dan silsilah para raja yang memerintah di dunia, juga mengenai silsilah dewa-dewa dan bhatara, cerita mengenai silsilah keturunaan dan perkembangan dinasti Suryawangsa dan Candrawangsa serta memuat ceitra-ceritra yang menggambarkan pembuktian-pembuktian hukum yang pernah di jalankan. Selain itu Kitab Purana juga memuat pokok-pokok pemikiran yang menguraikan tentang ceritra kejadian alam semesta, doa-doa dan mantra untuk sembahyang, cara melakukan puasa, tatacara upacara keagamaan dan petunjuk-petunjuk mengenai cara bertirtayatra atau berziarah ke tempat-tempat suci. Dan yang terpenting dari kitab-kitab Purana adalah memuat pokok-pokok ajaran mengenai Theisme (Ketuhanan) yang dianut menurut berbagai madzab Hindu. Adapun kitab-kitab Purana itu terdiri dari 18 buah, yaitu Purana, Bhawisya Purana, Wamana Purana, Brahma Purana, Wisnu Purana, Narada Purana, Bhagawata Purana, Garuda Purana, Padma Purana, Waraha Purana, Matsya Purana, Kurma Purana, Lingga Purana, Siwa Purana, Skanda Purana dan Agni Purana.

(3) Arthasastra
Adalah jenis ilmu pemerintahan negara. Isinya merupakan pokok-pokok pemikiran ilmu politik. Sebagai cabang ilmu, jenis ilmu ini disebut Nitisastra atau Rajadharma atau pula Dandaniti. Ada beberapa buku yang dikodifikasikan ke dalam jenis ini adalah kitab Usana, Nitisara, Sukraniti dan Arthasastra. Ada beberapa Acarya terkenal di bidang Nitisastra adalah Bhagawan Brhaspati, Bhagawan Usana, Bhagawan Parasara dan Rsi Canakya.

(4) Ayur Weda
Adalah kitab yang menyangkut bidang kesehatan jasmani dan rohani dengan berbagai sistem sifatnya. Ayur Weda adalah filsafat kehidupan, baik etis maupun medis. Oleh karena demikian, maka luas lingkup ajaran yang dikodifikasikan di dalam Ayur Weda meliputi bidang yang amat luas dan merupakan hal-hal yang hidup. Menurut isinya, Ayur Weda meliptui delapan bidang ilmu, yaitu ilmu bedah, ilmu penyakit, ilmu obat-obatan, ilmu psikotherapy, ilmu pendiudikan anak-anak (ilmu jiwa anak), ilmu toksikologi, ilmu mujizat dan ilmu jiwa remaja.

Disamping Ayur Weda, ada pula kitab Caraka Samhita yang ditulis oleh Maharsi Punarwasu. Kitab inipun memuat delapan bidan ajaran (ilmu), yakni Ilmu pengobatan, Ilmu mengenai berbagai jens penyakit yang umum, ilmu pathologi, ilmu anatomi dan embriologi, ilmu diagnosis dan pragnosis, pokok-pokok ilmu therapy, Kalpasthana dan Siddhistana. Kitab yang sejenis pula dengan Ayurweda, adalah kitab Yogasara dan Yogasastra. Kitab ini ditulis oleh Bhagawan Nagaryuna. isinya memuat pokok-pokok ilmu yoga yang dirangkaikan dengan sistem anatomi yang penting artinya dalam pembinaan kesehatan jasmani dan rohani.

(5) Gandharwaweda
Adalah kitab yang membahas berbagai aspek cabang ilmu seni. Ada beberapa buku penting yang termasuk Gandharwaweda ini adalah Natyasastra (yang meliputi Natyawedagama dan Dewadasasahasri), Rasarnawa, Rasaratnasamuscaya dan lain-lain.

Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa kelompok Weda Smerti meliptui banyak buku dan kodifikasinya menurut jenis bidang-bidang tertentu. Ditambah lagi kitab-kitab agama misalnya Saiwa Agama, Vaisnawa Agama dan Sakta Agama dan kitab-kitab Darsana yaitu Nyaya, Waisesika, Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Wedanta. Kedua terakhir ini termasuk golongan filsafat yang mengakui otoritas kitab Weda dan mendasarkan ajarannya pada Upanisad. Dengan uraian ini kiranya dapat diperkirakan betapa luasnya Weda itu, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Di dalam ajaran Weda, yang perlu adalah disiplin ilmu, karena tiap ilmu akan menunjuk pada satu aspek dengan sumber-sumber yang pasti pula. Hal inilah yang perlu diperhatikan dan dihayati untuk dapat mengenal isi Weda secara sempurna.

Sumber: Netra, Anak Agung Gde Oka (?) Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)
diunduh dari  http://www.parisada.org

Jumat, 09 Mei 2014

BALI DAN BANTEN: Mendalami Ajaran Yoga Dalam Upakara


Print E-mail
Sarana upacara adalah upakara. Di Bali upakara dipopulerkan dengan istilah banten, sedangkan di India, upakara disebut wedya. Istilah wedya sebenarnya juga terdapat di dalam pustaka agama Hindu di Bali yang juga berarti banten. Upakara atau banten merupakan perwujudan dan ajaran bhakti marga dan karma marga.

Kata upakara terdiri atas dua kata yaitu upa yang berarti sekeliling atau sesuatu yang berhubungan dengan, dan kara artinya tangan. Jadi upakara berarti segala sesuatu yang dibuat oleh tangan, dengan lain perkataan suatu sarana persembahan yang berasal dan jerih payah bekerja.
Banten juga disebut wali. Maka upacara Dewa yadnya disebut juga pujawali. Kata wali mengandung pengertian: wali berarti wakil dan wali berarti kembali. Wali yang berarti wakil mengandung makna simbolis filosofis bahwa banten itu merupakan wakil daripada isi alam semesta yang diciptakan oleh Sang Hyang Widhi. Wali yang berarti kembali mengandung makna bahwa segala yang ada di alam semesta ini yang diciptakan oleh Sang Hyang Widhi dipersembahkan kembali oleh manusia kepadaNya sebgai pernyataan rasa terimakasih. Banten juga berarti bali. Bali dalam bahasa Sansekerta berarti persembahan kepada bhuta, sehingga bhuta yadnya disebut sebagai bali harana atau bali karmana.

Banten memiliki banyak jenis dan bentuk serta bermacam-macam bahan. Secara sepintas banten kelihatannya unik dan rumit. Namun apabila diselidiki secara mendalam akan dapat dipahami bahwa banten mengandung arti simbolik dan filosofis yang tinggi serta terpadu dengan seni rupadanseniriasyangmengagumkan.
Faktor seni dalam banten mempunyai arti penting karena dapat menuntun fikiran yang penuh rasa bahagia dalam menuju Hyang Widhi. Oleh karena itu faktor seni dalam keagamaan adalah positif karena berperan sebagai penunjang pelaksnaan upacara agania untuk memekarkan rasa serta meningkatkan kemantapan perasaan.

Meskipun bahan banten terdiri dan bermacam-macam, namun prinsipnya bahan banten itu terdiri dari unsur isi alam, yaitu:
1. Mataya, adalah bahan banten yang berasal dari sesuatu yang tumbuh atau tumbuh-tumbuhan seperti daun, bunga, buah dan  sebagainya.
2. Maharya, adalah bahan banten yang berasal dari sesuatu yang lahir, diwakili oleh binatang-binatang tertentu seperti kerbau, kambing, sapi dan sebagainya.
3. Mantiga, adalah bahan banten yang berasal dari yang lahir dari telor, termasuk telor itu sendiri seperti ayam, itik, angsa, telor ayam, telor itik, telor angsa dan sebagainya.
4. Logam atau datu seperti perak, tembaga, besi, mas, timah (panca datu).
5. Air atau cairan. Ada lima macam cairan atau air yang dipakai banten yaitu:
    a. Air yang berasal dari jasad atau sarira, diwakili dengan empehan atau susu.
    b. Air yang berasal dari buah-buahan, diwakili dengan berem.
    c. Air yang berasal dari uap atau kukus diwakili dengan arak.
    d. Air yang berasal dari sari bunga diwakili dengan madu
    e. Air yang berasal dari tanah atau bumi diwakili oleh air hening. Kelima zat cair ini disebut panca  amerta.
6. Api dalam wujud dupa dan dipa
7. Angin dalam wujud asap yang harum
Inilah isi dalam ciptaan Ida Sang Hyang Widhi yang dipersembahkan kembali kepada Beliau.

Ajaran agama Hindu meliputi sesuatu yang lahiriah dan batiniah serta dapat dilaksanakan secara individual dan kolektif. Sifat ajarannya adalah luwes dan elastis. Keluwesannya dinyatakan dengan istilah desa, kala, patra yang artinya agama Hindu dapat dilaksanakan menurut tempat waktu dan keadaan. Sifat elastis memberikan peluang pelaksanaan agama Hindu menyesuaikan diri dengan peningkatan teknologi kemajuan ilmu pengetahuan dan kemajuan jaman serta situasi ekonomi dan zaman ke zaman. Adanya sifat luwes dan elastis itu karena Weda sebagai sumber ajaran agama Hindu bersifat mengatasi ruang dan waktu.

Dalam kaitannya dengan upakara dan upacara agama Hindu, sifat luwes dan elastis itu selain berlandaskan desa, kala dan patra,  juga dapat dilaksanakan menurut tingkatan kanista, madya dan utama. Kanista berarti sesuatu yang menjadi prinsip di dalam upacara dan upakara itu yang harus ada. Madya adalah pengembangan dari prinsip tersebut sehingga menjadi lebih besar dari kanista. Utama adalah pengembangan dan penambahan dari madya sehingga tampak menjadi lebih besar dari tingkatan madya. Apabila yang prinsip dilaksanakan, maka upacara dan upakara itu sudah benar menurut ajaran agama Hindu. Apabila melaksanakan yang madya atau utama tetapi tidak memperhatikan yang prinsip itu, maka upacara dan upakara itu tidak mengenai sasaran yang dituju.

Ada tiga hal yang seimbang di dalam melakukan upacara atau yadnya yaitu: Upacara, upakara dan pujamantra yang digunakan oleh Pedanda dalam memimpin upacara. Apabila ketiganya tidak seimbang, maka akan terjadilah ketimpangan dalam pelaksanaan upacara agama. Selain itu harus diciptakan kemanunggalan trimanggalaning yadnya yaitu : orang yang beryadnya, wiku tapini atau tukang banten dan Pedanda yang muput upacara tersebut.

Seni budaya merupakan penunjang sarana upacara. Berbagai kesenian berperan dalam menunjang upacara seperti : seni rias yang dipancarkan oleh bentuk banten, seni suara berupa kidung kakawin atau lagu-lagu pujaan, seni tari berupa seni sakral dan seni wali, seni tabuh berupa gamelan, serta aturan busana upacara agama.  Adanya seni budaya yang menunjang upakara dan upacara maka upacara tersebut menjadi begitu meriah dan memberikan rasa bahagia. Seni budaya tersebut sesungguhnya bukan seni melulu, melainkan suatu seni yang mengandung makna simbolis tertentu dan membungkus ajaran tattwa agama.

Hadirnya banten dalam tradisi Hindu di Bali sesungguhnya melewati perjalanan sejarah yang panjang. Di dalam kitab Yajur Weda dapat diketahui adanya persembahan yang dihaturkan kepada Dewa sebagai manifestasi dan Brahman berupa gandam, ksatam, puspam, dupam, dipam, toyam, gretam dan soma. Sesuai dengan namanya sendiri bahwa Yajur Weda artinya pengetahuan yang digunakan untuk persembahan. Materi persembahan dalam Yajur Weda tersebut kita lihat sekarang dalam bentuk tetandingan banten. Memang dalam kitab Yajur Weda tidak disebutkan binatang sebagai persembahan.

Selanjutnya apabila kita mendalami konsepsi tantrayana yang juga berpengruh di Bali kita mengetahui adanya konsep panca tattwa terdiri atas matsya, mamsa, madhya, maithuna dan mudra. Matsya yaitu ikan, mamsa adalah daging, madhya adalah minuman, maithuna adalah penyatuan pikiran atau samyoga, dan mudra adalah sikap tangan yang mengandung kekuatan gaib. Ajaran tantra adalah ajaran yang sangat kompleks serta dalam. Pada intinya tantrayana mengajarkan suatu keharmonisan antara sekala dengan niskala atau wahya dan dhyatmika.

Di samping ajaran Weda dan Tantrayana, alam pikiran lokal juga melandasi adanya banten yang dikemas dalam simbol-simbol pengharapan manusia terhadap sesuatu. Hal ini sangat tampak dalam upacara pitra yadnya, manusa yadnya dan bhuta yadnya. Alam pikiran lokal itu ditunjang oleh berbagai kreasi imat Hindu setempat sebagai perwujudan rasa indah dalam memuja Hyang Widhi dan para arwah leluhur. Konsepsi Weda, tantrayana yang berasal dan India serta alam pikiran lokal sebagai budava asli Indonesia, ketiganya terpadu dan luluh secara harmonis menjadi satu yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk banten sekarang. Itulah sebabnya banten di Bali memancarkan nilai keindahan penuh makna simbolis dan sangat unik. Sistem seperti itu meresapi pula kehidupan sosial budaya dan agama Hindu di Bali sehingga menciptakan suatu tatanan kehidupan masyarakat umat Hindu yang mencakup tata kemasyarakatan dan tata keagamaan.

Ketika banten disusun sedemikian rupa menjadilah ia sebuah candi banten, sekaligus sebagai sebuah persembahan. Candi banten adalah tempat mensthanakan Tuhan Yang Maha Suci, sehingga banten benar-benar dijaga kesuciannya. Bahan-bahan terpilih tidak saja bersih tapi juga suci atau sukia. Demikian juga halnya dengan proses pembuatannya. Umat Hindu khususnya kalangan wanita mempraktekkan ajaran yoga dengan pemusatan pikiran dalam membuat banten. Jadi banten dibuat tidak saja dengan proses kreatif tetapi juga dengan proses yoga dengan mengutamakan nilai-nilai kesucian. Ada pernusatan pikiran disini, dengan menggerakkan jan- jemani bagaikan sedang berjapa. Seperti itulah para tukang banten dan para wiku tapini melakukan aktifitas penuh makna kesucian, membuat banten dalam posisi bajra asana atau padma asana memusatkan pikiran kepada Sang Pencipta.

Mari kita berusaha mewujudkan bhakti yoga marga dan karma yoga marga sekaligus dengan jnana yoga marga dan raja yoga marga dalarn proses membuat banten, dalam suasana yang hening, heneng dan suci. Semoga dengan demikian Ida Hyang Widhi rang Maha Suci menganugrahi kita kesucian pikiran dan kerahayuan dalam hidup ini .

Sumber: Diah  [WHD No 534 Juni 2011]  http://www.parisada.org

Rabu, 07 Mei 2014

TINGGALKAN SIKAP SINISME DAN FANATISME SEMPIT

(Bhagawad Gita IV. 11).



Ye yathaa mam prapadyante
taam tathai va bhajami aham
mama vartamaa nuvartante
manusyaah paartha sarvasah

[Jalan manapun yang ditempuh manusia menuju kearahKu, semuanya Aku terima dan arah manapun sepanjang itu jalan menujuKu oh Parta]


KEBERADAAN Tuhan itu pertama-tama didekati dengan keyakinan. Kemudian barulah menggunakan akal yang logis untuk menganalisaNya. Misalnya, keberadaan alam semesta ini demikian luas dengan dimensi yang tidak terjangkau oleh kecerdasan intelektual. Dengan kecerdasan itu manusia tidak bisa membuktikan bahwa siapa sesungguhnya sebagai pencipta atau perancang alam semesta ini sehingga nyata ada. Tidak mungkin yang ada ini diciptakan oleh yang tidak ada.

Setelah analisa intelektual tidak menjangkaunya maka timbulah logika bahwa ada sesuatu Yang Maha Tinggi tak terbatas sebagai penciptanya. Karena diluar kemampuan kecerdasan manusia mencapainya, maka munculah kesimpulan bahwa Sang Pencipta itu adalah Tuhan. Tuhan itu tidak mungkin diterangkan oleh manusia betapapun hebat tingkat kercerdasannya. Dalam ajaran Siwa dinyatakan: Bhatara Siwa meraga suksma, sira suwung tan kagrahita dening manah muang indria. Artinya Tuhan itu amat gaib, kosong, tidak bisa diraih dengan kecerdasan pikiran dan indria.

Pernyataan ini dapat ditetapkan bahwa Kemahakuasaan Tuhan itu hanya dapat dicapai melalui pendekatan Sradha dan Bhakti atau diyakini dan dipuja. Melalui Sradha dan Bhakti inilah manusia dapat mendayagunakan keyakinannya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hidupnya. Umat manusia yang meyakini keberadaan dan kemahakuasaan Tuhan, pada kenyataanya disamping memiliki berbagal kesamaan juga memiliki banyak perbedaan. Dalam hal meyakini keberadaan Tuhan itupun di antara manusia memiliki banyak perbedaan yang meliputi banyak aspek. Perbedaan dalarn meyakini Tuhan ini ada dalam wujud Agama dan ada dalam wujud kelompok kepercayaan pada Tuhan. Di internal umat seagamapun terjadi juga berbagai perbedaan itu. Dinamika perbedaan itu ada dalam batas-batas dialogis, ada juga berlanjut sampai pada kondisi dikotomis. Perbedaan yang sampai pada kondisi dikotomis ini kalau tidak dikelola dengan balk dapat berkembang hingga menimbulkan konflik.

Agar tidak terjebak pada kondisi dikotomis yang mengarah pada konflik, semua pihak yang meyakini Tuhan wajib meninggalkan sikap fanatisme sempit dan sinis pada para pemuja Tuhan yang berbeda dengan yang kita anut dan pahami. Alamsyah Ratu Prawira Negara saat menjabat Menteri Agama di era orde baru pernah menyatakan, semua agama itu baik hanya satu yang terbaik, itulah yang aku peluk.

Pernyataan Alamsyah Ratu Prawira Negara ini patut direnungkan dalam-dalam. Semua agama yang dianut oleh umat manusia di dunia ini baik dan seyogyanya kita hormati. Hanya salah satu yang kita yakini terbaik itulah yang kita peluk. Ini artinya, agama yang tidak kita peluk bukan berarti tidak baik. Di samping itu, sangat tidak lazim orang menganut banyak agama. Menganut salah satu dari agama yang ada karena melalui proses turun-menurun. Ada juga menganut salah satu agama karena pilihan sendiri. Fanatik pada agama yang dianut tentunya sah saja, apalagi agama yang dianut itu sebagai pilihannya. Sepanjang agama yang tidak dianut itu tidak dianggap jelek dan salah. Fanatisme yang sempit dengan menganggap agama yang tidak dianut itu salah dan sesat akan menimbulkan masalah serius dalam kehidupan bersama dalam masyanakat. Penganut agama yang dianggap tidak salah dan sesat itu tentunya akan bereaksi. Kalau pengendalian dirinya tidak kuat akan membalas bahwa agama yang tidak dianut itulah yang salah dan sesat. Bahkan ada peng-khotbah suatu agama yang terang-terangan menyatakan di sebuah TV swasta bahwa hanya umatnyalah yang akan masuk surga sedangkan umat lain semuanya akan masuk neraka dengan azab deritanya. Kaitan dengan hal ini kalau tidak bijak kita memahaminya dan ikut bodoh seperti peng-khotbah itu bisa menimbulkan gesekan-gesekan sosial yang amat peka dan berbahaya bagi persatuan bangsa. Waktu kita akan habis untuk bertengkar dan saling mengklaim bahwa agama yang dianutnyalah yang paling benar dan paling baik. Selain dari agama yang dianut adalah salah dan sesat. Seyogyanya gunakanlah waktu semaksimal mungkin untuk mengamalkan ajaran agama yang dianut sampai menimbulkan transformasi diri ke arah yang semakin baik, membawa hidup bahagia lahir batin.

Sinisme dan fanatisme sempit dalam kehidupan beragama akan membawa citra umat beragama menjadi merosot. Swami Vivekananda dalam kongres parlemen agama-agama sedunia di Chicago, AS tahun 1893 menyatakan, mengharapkan dunia ini hanya ada satu agama saja dianut adalah suatu impian di siang bolong. Pada kenyataannya memang sampai saat ini manusia penghuni dunia ini menganut banyak agama. Meskipun manusia memiliki berbagai persamaan, tetapi dalam hal menganut agama, mereka sulit rasanya akan hanya menganut satu agama. Menyamakan mereka yang seagama saja, nampaknya amat sulit. Apalagi menyatukan umat manusia penghuni dunia ini untuk menganut satu agama yang sama. Tentu tidak mungkin.

Demikian juga halnya dalam Agama Hindu yang amat menghargai kemerdekaan melakukan Sradha dan Bhakti pada Tuhan. Sri Swami Siwananda dalam bukunya All About Hinduism menyatakan, Hinduisme menghidangkan hidangan spiritual pada setiap orang sesuai dengan pertumbuhan rohaninya. Karena itu tidak ada pertentangan dalam perbedaan Hindu yang indah ini. Adanya perbedaan bentuk luar dan tradisi budaya beragama Hindu itu karena penerapan Agama Hindu itu wajib didasarkan pada lima pertimbangan sebagaimana dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII. 10. Lima dasar pertimbangan itu adalah Iksha, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa. Kemerdekaan beragama Hindu ini sangat sejalan dengan isi UUD 1945 yang menyatakan, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk menganut agama dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya itu. Ini artinya, jangankan antarsatu kelompok dengan kelompok penganut agama lain, antara seseorang dengan orang lain pun wajib saling menghormati dalam perbedaan agama yang dianut. Yang penting, tidak adanya sikap yang sinis dan fanatik yang sempit dari satu penganut agama pada penganut agama lain yaag dianggap berbeda. Gunakanlah waktu ini sebaik mungkin untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hidup ini baik dalam kebersamaan maupun dalam kesendirian.
Sumber:  I Ketut Wiana. http://www.parisada.org

Minggu, 04 Mei 2014

MEMAHAMI PELAKSANAAN YADNYA DI BALI


Dalam Studi singkatnya tentang Pancayajna di India dan Bali (Pancayajnas in India and Bali, 1975, Dr. C. hooykaas) telah membuat studi perbandingan tentang dewayajna, Pitrayajna, manusayajna dan bhutayajna antara India dan Bali dengan mengambil bahan sumber tertulis dan tradisi yang berlangsung. Hoykaas melihat esensi pelaksanaan yajna tersebut tetap sama.

Yajna berasal dari bahasa Sansekerta, terbentuk dan akar kata yaj berarti memuja, menyembah. Pemujaan atau penyembahan tersebut ditumbuhkan untuk mencangkup aspek-aspek kehidupan yang beragam serta aksistensi kehidupan sebagai suatu kesatuan. Secara sepintas yajna terlihat sebagai suatu ritualistik, tetapi sesungguhnya di dalamnya terkandung aspek sosiologis, kosmologis dan religio-filosofis.

Lewat Gita dapat kita ketahui ada Yajna-Purusa, mahluk tertinggi yang bertindak sebagai penguasa yajna. Awalnya Prajapati-Brahma, Tuhan sebagai pencipta diidentifikasikan sebagai penguasa yajna. Namun kemudian Beliau yang meresapi semuanya menjadi yajneswara, yajna bhrit, yajna bhawana, yajna bhoktra, dan sebagainya. Dialah yang menenima semua kewajiban dalam semua yajna di seluruh jagat (Gita, V. 29; IX.23). Maka kemudian timbul kesadaran. bahwa manusia harus melaksanakan yajna, karena yajna-cakra adalah hukum kesemestaan yang tak dapat dihindari oleh manusia. Tanpa melaksanakan yajna, manusia hidup sia-sia.

Selanjutnya untuk masyarakat luas dirumuskan adanya panca mahayajna terdiri atas dewayajna, pitrayajna, resiyajna, manusa yajna dan bhuta yajna. Pancamahayajna tersebut sesungguh-nya adalah sebuah kesatuan, muncul dari pemikiran tentang kesatuan semesta. Alam semesta adalah satu kesatuan dan saling bergantung satu sama lain. Tidak ada benda mengada sebagai eksistensi yang terpisah dari yang lain. Setiap orang bergantung pada yang lain atas kelahiran fisik, eksistensi, pengetahuan dan kebudayaan dan keperluan lainnya. Setiap orang dihubungkan dengan Realitas Tertinggi yang satu dan sama. Tak ubahnya dengan gelombang-gelombang ombak dengan samudera. Jadi, setiap orang pada dasarnya berhutang budi pada yang lainnya dalam cara yang berbeda. Adalah wajib bagi siapa saja untuk membayar utang (Rna) kepada yang lain. Hutang-hutang tersebut adalah dewarna, pitrarna, resirna, manusarna dan bhutarna. Panca Rna inilah melahirkan pancamaha yajna.
Begitu sentralnya kedudukan yajna dalam agama Hindu, sehingga banyak hal berhubungan dengan yajna seperti tapa, japa, mantra, mudra, yatra, acara, upakara, diwasa dan yang lainnya. Demikian pula dengan yoga, dan sang muput yajna sebagai seorang yogi. Hubungan satu dengan yang lainnya diuraikan secara ringkas berikut ini.

YAJNA: Mantra dan Yantra
Dr. .R. Cons dalam disertsinya secara luas membahas kitab Bhuwanakosa, yang disebutkan sebagai tulisan teologi yang paling tua ditemui dalam tradisi jaya Kuna, memuat sloka-sloka Sansekerta, yang kemudian disimpan dan dipelajari oleh para pandita di Bali. Goris juga menjelaskan bahwa sejauh ini tulisan-tulisan teologi yang muncul kemudian, mengambil bahannya dan karya tertua bersifat Siwa-siddhanta tersebut.

Menurut Bhuwanakosa uraian penghargaan dan yang terendah sampai yang tertinggi adalah: arcana, mudra, mantra, kutamantra, dan pranawa. Dalam pelaksanaan yajna semuanya merupakan sebuah kesatuan. Yang dimaksud arcana di sini adalah berbagai bentuk simbol-simbol keagamaan, termasuk upakara (banten) dan juga yantra. Yantra umumnya berarti alat untuk melakukan pemusatan pikiran, dapat berbentuk pratima atau mandala. Yantra dapat berbentuk diagram, dilukis atau dipahatkan di atas logam, kertas atau benda-benda lain yang disucikan. Yantra secara simbolik adalah tempat mensthanakan Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi seorang pemuja Saraswati aksara atau lontar/kitab adalah yantra. Di tempat lain daksina (banten daksina), atau catur (banten catur) adalah yantra. maka Yantra adalah alat sejauh itu berguna sebagai obyek untuk memusatkan pikiran, tetapi sekaligus juga dapat menerima turuninya Dewa yang dipuja.
Mudra berasal dari akar kata mud berarti “membuat senang”. Mudra diyakini membuat Dewata yang dipuja senang. Terdapat 108 mudra, 55 di antaranya yang biasa digunakan. Mudra yang dimaksudkan disini adalah sikap-sikap ketika memuja, dilakukan dengan posisi tangan dan jari-jari tertentu, termasuk sikap badan seperti dalam latihan yoga. Matsya mudra misalnya dilakukan ketika mempersembahkan Arghya, yaitu dengan meletakkan tangan kanan di punggung tangan kiri lalu direntangkan, seperti sirip kedua ibu jari, dan sungu yang berisi air diandaikan samudera lengkap dengan ikan-ikan di dalamnya. Di samping untuk menyenangkan Dewata, mudra juga diyakini dapat memberikan siddhi, dan pelaksanaannya dapat memberikan keuntungan bagi tubuh seperti kestabilan, kekuatan dan penyembuhan penyakit. Mudra adalah hal yang sangat penting bagi para sulinggih di Bali dalam pelaksanaan yajna (Kat Angelo, Mudra’s on Bali, 1992).
Setelah mudra kita masuk ke dalam hal yang sangat penting yaitu mantra, kuta-mantra dan pranawa mantra. Mantra yang disusun dengan aksara-aksara tertentu, diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk bunyi, sedangkan aksara-aksara itu sebagai perlambang dari bunyi tersebut. Untuk menghasilkan pengaruh yang dikehendaki, mantra harus disuarakan dengan cara yang tepat, sesuai dengan swara (ritme) dan warna (bunyi). Mantra itu mungkin jelas dan mungkin tidak jelas artinya. Kuta-mantra atau wija-mantra, misalnya Hrang, Hring Sah, tidak mempunyai arti dalam bahasa sehari-hari. Tetapi mereka yang sudah menerima inisiasi mantra mengetahui bahwa artinya terkandung dalam perwujudarmya itu sendiri (swa-rupa) yang adalah perwujudan Dewata yang dipuja. Untuk memahami hal ini terlebih dahulu kita harus memahami proses lahirnya mantra atau wijamantra itu sendiri.
Seperti halnya antariksa gelombang bunyi dihasilkan oleh gerakan-gerakan udara (wayu), karena itu di dalam rongga tubuh yang menyelubungi jiwa gelombang bunyi dihasilkan oleh gerakan-gerakan pranawayu dan proses menarik dan mengelurkan nafas. Shabda pertama kali muncul di muladhara-cakra dalam tubuh. Bunyi yang teramat lembut yang pertama kali muncul di dalam Muladhara disebut para, berkurang kelembutannya ketika sudah sampai di sanubari yang dikenal dengan pasyanti. Ketika mencapai buddhi, bunyi itu sudah menjadi lebih kasar lagi disebut Madhyama. Akhirnya sampai kepada wujudnya yang kasar, keluar melalui mulut sebagai waikhari. Substansi semua mantra adalah Cit, dengan perwujudan luarnya sebagai bunyi, aksara, kata-kata. Maka aksara itu sesungguhnya adalah yantra dan aksara atau Brahman yang tak termusnahkan.
Beberapa proses harus dilakukan sebelum mantra itu dapat diucapkan, seperti penyucian mulut (mukha soddhana), penyucian lidah (jihwasoddhana), penyucian terhadap mantra itu sendiri (ashaucabhanga) dan lain-lain. Yang intinya segalanya dalam suasana penuh kesucian.
Pranawa mantra adalah OM, yang merupakan intisari dari semua mantra. Dan OM inilah merupakan intisari bentuk yajna atau pemujaan. Om disthanakan oleh para sadhaka di dalam sari alam semesta dalam wujud ghreta (susu), taila (biji-bijian, benih) dan madhu (madu). Bentuk-bentuk upakara yang lain yang bahannya diambil dari isi jagat (isin pasih, isin tukad, isin danu, isin alas dsb) yang kemudian dijadikan yantra, dimaksudkan untuk dihidupkan, ditegakkan dan dirahayukan kembali (winangun urip, panyegjeg jagat, bhuta hita, jagathita, sarwaprani hita).
YAJNYA : YOGA DAN YOGI
Uraian singkat di atas telah menyiratkan bahwa pelaksanaan yajna atau pemujaan sesungguhnya adalah proses yoga. Mantra dan yantra misalnya adalah jalan bagi seseorang yogi untuk mencapai tujuan yoganya.
Menurut ajaran yoga tantris, sifat imanensi yang mutlak dalam semesta alarn dan dalam diri manusia sebagai bagian dan semesta alam, dapat dibedakan menjadi tiga bentuk: niskala (immaterial), Sakala-niskala (materialimmaterial) dan sakala (material) Niskala dipakai dengan bentuknya sebagai hakikat terdalam segala sesuatu. Dalam kaitannya dengan yoga, niskala berarti lubuk hati seseorang, jiwanya yang paling dalam. Yang mutlak bersifat sekala-niskala bila mulai terwujud dalam hati seorang yogi, materialisasinya mencapai puncaknya, bila dalam keadaan sekala yang mutlak menjadi objek pencerepan (persepsi) panca indera, misalnya bersemayam atau bersthana (supratistham pinratistha) di dalam sebuah benda yang disucikan (yantra). Dengan mengadakan konsentrasi terus-menerus seorang yogi seolah-olah menghimbau yang Mutlak untuk meninggalkan keadaan niskala-nya sehingga menampakkan diri di hadapan mata batin dalam keadaan sakala-niskala sambil bersemanyam di hati seorang yogi. Sang yogi lalu menarik Yang Mutlak ke atas, meninggalkan tubuhnya lewat Siwadwara (sahasrapadma : bunga padma berkelopak seribu), yang berada di dalam kepala, lalu menghimbau Yang Mutlak bersthana di suatu benda atau tempat suci. Obyek ini lalu menjadi sarana untuk mengadakan kontak dengan Yang Mutlak dalam keadaan yang Skala, yang telah disthanakan di dalam Padmasana, sanggartawang dan lain-lain.
Praktek yoga seperti inilah yang dilaksanakan oleh para seulinggih, tepatnya para sadhaka. Maka seorang sadhaka adalah beliau yang, melaksanakan sadhana. Di Bali sasana yang dipakai landasan disebut juga dalam Wrehaspatitattwa, Tattwa jnana, Jnan sidhanta dan lain. Antara lain diuraikan ajaran asthanggayoga terdiri atas Yama, Nyama, Asana Pranayama, Pratihara, Dharma, Dhyana, dan Samadhi.
Jelasnya seorang Sadhaka yang biasanya memimpin yajna adalah seorang Wrati, beliau yang melaksanakan Wrata (brata). Brata banyak sekali jenisnya, diantaranya yang penting misalnya ialah yang dilakukan pada han Siwaratri, terdiri atas Upawasa, Mona dan Jagra. Brata diyakini akan menghasilkan punya (kekuatan positip, dan dapat melenyapkan papa (kesengsaraan).
Dengan demikian aktifitas yajna sesungguhnya adalah praktik yoga. Yajna dilaksanakan pada hari suci (subha diwasa) misalnya pada hari Tilem, Purnama; dilaksanakan pada suatu tempat terpilih (tempat suci). Maka aktifitas yajna adalah sebuah totalitas kesemestaan.
SAT CIT ANANDA
Yajna merupakn basis kehidupan yang antara lain menjadi sumber inspirasi dan kreatifitas umat Hindu. Maka yajna memberi kekuatan hidup; pikiran-pikiran segar dan suci senantiasa diperlukan dalam setiap kehidupan, pada setiap zaman.
Pelaksanäan yajna ditentukan juga oleh ruang dan waktu (desa-kala) lalu menyadarkan manusia (patra) tentang posisinya di alam semesta alam raya ini, serta hakikat dirinya yang merupakan putra Sang Abadi (Amretsyah Putrah). Manusia dengan demikian membangun sifat tyaga (ikhlas) dalam diri, melakukan pengorbanan bagi kerahayuan masyarakat luas, dan untuk mencapai tujuan kehidupan yaitu Sat Cit Anandam.
Yadnya adalah jalan kesucian, karena dengan melaksanakan yajna sesungguhnya manusia menyucikan dirinya, dan menyadari bahwa hakikat dirinya adalah suci. Oleh karena itu tapa, yajna, kirti dan yoga yang merupakan jalan kesucian mendapat tempat yang sangat mulia dalam agama Hindu.

Sumber: IBG. Agastia. http://www.parisada.org

MAKANLAH SETELAH BER-YADNYA

Manawa Dharmasastra III.117

Dewanrsin manusyamsca
pitrn grhyasca dewatah
pujayitwa tatah pascad
Grhastha sesabhugbha

[Setelah melakukan persembahan kepada Dewa manifestasi Tuhan, kepada para Resi, leluhur yang telah suci (Dewa Pitara), kepada Dewa penjaga rumah dan juga kepada tamu. Setelah itu barulah pemilik rumah makan. Dengan demikian ia lepas dan dosa]

UPACARA masaiban dalam tradisi umat Hindu di Bali sudah berlangsung sejak ratusan tahun. Namun sampai sekarang masih ada banyak perbedaan persepsi di kalangan umat Hindu tentang upacara sederhana itu. Upacara masaiban adalah tradisi untuk melakukan persembahan berupa sesajen atau banten setelah selesai memasak. Sesajen masaiban itu berbentuk sejumput nasi dengan menggunakan alas sepotong daun pisang atau sarana lain. Nasi itu dilengkapi lauk-pauk yang ada atau dengan sedikit garam saja.

Mengenai makna upacara ini umumnya sudah ada persamaan persepsi terutama di kalangan intelektual Hindu. Dalam Bhagawad Gita III.13 dinyatakan, makanlah setelah melakukan yadnya. Dalam sloka Bhagawad Gita itu dinyatakan dengan istilah yadnyasistasinah, yang artinya “makanlah setelah beryadnya”. Yang makan setelah ber-yadnya akan lepas dan dosa. Mereka yang makan tanpa ber-yadnya sebelumnya sesungguhnya makan dosanya sendiri.

Yang mungkin masih banyak perbedaan tafsir adalah bagaimana memaknai lebih lanjut ajaran ber-yadnya sebelum makan dalam pelaksanaan nyatanya di kehidupan sehari-hari. Demikian juga soal bentuk banten masaiban. meskipun masih ada sedikit perbedaan, tidak begitu dimasalahkan oleh umat. Yang sering dimasalahkan adalah di mana banten itu mesti dipersembahkan.
Ada yang mengacu pada Manawa Dharmasastra III.68 dan 69. Dalam sloka 68 dinyatakan, dosa manusia yang ditimbulkan oleh litha tempat penyembelihan yaitu tempat memasak, batu pengasah, sapu, lesung dengan alunya dan tempayan tempat air. Dan sini, lalu ada yang menganjurkan agar banten saiban itu dipersembahkan di lima tempat penyembelihan itu. Namun sloka 69 menyatakan bahwa untuk menebus dosa, setiap kepala keluarga digariskan untuk melakukan panca yadnya. Ini artinya, persembahan banten saiban itu bukanlah semata-mata di lima tempat penyemblihan tersebut, namun digariskan agar orang melakukan panca yadnya setiap harinya.

Dalam wujud ritual, masai ban adalah bentuk pelaksanaan panca yadnya dalam bentuk banten yang kecil atau inti saja. Oleh karena panca yadnya yang digariskan. maka banten saiban itu dapat dipersembahkan sampai ke sanggah merajan dan tempat-tempat lainnya di rumah tinggal keluarga. Sebagaimana dinyatakan dalam sloka Manawa Dharmasastra III,717, keluarga boleh makan setelah melakukan persembahan kepada Dewa manifestasi Tuhan yang Mahaesa, kepada Resi, kepada Dewa Pitara atau roh suci leluhur yang telah mencapai Siddha Dewata, kepada penjaga spiritual rumah tinggal (hulu pekarangan) dan kepada Atithi atau tamu.

Dalam sloka 118 dinyatakan, barang siapa menyiapkan makanan hanya untuk dininya sendini sebenarnya ia memakan dosa. Kitab suci itu menetapkan, makanan suci itu adalah makanan yang telah dipersembahkan dalam upacara yadnya seperti banten saiban itu. Makan yang demikian itulah makanan orang-orang bijaksana.

Apa yang dinyatakan dalam beberapa sloka ManaWa Dharmasastra dan Bhagawad Gita itu penn dijabarkan lebih dalam. Hal-hal tersebut seyogianya dipahami sbagai suatu konsep hidup yang baik, benar dan wajar. Konsep hidup yang dikandung dalam upacara masaiban itu adalah konsep yang mendorong kita agar bekerja dengan baik, benar dan wajar terlebih dahulu kemudian hasil kerja itulah yang kita makan.

Konsep ini sangat tepat di segala zaman. Jangan seperti orang yang ingin mendapatkan banyak rezeki tetapi tanpa bekerja. Dalam kearipan lokal Bali ada disebut “ngayah dulu baru dapat catu atau hasil”. Makanya ada yang disebut “catu tanpa ayah”, artinya dapat hasil tanpa kerja. Artinya, ada masyarakat yang bekerja tetapi tidak mendapatkan hasil.

Ini artinya, maknailah upacara masaiban itu dengan mengembangkan etos kerja yang baik. Etos kerja yang baik itu adalah etos kerja yang profesional dari para pekerja mendapat perlakuan yang adil dan sistem kerja yang ditetapkan oleh kebijakan Pemerintahan Negara. Semoga dengan memaknai upacara masaiban ini kita bisa meningkatkan sikap jujur dan adil dalam kerja. Jangan hanya menyerahkan semua urusan kita pada Tuhan. Mohonlah karunia Tuhan dengan bekerja berdasarkan jnyana atau ilmu pengetahuan sebagai wujud bakti kita pada Tuhan.
Sumber:  Drs. I Ketut Wiana, M.Ag. http://www.parisada.org

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites