Kamis, 20 Februari 2014

PENYAKIT KUSTA DAN PENGOBATANNYA MENURUT VEDA



Om Swastyastu,

Penyakit Kusta atau Lepra mungkin sudah tidak asing lagi terdengar di masyarakat. Sebagian besar masyarakat kita masih memiliki tanggapan negative apabila mendengar kata “Kusta”. Tapi sebenarnya apa itu penyakit kusta?

Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya, diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, hingga ditemukan bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh Universitas Texas pada tahun 2008. Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan hanya untuk menghargai jerih payah penemunya, melainkan juga karena leprosy dan leper mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga penamaan yang netral lebih diterapkan untuk mengurangi stigma soseal yang tak seharusnya diderita oleh pasien kusta.

Penyebab Dan Pengobatan Penyakit Kusta

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media artificial. M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, tahan asam dan alcohol serta gram positif, bersifat aerob dengan masa membelah diri yang cukup lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari sampai dengan 40 tahun Selain itu, penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta Multibasiler (MB) kepada orang lain melalui cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar ahli, kusta menular melalui saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat)

Ciri-ciri dari kusta sangat beragam, namun yang paling utama mengenai kulit, saraf dan membrane mukosa. Seseorang dengan penyakit ini dapan dikelompokan menjadi: Kusta multibasiler, dengan tingkat keparahan yang sedang, adalah tipe yang sering ditemukan. Terdapat lesi kulit yang menyerupai kusta tuberkuloid namun jumlahnya lebih banyak dan tak beraturan; bagian yang besar dapat mengganggu seluruh tungkai, dan gangguan saraf tepi dengan kelemahan dan kehilangan rasa rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat menjadi seperti kusta lepromatosa atau kusta tuberkuloid; Kusta tuberkuloid ditandai dengan satu atau lebih hipopigmentasi makula kulit dan bagian yang tidak berasa (anestetik); Kusta lepormatosa dihubungkan dengan lesinodulplak  kulit simetris, dermis kulit yang menipis, dan perkembangan pada mukosa hidung yang menyebabkan penyumbatan hidung (kongesti nasal) dan epistaksis (hidung berdarah atau mimisan) namun pendeteksian terhadap kerusakan saraf sering kali terlambat.

Kusta dapat menyerang siapa saja, tapi ada beberapa orang yang termasuk dalam kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta atau dalam hal ini menjadi lebih rentan terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti kondisi lingkungan yang tidak baik, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.

Studi yang dilakukan di China dan telah dipublikasikan dalam New England Journal of Medicine menemukan tujuh mutasi gen yang bisa meningkatkan kerentanan seseorang terkena kusta. Hal ini bertentangan dengan apa yang selama ini dipercaya oleh para ahli bahwa kusta bukanlah penyakit yang diwariskan atau turunan. Peneliti menganalisis gen dari 706 penderita kusta dan 1.225 orang yang tidak mengidap kusta. Didapatkan tujuh versi mutasi gen yang muncul pada orang-orang penderita kusta. Lima diantara gen tersebut terlibat dalam pengaturan sistem kekebalan tubuh.     

Bagaimana dengan pengobatan kusta itu sendiri? Sebelum tahun 1940an, tidak ada satu pengobatan pun yang ditemukan dapat menyembuhkan kusta, hingga akhirnya sampai pengembangan dapsonrifampin, dan klofazimin pada 1940an. Pada awalnya ilmuwan hanya menemukan dapson sebagai obat anti kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi bakteri) yang lemah terhadap Mycrobacterium leprae. Dikatakan bahwa penggunaan tunggal dapson menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. Pada 1960an, dapson akhirnya tidak digunakan lagi. Kemudian para ilmuwan mulai melakukan pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, dan akhirnya ditemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an.

Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri. Terapi multiobat dan kombinasi tiga obat di atas pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri.

Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk masuk ke negara yang endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada Pertemuan Kesehatan Dunia (WHO) ke-44 di Jenewa1991, menelurkan sebuah resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk mengembangkan strategi penghapusan kusta.

Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar. Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.

PENGOBATAN KUSTA DALAM KITAB SUCI HINDU

Ribuan tahun lalu pengobatan penyakit kusta atau lepra ini telah tercantum di dalam salah satu kitab suci Hindu, Atharvaveda. Dimana dalam kitab suci Atharvaveda I.23.1 dikatakan bahwa : “Rajani (curcuma longa linn) menyembuhkan semua jenis penyakit kusta (lepra), apakah ia di tulang ataukah pada kulit. Ia menyingkirkan bintik-bintik putih pada tubuh. Ia juga menyingkirkan ubanan pada rambut”. Curcuma Longa Linn (Turmeric) merupakan sejenis keluarga jahe yang merupakan tanaman herbal rhizomatous.  Masyarakat Indonesia lebih mengenal Curcuma Longa Linn sebagai salah satu rempah-rempah untuk memasak dan biasa dikenal dengan sebutan “Kunyit”.

Ayurveda, merupakan metode pengobatan tradisional masyarakat India mencantumkan bahwa Curcuma Longa Linn (kunyit) ini memiliki banyak manfaat dan khasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, salah satunya adalah penyakit lepra. Hal ini yang membuat para peneliti India mulai meneliti kandungan kunyit dan manfaatnya dalam menyembuhkan.

Salah satunya seperti yang dimuat dalam buku Immunomodulatory Effects of Curcumin. Immunopharmacol Immunotoxicol karangan Yadav VS, Mishra KP, Singh DP, Mehrotra S, Singh VK, tahun 2005,  Kurkumin (diferuloylmethane), ditemukan dalam bumbu kunyit, pameran anti-inflamasi, antioksidan, dan aktivitas kemopreventif. Namun, efek kurkumin pada tanggapan kekebalan sebagian besar masih belum diketahui. Dalam studi ini telah diteliti efek kurkumin pada mitogen (phytohaemagglutinin, PHA) dirangsang proliferasi sel-T, pembunuh alami (NK) sitotoksisitas sel, produksi sitokin oleh sel mononuklear darah perifer manusia (PBMC), oksida nitrat (NO) produksi dalam sel makrofag tikus, RAW-264,7. Selain itu, para peneliti telah melakukan assay pergeseran electromobility untuk menjelaskan mekanisme kerja kurkumin pada tingkat interaksi protein DNA. Para ahli mengamati curcumin yang menghambat PHA-induced proliferasi sel-T, interleukin-2 produksi, generasi NO, dan lipopolysachharide diinduksi faktor-kappaB nuklir (NF-kappaB) dan menambah sitotoksisitas sel NK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurkumin paling mungkin menghambat proliferasi sel dan produksi sitokin dengan menghambat gen target NF-kappaB terlibat dalam induksi parameter kekebalan tubuh.

Dalam Jurnal berjudul “USADA” PENGOBATAN TRADISIONAL BALI oleh Ir. I Nyoman Prastika, M.Si bahwa kunyit (Curcuma Longa Linn) ini dapat digunakan sebagai obat luar untuk mengobati penyakit Lepra. Menurut Ir. I Nyoman Prastika, M.Si, kunyit (Curcuma Longa Linn) ini dicampur dengan beberapa bahan tambahan untuk digunakan sebagai obat Lepra, bahan-bahan dan cara pembuatannya pun sebagai berikut:

Bahan-bahan yang digunakan sebagai obat luar:

Kakap sedah (Sirih tua) + Jahe + Isen (Lengkuas) + Kapur + Kesune Jangu (Bawang putih)+ Akah Paku Dukut (Akar Sayur Paku)+ Inan Kunyit (Induk Kunyit)

Cara Pembuatan:

• Semua bahan diatas digerus lalu kemudian diboreh (digunakan seperti lulur).

Bahan-bahan yang digunakan sebagai obat dalam untuk mengobati Lepra, antara lain:

1 buah pinang tua + 1 buah sirih tua + Gambir. Caranya semua bahan-bahan tadi digerus sampai

halus kemudian ditambahkan air panas secukupnya, kemudian disaring; airnya diminum 3 kali

sehari (Pagi, Siang dan Malam).

Sedangkan di dalam Jurnal of Ayurveda and Integrative Medicine, Curcuma Longa Linn mempunyai manfaat penting untuk meningkatkan sistem pencernaan dan merevitalisasi aktivitas metabolisme tubuh mengingat salah satu factor penting yang harus diperhatikan pada penderita lepra atau kusta ini adalah asupan nutrisinya, maka Curcuma Longa Linn (Kunyit) ini dapat membantu status gizi penderita Lepra menjadi lebih baik.

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa sejak jaman dahulu kala kunyit (curcuma longa linn) telah diyakini dapat membantu dalam proses penyembuhan penyakit lepra. Namun, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menunjukkan seberapa besar kefektifan dari manfaat kunyit dalam penyembuhan lepra. Sehingga masyarakat dapat memanfaatkan kunyit dengan sebaik-baiknya sebagai salah satu pengobatan herbal yang aman dan murah bagi penderita lepra.

Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa ilmu pengobatan Ayurveda bukanlah ilmu pengobatan tradisional biasa dan tanpa dasar, tetapi merupakan ilmu pengobatan holistik paling kuno yang dapat disejajarkan dan mungkin lebih maju dari ilmu kedokteran modern saat ini.

Sehingga dalam Ayur Weda terdapat kesimpulan bahwa kehidupan merupakan perpaduan antara raga (badan), indriya (indera), manah (pikiran) dan atma (jiwatman). Seseorang akan dikatakan betul-betul sehat kalau ia sehat dalam tiga hal tersebut.

Om Dirghayuastu Tad Astu Astu,

Om Awighnamastu Tad Astu Astu,

Om Subhamastu Tad Astu Astu,

Om Sriyam Bhawantu, Sukham Bhawantu, Purnam Bhawantu.

Om A No Badrah Kratawo Yantu Wiswatah.

Om Shanty, Shanty, Shanty, Om.



Penulis: Ketut Lastri Aryati, Amd. Kep., mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga

2 komentar:

Posting Komentar

Kami sangat berterima kasih kepada Anda yang berkenan menyampaikan komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites