Melasti Tawur Kasanga

Meningkatkan bhakti, menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa, dan mencegah kerusakan alam

Ngiring Prawatek Dewata

Melakukan perjalanan suci menuju sumber air seperti laut atau mata air lainnya yang memiliki nilai sakral

Anganyutaken Laraning Jagat

Membangkitkan spiritualitas untuk berusaha menghilangkan kesengsaraan hidup di bumi secara ragawi dan rohani

Anganyutaken Papa Klesa

Membinasakan kepapaan yang disebabkan oleh oleh awidya, asmita, raga, dwesa dan abhiniwesa

Anganyuntaken Letuhing Bhuwana

Menjaga kelestarian alam semesta dengan membersihkan pencemaran pertiwi, apah, bayu, teja, dan akasa

Kamis, 22 Agustus 2013

Banten Pejati - Cara Membuat dan Kajian Filosofis

Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang disampaikan dalam bahasa tulis, misalnya pustaka Veda Samhita dalam bahasa Sanskerta, ada yang disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya. Di Indonesia disampaikan dalam bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dalam bahasa Bali.

Rabu, 07 Agustus 2013

Memaknai Hari Sarasvati

Hari Raya Saraswati bagi umat Hindu di Indonesia dirayakan setiap 210 hari sekali menurut kalender Jawa Bali, yakni pada setiap Saniscara Umanis Watugunung.

Kata 'Sarasvatī' ( सरस्वती) dalam bahasa Sanskrta berasal dari akar kata 'Sr' yang artinya mengalir. Dalam Rigveda, Saraswati adalah sungai dan sekaligus dewi sungai. Namun dalam perkembangan selanjutnya, Sarasvati semakin kehilangan status sebagai dewi sungai dan memperoleh status baru sebagai dewi ilmu pengetahuan dan seni. Dalam agama Hindu, Devi Sarasvati melambangkan kecerdasan, kesadasarn, pengetahuan semesta alam, kreativitas, pencerahan, dan seni. Umat Hindu memuja Devi Sarasvati lebih daripada sekedar dewi ilmu pengetahuan akademik, melainkan sebagai dewi pengetahuan semesta alam, yaitu sebagai 'Ibu Veda'. Pelajaran mengenai Veda biasanya diawali dan diakhiri dengan 'Saraswati Vandana'.

Sarasvati di Indonesia telah dikaji oleh C. Hooykaas dalam bukunya "Agama Tirtha, Five Studies in Hindu-Balinese Religion" (1964). Sebagai acuan atau sumber kajian, Hooykaas menggunakan tiga naskah, yaitu: Stuti, Tutur dan Kakavin yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Sarasvati di Bali dipuja dengan perantaraan stuti, stava atau stotra seperti halnya dengan menggunakan sarana banten (persembahan).

Pada saat seorang pemangku melakukan pemujaan pada hari Sarasvati, ia mengucapkan dua bait mantra berikut:
Om Sarasvati namas tubhyam, varade kama rupini, siddhirambha karisyami, siddhir bhavantu mesada. Pranamya sarya-devana ca, Paramatmanam eva ca, rupa siddhi prayukta ya, Sarasvati (n) namamy aham. 
Hanya Engkaulah yang menganugrahkan pengetahuan yang memberikan kebahagiaan. Engkau pula yang penuh keutamaan dan Engkaulah yang menjadikan segala yang ada. Engkau sesungguhnya permata yang sangat mulia, Engkau keutamaan dari setiap istri yang mulia, Demikian pula tingkah laku seorang anak yang sangat mulia, karena kemuliaan-Mu pula semua yang mulia menyatu. 
Om Sarasvati namotubhyam varade kama rupini, siddhirambha karisyami siddhir bhavantu mesada
Om Hyang Vidhi dalam wujud-Mu sebagai dewi Sarasvati, pemberi berkah, wujud kasih bagai seorang ibu sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba lakukan selalu berhasil atas karuniaMu.
Di India, mantra yang diucapkan disebut Sarasvati Vandana Mantra:
या कुंदेंदु तुषारहार धवला, या शुभ्र वस्त्रावृता |
या वीणावर दण्डमंडितकरा, या श्वेतपद्मासना ||
या ब्रह्माच्युतशंकरप्रभ्रृतिभिर्देवै: सदा वन्दिता |
सा मां पातु सरस्वती भगवती निःशेष जाड्यापहा ||
शुक्लां ब्रह्मविचार सार परमां आद्यां जगद्व्यापिनीं
वीणा पुस्तक धारिणीं अभयदां जाड्यान्धाकारापाहां|
हस्ते स्फाटिक मालीकां विदधतीं पद्मासने संस्थितां
वन्दे तां परमेश्वरीं भगवतीं बुद्धि प्रदां शारदां||
yaa kundendu tushaara haara-dhavalaa, yaa shubhra-vastra'avritaa
yaa veena-vara-danda-manditakara, yaa shweta padma'asana
yaa brahma'achyuta shankara prabhritibhir devai-sadaa vanditaa
saa maam paatu sarasvati bhagavatee nihshesha jaadya'apahaa.
shuklaam brahmavichaara saara paramaam aadhyaam jagadvyapinim,
veena pustaka dhaarineem abhayadaam jaadya'andhakaara'apahaam
haste sphaatika maalikam vidadhateem padmasane sansthitaam
vande taam parmeshwareem bhagavateem buddhipradaam shardam.

She, who is as fair as the Kunda flower, white as the moon, and a garland of Tushar flowers;and who is covered in white clothes
She, whose hands are adorned by the excellent veena, and whose seat is the pure white lotus;
She, who is praised by Brahma, Vishnu, and Mahesh;
O Mother Goddess, remove my mental inertia!

Berbagai jalan terbentang bagi Umat Hindu untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak tergambarkan dalam alam pikiran manusia. Untuk kepentingan bhakti, manusia menggambarkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Tuhan Yang Berpribadi (personal God). Manusia memuja berbagai aspek kekuasaan dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa serta memohon karunia-Nya untuk keselamatan dan kesejahteraan.

Untuk kepentingan bhakti, Devi Sarasvati dipernifikasikan sebagai dewi mahacantik berbusanaserba putih dan berkilauan. Di dalam Brahmavaivarta Purana dinyatakan bahwa warna putih merupakan simbol dari salah satu Tri Guna, yaitu Sattva-gunatmika dalam kapasitasnya sebagai salah satu dari lima jenis Prakrti. Ilmu pengetahuan diidentikan dengan Sattvam-jnanam.

Devi Sarasvati dipersonifikasikan memiliki 4 tangan, memegang vina (sejenis gitar), pustaka (kitab suci dan sastra), aksamala (tasbih) dan kumbhaja (bunga teratai). Atribut ini melambangkan: vina (di tangan kanan depan) melambangkan Rta (hukum alam) dan saat alam tercipta muncul nadamelodi (nada-brahman) berupa Om. Suara Om adalah suara musik alam semesta atau musik angkasa. Aksamala (di tangan kanan belakang) melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dan tanpa keduanya ini manusaia tidak memiliki arti. Busana putih menunjukkan bahwa ilmu itu selalu putih, mengingatkan kita terhadap nilai ilmu yang murni dan tidak tercela.

Sarasvati duduk di atas bunga teratai dengan kendaraan angsa atau merak. Angsa adalah sejenis unggas yang sangat cerdas dan dikatakan memiliki sifat kedewataan dan spiritual. Angsa yang gemulai mengingatkan kita terhadap kemampuannya membedakan sekam dengan biji-bijian dari kebenaran ilmu pengetahuan, seperti angsa mampu membedakan antara susu dengan air sebelum meminum yang pertama. Kendaraan yang lain adalh seekor burung merak yang melambangkan kebijaksanaan.

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka Sarasvati di dalam Veda pada mulanya adalah dewi Sungai yang diyakini amat suci. Dalam perkembangan selanjutnya, Sarasvati adalah dewi ucap, dewi yang memberikan inspirasi dan kahirnya ia dipuja sebagai dewi ilmu pengetahuan.

Perwujudan Dewi Saraswati sebagai dewi yang cantik bertangan empat dengan berbagai atribut yang dipegangnya mengandung makna simbolis bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber ilmu-pengetahuan, sumber wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Catur Veda dan lain-lain menunjukkan bahwa simbolis tersebut memiliki nilai yang sangat tinggi dengan latar belakang filosofis yang sangat dalam.

Disadur dengan sedikit perubahan kata-kata dari: http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=259&Itemid=100

Selingan: Alangkah Lucunya Orang Bali

Blog atau situs suatu lembaga biasanya berisi hal-hal yang diatur sedemikian rupa supaya lembaga yang bersangkutan terkesan hebat. Banyak contoh, lihat saja situs-situs lembaga lain. Kalau bukan menampilkan yang bernuansa pencitraan, isinya pasti serius. Saking seriusnya, orang menjadi sulit memahami, sesungguhnya yang ingin dikuomunikasikan itu apa? Blog ini mengenai organisasi Hindu, karena itu mungkin tidak harus hanya berisi tulisan mengenai Hindu. Sambil menunggu ada kontribusi umat (mudah-musahan ada yang terpanggil melakukan jnana yadnya), kami menampilkan tulisan dari blog/website lain, tentunya yang senuansa. Dan dari tulisan yang kami pilih, berikut ini adalah tulisan untuk menertawakan diri sendiri.

Lucu itu pembawaan, tak bisa dipaksakan. Tidak banyak orang yang fasih melucu. Kebanyakan orang gigih mencoba melucu, justru jadinya tidak lucu. Kalaupun kemudian ada yang tertawa, yang ditertawakan adalah ketidaklucuan itu. “Kasihan deh lu…!”, celetuk orang-orang.

Tetapi, orang Bali beda. Selain dikenal sebagai bangsa sederhana, terbuka, melontarkan pendapat apa adanya, orang Bali juga dikenal punya bakat besar untuk melucu. Orang Bali yang sering kumpul-kumpul dengan rekan-rekan mereka dari suku lain di tanah air, pasti pernah mengalami, betapa mereka diharapkan menjadi pengocok perut dalam pertemuan itu. Agar suasana jadi santai dan yang hadir bisa tertawa terpingkal-pingkal. Orang Bali dianggap memiliki takdir untuk menjadikan suasana hangat dan bersahabat.

Logat orang Bali berbahasa Indonesia, misalnya, hampir selalu dianggap lucu. Logat mereka udik, lugu, mengundang gelak tawa dan kasihan, namun membuat pendengarnya menjadi senang dan segera akrab. Tak sedikit orang akhirnya menjalin persahabatan dengan orang Bali berkat bakat lucu itu. Mungkin, kelucuan itu bersumber dari watak orang Bali yang, konon, suka tersenyum, rendah hati, dan terbuka dengan siapa saja. Bukankah senyum merupakan bibit tawa?

Pelancong-pelancong dari Jakarta atau Bandung yang senang memanfaatkan jasa sopir orang Bali ketika mereka dolan ke objek wisata, senantiasa terkesan oleh kelucuan dan keluguan sopir-sopir itu. Sopir yang merangkap pemandu wisata itu sering memberi layanan dan penjelasan tentang objek yang dikunjungi disertai cerita-cerita lucu dan guyonan-guyonan segar. Kemudian pelancong itu menyarankan kepada rekannya yang hendak liburan ke Bali untuk menggunakan jasa sopir lucu itu. “Lu cari aja Pak Ketut, sopir yang suka melucu itu. Nich… nomor hape-nya!”

Belakangan, predikat lucu bagi orang Bali kian melebar dan beragam. Tidak lagi lucu dalam arti sesungguhnya, tetapi lucu sebagai sebuah sindiran. Misalnya, orang Bali dikenal sangat suntuk dan khusuk kalau ada upacara di pura atau kegiatan adat dan keagamaan. Tak lama kemudian, mereka juga asyik bermain ceki atau domino. Ini dianggap lucu oleh pelancong-pelancong, ketika mereka diajak menyaksikan odalan di sebuah pura desa. “Lucu ya!?”, ujar pelancong itu. “Bersujud dan berbakti, tetapi juga berbuat dosa sekaligus. Ha, ha, ha !" Sopir orang Bali itu juga ikut tertawa. Benar-benar lucu. Lucunya dobel; peristiwanya lucu, kisahnya pun tak kalah lucu.

Orang Bali lucu tidak hanya bisa disaksikan dalam pertunjukan drama-gong. Ada orang Bali yang lama di Jakarta berkomentar, “Bali itu memang sudah habis-habisan lucu, lebih lucu dari pentas drama-gong.” Ia menyebut begitu gigih orang Bali mempertahankan agar Bali tetap Bali (Ajeg Bali). Mereka mencermati perkembangan tempat-tempat tujuan wisata. Apalagi jika pembangunan wisata itu menyangkut kawasan suci. Tapi, mereka kemudian bersilang pendapat antara setuju dan menolak. Ini tergolong lucu, karena selalu terjadi seperti itu, berulang kali. Yang kemudian menjadi lebih lucu, orang Bali tak mau belajar dari pengalaman. Rencana pemanfaatan ratusan hektar hutan dan Danau Buyan untuk bisnis hiburan industri pariwisata, juga bisa dijadikan contoh, betapa Bali memang sungguh-sungguh lucu. Pejabat yang berwenang memberi izin, begitu mendengar hasrat investor hendak mencaplok kawasan danau itu, sepantasnya langsung menolak. Jika investor tetap melangkah, pejabat itu semestinya berang. Tetapi yang terjadi, si pejabat yang notabene adalah orang Bali, justeru memberi ijin. Maka bukan hanya orang Bali sopir, orang Bali pejabat juga lucu.

Kelucuan-kelucuan di Bali memang sudah berhamburan. Ketika tanah-tanah di kawasan suci Pulau Serangan, tempat keberadaan Pura Sakenan, dicaplok investor, orang Bali marah besar. Tapi, tatkala investor memperluas pulau suci itu, membangun jembatan untuk menghubungkannya dengan daratan Denpasar Selatan, orang Bali senang. Mereka girang, karena bisa langsung naik motor atau mobil ke Pura Sakenan, tak usah lagi naik jukung. Tidakkah ini super-lucu? Sebuah keluarga menghabiskan puluhan juta rupiah untuk menyelenggarakan upacara ngenteg linggih di sanggah, tapi si ayah menolak membiayai sekolah anaknya kuliah. “Untuk apa kuliah, toh tamat nanti susah cari kerjaan. Berlayar saja, kerja di kapal pesiar, duitnya banyak!”, hardik si bapak. Si anak lanang menangis, karena ia cinta ilmu dan benci jadi jongos. Bagi si bapak, tidak ada orang Bali yang bekerja sebagai pembantu, yang ada adalah bekerja di kapal pesiar dan mengirim duit banyak, untuk digunakan 'maceki' dan 'matajen'. Ini contoh menyedihkan, tetapi lucu.

Banyak tempat keramat, dekat kuburan misalnya, yang dulu lengang, kini dipadati penghuni. Pelopor hunian itu adalah kaum pendatang. Orang Bali awalnya marah karena tempat keramat, menyalahai tri hita karana. Tapi, lambat laun, orang Bali juga ikut membangun warung atau toko, berebut rezeki di wilayah itu. Lucu. Orang Bali itu pun bekerja giat, meniru kegigihan para pendatang. Ia jadi sibuk, tak sempet lagi bikin canang. Ia pun berlangganan canang untuk sesaji sehari-hari. Karena punya banyak duit, ia beli kulkas besar. Dan canang-canang dimasukkan ke kulkas itu agar tetap segar. Dulu, ini aneh dan lucu, sekarang tidak lagi. Sudah lazim. Mereka menganggap dewa-dewi, bhatara-bhatari, layak juga menikmati “santapan” dingin.

Masih banyak lagi contoh untuk menunjukkan betapa orang Bali itu sungguh-sungguh lucu. Satu per satu, sehari-hari, bisa disaksikan betapa mereka berlomba-lomba untuk menjadi lucu. Kalau Bali menerus lucu, tentu tiada henti ia akan ditertawakan orang. Apalagi, di tengah-tengah menjadi bahan tertawaan orang, orang Bali justeru menjadi bangga, merasa dikagumi bahwa dirinya lucu. Ha-ha!

Disadur dengan sedikit perubahan kata-kata dari:  http://nakbalibelog.wordpress.com/2012/08/20/alangkah-lucu-orang-bali/

Untuk Kita Renungkan: Mengapa Sebagian Umat Kaharingan Ingin Keluar dari Hindu?

Penduduk asli Pulau Kalimantan adalah Suku Dayak. Mereka terbagi dalam 405 sub suku, yang masing-masing mempunyai bahasa dan adat-istiadat sendiri-sendiri. Tjilik Riwut membagi Suku Dayak ke dalam 7 kelompok, yaitu: (1) Dayak Kayan, yang daerah persebaraniniya meliputi Kabupaten Bulungan di Kalimantan Timur dan Serawak di Malaysia; (2) Dayak Punan, yang daerah persebarannya meliputi Kabupaten Berau dan Kutai di Kalimantan Timur; (3) Dayak Iban, yang daerah persebarannya meliputi Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat dan Serawak di Malaysia; (4) Dayak Ot Danum, yang daerah persebarannya meliputi bagian besar Kalimantan Tengah; (5) Dayak Klemantan, yang daerah persebarannya mehiputi Kahimantan Barat bagian selatan; (6) Dayak Ngaju, yang daerah persebarannya mehiputi Kahimantan Selatan dan Kalimantan Tengah bagian Tengah; dan (7) Dayak Kenyah, yang daerah persebarannya meliputi Hulu Sungai Belanyan dan Sungai Mahakam di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur.

Sebelum datangnya agama-agama besar yang diakui sebagai agama resmi oleh pemerintah Indonesia, masyarakat Dayak telah memiliki kepercayaan sendiri, yang disebut Kaharingan. Kepercayaan Kaharingan memuat aturan-aturan kehidupan yang nilai-nilai dan isinya bukan hanya sekedar adat-istiadat, tetapi juga ajaran untuk berperilaku. Kepercayaan Kaharingan ini tidak memiliki kitab suci, melainkan disampaikan secara lisan dan turun-temurun. Menurut kepercayaan Kaharingan, masyarakat Dayak mempercayai banyak dewa di sekitar mereka, seperti dewa-dewa yang menguasai tanah, sungai, pohon, batu, dan sebagainya. Di antara dewa-dewa tersebut, terdapat dewa yang tertinggi, yang sebutannya berbeda-beda di kalangan kelompok suku Dayak satu dengan yang lainnya. Misalnya, Dayak Ot Danum menyebut dewa yang tertinggi mereka Mahatara, sedangkan Dayak Ngaju menyebutnya Ranying Mahatalla Langit. Setiap orang yang akan melakukan sesuatu pekerjaan harus meminta ijin dari dewa-dewa yang bersangkutan agar tidak terjadi bencana, kesialan, sakit, dan sebagainya. Orang Dayak juga mengenal isyarat-isyarat alam apabila hendak bepergian jauh, seperti arah terbang burung, suara burung-burung tertentu, ada ular yang melintas di depannya, dan sebagainya. Hal ini bukan karena orang Dayak tidak percaya adanya Tuhan. Mereka percaya adanya Tuhan, tetapi Tuhan tidak berbicara langsung kepada manusia, melainkan dengan perantara alam atau isyarat-isyarat alam tersebut.

Suku Dayak sangat terbuka dengan pengaruh budaya luar, termasuk di antaranya kehadiran agama-agama besar. Keterbukaan mereka tersebut dimanfaatkan oleh kaum misionaris untuk menyebarkan agama mereka masing-masing. Islam telah masuk ke Kalimantan sejak abad ke-13, dibawa oleh kaum pendatang yang berasal dari daerah lain, seperti dari Jawa, Melayu, Bugis, dan sebagainya. Suku Dayak yang tinggal di kawasan pesisir dan banyak berhubungan dengan para pendatang dari suku-suku lain, banyak yang kemudian beralih memeluk agama Islam. Pada pihak lain, kegiatan misionaris agama Kristen Katholik dan Kristen Protestan telah masuk ke pedalaman Kalimantan dan berjalan dengan gencar sejak abad ke-19. Para mionaris Kristen ini menggunakan media pelayanan sosial, seperti bantuan pendidikan, bantuan ekonomi, dan pelayanan kesehatan. Upaya penyebaran agama-agama besar ini cukup berhasil, terutama dalam merekrut generasi mudanya, sehingga pada saat ini sebagian besar generasi muda Dayak telah memeluk agama Islam, Kristen, atau Katholik. Akan tetapi sebagian dari mereka tetap bertahan pada kepercayaan Kaharingan.

Kedatangan agama-agama tradisi besar tersebut di atas ternyata juga membawa dampak buruk terhadap kehidupan orang-orang Suku Dayak. Hal ini dikarenakan agama-agama tradisi besar pada umumnya memandang kepercayaan-kepercayaan di luar mereka sebagai sesuatu yang eksotik, salah, dan harus diluruskan sesuai dengan ajaran agama mereka. Seorang Dayak yang sudah menganut Islam akan merasa malu mengakui dirinya sebagai orang Dayak. Ia akan mengidentifikasi dirinya sebagai orang Melayu.

Menurut pandangan mereka, orang Melayu dengan agama Islamnya identik dengan kemajuan dan kemoderenan, sedangkan orang Dayak dengan kepercayaan Kaharingan-nya identik dengan ketertinggalan dan kekolotan. Sementara itu keberadaan agama Kristen dan Katholik juga tidak mendukung pelestarian adat-istiadat dan tradisi Suku Dayak. Banyak upacara Suku Dayak yang berhubungan dengan upacara kematian, pemujaan roh nenek moyang yang telah meninggal, dan pemujaan alam lingkungan, seperti upacara Tewah/Dalo, upacara penolak bala dan sebagainya, dilarang karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen dan Katholik. Dengan hilangnya upacara-upacara tersebut, hilang pula nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung di dalam tatanan masyarakat Dayak, seperti pelestarian hutan, rasa menghargai terhadap semua makhluk hidup yang ada di alam lingkungan, penghormatan terhadap leluhur, dan sebagainya.

Pada jaman Orde Baru pemerintah memberlakukan lima agama besar yang resmi diakui di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu Dharma, dan Budha. Hal ini menimbulkan kebingungan tersendiri bagi masyarakat Dayak yang menganut kepercayaan Kaharingan. Di satu pihak mereka harus memilih salah satu dari agama-agama yang diakui pemerintah, sementara di pihak lain ajaran-ajaran yang ditawarkan oleh para misionanis dan penyebar agama tersebut dianggap tidak dapat mewadahi kepercayaan asli mereka. Sebagian dari para penganut kepercayaan Kaharingan memilih agama Hindu sebagai agama resmi mereka karena adanya persamaan mendasar antara keduanya, khususnya dengan yang masih dipraktikkan oleh masyarakat Suku Bali sebagai penganut agama Hindu. Setelah bergabung dengan agama Hindu, maka secara tidak resmi muncul istilah Hindu Kaharingan, yaitu untuk menyebut orang-orang Dayak yang telah memeluk agama Hindu. Konsekuensi logis dari bergabungnya mereka ke dalam agama Hindu adalah dilakukannya pembinaan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai majelis tertinggi Agama Hindu di Indonesia.

Ketika kekuasaan Orde Baru runtuh dan kemudian bergulir semangat reformasi, maka di kalangan umat Hindu Kaharingan pun timbul semangat reformasi. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa Hindu Kaharingan tidak sama dengan agama Hindu sebagaimana yang dianut oleh orang Bali, melainkan merupakan agama yang berdiri sendiri. Pada saat ini mereka tengah memperjuangkan kepada pemerintah agar agama Hindu Kaharingan dapat diakui sebagai agama resmi, sejajar dengan agama-agama lainnya. Mereka juga telah membuat majelis umat tersendiri di luar PHDI. Namun tampaknya, di antara mereka juga belum ada kesepakatan bersama mengenai hal ini. Beberapa di antara mereka menawarkan nama BAKDI (Badan Agama Kaharingan Dayak Indonesia), sebagian lagi menawarkan nama Majelis Hindu Kaharingan.

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah mengapa umat Hindu Kaharingan terpecah menjadi dua? Kebijakan apa yang sebaiknya ditempuh PHDI untuk mengatasi hal ini? Jumlah pemeluk Hindu Kaharingan pada saat ini diperkirakan tidak terlalu besar, hanya sekitar 1,4 juta jiwa yang tersebar di 4 propinsi di Kalimantan, yaitu: Kalimantan Tengah 300 ribu jiwa, Kalimantan Timur 450 ribu jiwa, Kalimantan Barat 650 ribu jiwa, dan Kalimantan Selatan 40 ribu jiwa.

Sebagaimana telah disebutkan, konsekuensi logis dari masuknya kepercayaan Kaharingan ke dalam agama Hindu adalah kewajiban bagi PHDI selaku majelis tertinggi agama Hindu untuk melakukan pembinaan terhadap masyarakat Kaharingan. Di dalam pembinaan ini, kepada mereka diperkenalkan dengan sistem pantheon (ketuhanan), hari-hari besar keagamaan, serta sarana dan prasarana upacara agama Hindu. Pada kenyataannya, yang digunakan sebagai model adalah adat dan tradisi umat Hindu suku Bali. Persoalan menjadi muncul ketika praktik-praktik keagamaan masyarakat Dayak akhirnya mulai didominasi oleh praktik keagamaan Hindu suku Bali, seperti pembuatan tempat ibadah yang mengacu pada bentuk-bentuk pura yang ada di Bali, sesaji yang didominasi oleh bentuk sesaji Bali, pakaian adat Bali, dan sebagainya. Yang terjadi bukanlah pembinaan orang Dayak untuk lebih memahami Hindu, melainkan untuk menerima budaya suku Bali. Sementara itu, sejak dahulu masyarakat Dayak telah memiliki sistem pantheon tersendiri, tempat ibadah sendiri, dan bentuk sesaji tersendiri yang berbeda jauh dengan bentuk sesaji yang ada di Bali.

Berbeda dengan agama-agama besar lainnya, agama Hindu tidak mengenal doktrin yang penyeragaman. Hindu berkembang dalam tradisi ke-bhinnekaan yang di Bali sendiri dikenal sebagai konsep Desa, Kala, Patra (Tempat, Waktu dan Kondisi). Hanya saja, entah mengapa kemudian, ketika berhadapan dengan suku yang berbeda, yang muncul adalah semangat Balinisasi, bukan semangat berdasarkan konsep Desa, Kala, Patra. Penganut Hindu suku Bali, ketika dipertanyakan mengapa agama Hindu di Bali tidak sama dengan di India, akan menjawab dengan menggunakan konsep ini. Tetapi ketika PHDI melakukan pembinaan di kalangan umat Hindu Kaharingan, haruskan mengajarkan membuat banten, merayakan Galungan dan Kuningan, dan mengucapkan Om Swastyastu dan Om Shanti, Shanti, Shantih, Om (sedangkan umat Hindu di India menggunakan salam Namaste, Namaskar, atau Namaskaram)? Haruskah juga mengajarkan Tri Sandhya yang terdiri atas sejumlah bait sebagaimana yang digunakan di Bali dan bukannya lebih baik mengajarkan mantram Gayatri? Haruskah membangun pura bergaya aritektur Bali dengan mendatangkan arsitek tradisional Bali? Dan sesudah pura dengan gaya arsitektur Bali berdiri dengan megah, haruskah mereka datang ke pura dengan pakaian adat Bali?

Pura berarsitektur Bali di Palangka Raya. Sumber: Sudah Ada Tiga Pura di Kota Cantik

Bila jawaban terhadap pertanyaan ini adalah ya maka permasalahan sebenarnya adalah bukan hanya pada adanya sebagian umat Kaharingan yang ingin keluar dari Hindu, melainkan kita menggiring Hindu menghadapi kehancuran kedua di Nusantara. Seharusnya, sebagai konsekuensi dari konsep Desa, Kala, Patra; kita mengakui bahwa Hindu Kaharingan itu ada, sebagaimana juga Hindu Bali, Hindu Tengger, Hindu Batak, Hindu Kei, dan entah Hindu apa lagi. Sudah tidak zamannya lagi pada era desentralisasi masih tetap ingin menyeragamkan. Nama boleh berbeda-beda, sepanjang mengimani Panca Sraddha, selebihnya bhinneka tunggal ika. Bukankah Hindu akan menjadi benar-benar toleran bila orang Hindu suku Bali di Kalimantan sesekali bersembahyang di tempat ibadah Kaharingan? Atau yang dibangun di kota-kota Kalimantan bukanlah pura berarsitektur Bali melainkan disesuaikan dengan arsitektur Kaharingan?

Disadur dengan beberapa perubahan dari: http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1361&Itemid=121 dan http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1362&Itemid=121. Dua alinea terakhir ditambahkan.

Senin, 05 Agustus 2013

Umat Hindu Adat Kei, Maluku Tenggara

Pada zaman dahulu, sekitar tahun 1810, ada seorang tokoh spiritual yang berasal dari Bali. Beliau bernama Ketut yang sering di sebut dengan nama Tebtut. Beliau mempunya istri yang berasal dari desa Tanimbar Kei, bernama Nen Sikre. Beliau kemudian mengajarkan ajaran spiritual kegamaan, yaitu ajaran agama Hindu. Tetapi jauh sebelum beliau datang, sebutan agama Hindu sudah ada di desa ini. Sebutan agama Hindu bagi umat di desa Tanimbar Kei sudah ada sebelum zaman penjajahan Belanda, sejak zaman kerajaan Majapahit. Jauh sebelum masuknya agama Hindu, masyarakat di desa Tanimbar Kei sudah memegang teguh adat, tradisi dan kepercayaan setempat, yaitu kepecayaan terhadap benda-benda sakral dan mitu (leluhur) yang suci. Setelah masuknya ajaran Hindu di desa ini, tokoh adat desa Tanimbar Kei menerima ajaran agama Hindu sebagai suatu keyakinan masyarakat setempat. Hal ini dibuktikan dengan simbol-simbol yang masih terdapat di rumah-rumah adat yang ada di dalam ajaran Hindu. Salah satunya, yaitu keyakinan tentang mitu dan sirih pinang, terkandung nilai-nilai ajaran Hindu mengenai konsep Panca Sraddha dan kerangka dasar ajaran Hindu.


Lihat Peta Lebih Besar


Menurut hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bal (Bali), ketika itu merupakan wilayah kerajaan Majapahit di kawasan Barat Nusantara. Konon, dua perahu utama berlayar dari pulau Bali, masing-masing dinahkodai oleh dua orang, masing-masing bergelar Hala'ai Deu dan Hala'ai Jangra. Setibanya di perairan kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil, sedangkan perahu rombongan Jangra menepi di desa Ler-Ohoylim, pulau Kei Besar. Letvuan dijadikan pusat pemerintahan, tempat dikembangkannya hukum adat Larvul Ngabal (darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit Sakmas. Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa benda warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Bal Sorbay (Bali-Surabaya), yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu dulu berlabuh. Bukti-bukti itu kini dapat ditemui di Desa Tanimbar Kei, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Desa Tanimbar Kei terbagi menjadi dua lokasi, yaitu Ohoratan (kampung atas) dan Tahat (kampung bawah), serta satu dusun, yaitu  Dusun Mun.

Tokoh Umat Hindu Kei. Sumber: Umat Hindu Kei, Maluku Tenggara


Kampung atas berada tepat di atas tebing yang tingginya sekitar 25 m. Kampung atas sangat disucikan dan disakralkan oleh umat Hindu di desa Tanimbar Kei karena memiliki peninggalan seperti tempat-tempat suci dan rumah adat yang masih ada sampai sekarang. Benda-benda peningalan seperti rumah adat, arca (wadah), meriam peningalan zaman Belanda, gelang dari timah, tembaga, mas, dan uang gobang (pis bolong) sangat berperan dalam melaksanakan proses ritual adat. Pada zaman dahulu masyarakat yang bermukim di kampung atas mayoritas merupakan masyarakat dan tokoh adat beragama Hindu. Seiring dengan perjalan waktu, banyak anggota masyarakat beralih ke agama lain. Anggota masyarakat yang beralih ke agama lain berpindah tempat tinggal ke kampung bawah dan dusun Mun. Ini merupakan aturan tradisi mitu (leluhur) yang tidak boleh dilanggar. Karena akan berdampak buruk bagi kesejahteraan keluarga tersebut dan masyarakat desa Tanimbar Kei.

Kampung bawah sudah ada sejak zaman dahulu dan masyarakat yang bermukim di sana pada mulanya juga mayoritas beragama Hindu. Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat yang bermukim di kampung bawah terdiri dari pemeluk agama Islam, Katholik, dan Protestan. Berkembangnya komunitas Katholik dan Protestan tidakdi desa Tanimbar Kei terjadi karena pernikahan campur antara masyarakat Hindu desa Tanimbar Kei dengan penduduk desa lain yang setelah menikah kemudian tingal di desa Tanimbar Kei.  Pada tahun 1969, hasil rapat para tokoh adat menetapkan agar komunitas Non-Hindu dari kampung atas pindah bermukim di kampung bawah dan di dusun Mun. Ini semua bertujuan untuk menghormati para leluhur dan menghormati proses kesakralan ritual tradisi yang sering dilakukan di kampung atas. 

Dusun Mun terletak tidak jauh dari kampung atas dan kampung bawah. Mayoritas masyarakat yang tingal di dusun Mun beragama Islam. Masyarakat yang tinggal di dusun Mun masih memiliki hubungan persaudaraan yang sangat erat dengan umat yang berda di kampung atas dan kampung bawah. Semua masyarakat yang berada di ketiga lokasi ini merupakan keturunan satu nenek moyang dan bersaudara. Awal perpindahan masyarakat ke lokasi baru dusun Mun ini, disebabkan karena sekitar tahun 1967 terjadi kesalapahaman karena masyarakat beragama Kristen membunyikan lonceng gereja pada saat umat Hindu sedang melaksanakan tradisi Tate’e. Maka disitulah awal mulanya masyarakat desa Taimbar Kei membentuk dusun Mun sebagai tempat bermukim komunitas Islam, Katolik dan komunitas Protestan. Ajaran Islam masuk ke desa Tanimbar Kei dibawa oleh Mabal Latar yang berasal dari desa Banda Eli. Sejak diterimanya Mabal Latar, masyarakat dari desa Banda Eli kemudian menetapkan masyarakat Desa Tanimbar Kei sebagai pela (saudara).

Ritual-ritual yang dijalankan dipimpin oleh tokoh-tokoh adat yang telah dipercayakan oleh masyarakat setempat. Ritual sesajen seperti sirih, kapur pinang, tembakau, kopi dan sopi, tidak lepas dari setiap kegiatan ritual karena merupakan suatu ciri khas desa ini dalam menjalankan proses ritual kapada Sang Hyang Widhi dan para leluhur.  

Sejak sekitar tahun 1952 tokoh adat masyarakat Hindu di desa Tanimbar Kei berkeinginan untuk membangun tempat suci Pura. Karena tidak ada orang tang dapat mendorong dan memotifasi masyarakat untuk membantu niat baik tokoh adat maka ini belum bisa diwujudkan. Maka wacana itu berlalu begitu saja karena umat di desa ini belum mengerti tata cara untuk membangun tempat suci pura ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis seprti, "Mengapa umat Hindu yang mayoritas belum mempunyai tempat ibadah, sedangkan umat lain yang minoritas sudah mempunyai sarana tempat ibadah?" Selain merasa terpojokkan oleh pertanyaan-pertanyaan seperti ini, kurangnya pengetahuan dan pemahaman umat tentang sraddha menyebabkan banyak umat Hindu beralih memeluk agama lain.

Menghadapi kenyataan ini, PHDI Kab Maluku Tenggara yang di ketuai oleh M. Yamko berinisiatif mengadakan rapat dengan tokoh-tokoh adat dan masyarakat Hindu di desa Tanimbar Kei. Setelah enam kali rapat, dicapai kesepakatan dan keinginan untuk membangun pura dengan nama Pura Wuar Masbaat.
Pura mulai dibangun pada 27 Agustus 2007 dengan bantuan dana pertama dari Depag RI dan kemudian bantuan dari dari umat sedharma dan dari pemerintah daerah setempat. Sampai sekarang ini, pembangunan pura sudah mencapai 90% selesai.

Diringkas dari:  http://wwwhinduadatkei.blogspot.com/

Panaturan: Kitab Suci Hindu Kaharingan

Agama Hindu sudah berusia ribuan tahun. Diperkirakan telah ada sejak 5 ribu tahun yang lalu. Agama ini mula-mula dianut oleh masyarakat India di sepanjang sungai Sindu. Kemudian ajaranNya menyebar ke seluruh pelosok dunia. Sebagai sebuah agama memiliki pula kitab suci yang bernama Weda. Kitab suci Weda ini terbagi atas dua kelompok besar, yakni kitab Weda, Sruti dan Weda Smerti. Kitab Weda Sruti terbagi lagi atas 3 kelompok, yakni kelompok Kitab Suci Mantra, Brahmana, dan Upanishad. Yang termasuk di dalam kelompok kitab Mantra adalah Kitab Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda dan Atharwa Weda. Keempatnya sering disebut sebagai kitab suci Catur Weda. Kitab Brabmana terbagi lagi atas kelompok kitab Aitareya, Satapatha, Tandya, dan Gopatha. Sedangkan kitab Upanishad terdiri atas 92 buah kitab. Dan kitab Weda Smerti berkembang menjadi kitab suci Wedangga (Siksa, Wyakarana, Chanda, nirukta, Jyotisa, Kalpa), kitab Upaweda (Itihasa, Purana, Ayurweda, Arthasastra, dll) dan kitab Agama (Brahmanisme, Siwaisme, Waisnawaisme, Saktiisme, dll). Kemudian muncul berbagai kitab Nibanda dengan bermacam penafsiran yang ditulis oleh para Mahareshi, Reshi dan cendekiawan Hindu. Kelompok kitab Nibanda ini antara lain adalah kitab Sarasamuscaya, Purwamimamda, Brahmasutra,Wedantasutra, Reinterpretasi dan revitalisasi selalu dilakukan terhadap kitab suci Weda ini.

Oleh sebab itu orang luar sering keliru dalam menilai perkembangan serta pelaksanaan agama Hindu di berbagai negara atau daerah setempat. Di Indonesia muncul istilah Hindu Bali, Hindu Tengger, Hindu Batak, Hindu Kaharingan, Hindu Toraja, dan lain-lainnya. Kemunculannya ini disebabkan pelaksanaan ajaranNya berbeda-beda sesuai dengan daerah (desa), zaman (kala), dan manusia atau lingkungannya (patra). Demikian pula dalam penyebutan Tuhan, mempunyai kekhasan/spesifikasi masing-masing, mempergunakan bahasanva sendiri. Misalnya Ran ying Hatalla (Kaharingan), atau Hyang Widhi (Bali, Jawa) adalah sebutan untuk Tuhan. Dengan cara penyebutan seperti ini mereka lebih merasakan keberadaan Tuhan di dalam hati sanubarinya sendiri dibandingkan dengan menyembah Tuhan berdasarkan bahasa Weda, seperti Brahman misalnya.

Umat Hindu Kaharingan suku Dayak di Kalimantan Tengah memiliki pula buku suci sebagai pegangan di dalam melakukan ajaran agama Hindu. Buku suci penuntunnya, mereka sebut Kitab Suci Panaturan. Di dalam kitab suci ini disebutkan bahwa ajaran ketuhanan mereka menganut paham theisme adwaita. Artinya percaya kepada Tuhan Yang Maha Tunggal, tetapi menampakkan Diri dalam berbagai wujud. Tafsir ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 Kitab Suci Panaturan tentang Tamparan taluh handini (Awal segala kejadian). Pa Se 3 dan 6 tertulis sebagai berikut:
Aku tuh Ran ying Hatalla je paling kuasa, tamparan taluh handiai tuntang kahapus.
Kalawa jetuh iye te kalawa pambelum ije inanggareku kangguranan ara hintan kaharingan (Seloka/Ayat 3).
Aku inilah Ranying Hatalla Yang Maha Kuasa, Awal dan Akhir segala kejadian dan cahaya kemuliaanKu yang terang bersih dan suci adalah Cahaya yang kekal abadi dan Aku Sebut Ia Hintan Kaharingan.
Ranying Hatalla nuntun pahaliai tingang nureng Nyababeneng tanduk. Handung kalawa jet te puna pahalingei biti, ha yak iye mananggare gangguranan arae bagare “Jata Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan Mijen Papan Malambang Bulau Marung Laut Bapantan Hintan” (Seloka/Ayat 6).
Ranying Hatalla memperlihatkan wujud itu dengan sungguh-sungguh bahwa itu adalah bayanganNya sendiri dan Beliau memberikan nama kepada bayangan tersebut “Jata Balawang Bulu Kanaruhan Bapager Hintan Mijen Papan Malambung Bulau Marung Laut Bapantan Hintan”.
Isi dan kitab suci Panaturan tidaklah jauh berbeda dengan isi kitab atau lontar bercorak Hindu yang ada di Bali, atau di tempat lainnya. Terdapat pula di dalamnya petunjuk tentang pelaksanaan tata cara basarah (persembahyangan), melakukan upacara dan upakara Panca Yadnya. Misalnya dalam upacara Manusa Yadnya, Nahunan adalah upacara kelahiran yang terdiri atas upacara Paleteng (hamil 5 bulan), Nyaki Ehet (hamil 7 bulan), Mangkang Kahang Badak (hamil 9 bulan), dan upacara Nahunan pemberian nama anak. Ada pula upacara perkawinan yang mereka sebut Lunuk Hakaja Pating. Demikian pula dengan upacara lainnya dalam Dewa Yadnya, Reshi Yadnya, Pitra Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Seluruh pelaksanaan yadnya tersebut dilakukan berdasarkan atas petunjuk yang ada di dalam kitab suci Panaturan.

Para dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang (STAHN-TP; Tampung = perkumpulan, Penyang = semangat; semangat bersatu) Palangkaraya Kalimantan Tengah telah menyusun mata kuliah Acara Agama Hindu Kaharingan yang dipergunakan sebagai pegangan dasar pada waktu mereka mengajar mata kuliah Acara Agama Hindu di sekolahnya. Ketua STAHN-TP, Drs. Midday, MM, yang semula dosen di Universitas Palangkaraya, sebagai warga suku Dayak Kaharingan, sangat peduli akan masalah peningkatan kualitas akademik warganya, khususnya dalam pendidikan agama Hindu.

Salah seorang alumninya, Mariatie, SAg, seorang wanita Dayak Kaharingan yang energik, sekarang dosen di almamater nya, ditugaskan sebagai koordinator untuk menyusun buku Pedoman Acara Agama Hindu Kaharingan. Buku pedoman ini sebagian besar bersumber dari kitab suci Panaturan, sebuah kitab suci yang telah dimiliki oleh warga Dayak Kaharingan sejak jaman dahulu. Kitab suci inilah yang dipergunakan sebagai penuntun dan pedoman oleh warga suku Dayak Kaharingan oleh para dosen STAHN Tampung Penyang diharapkan tidak hanya warga Dayak Kaharingan, khususnya para mahasiswa, akan lebih memahami tentang tattwa, etika dan upacara serta upakara agama Hindu yang berkembang di suku Dayak Kaharingan, tetapi juga masyarakat lainnya di Nusantara ini, bahkan juga orang asing yang ingin tahu tentang Hindu Kaharingan.

Disalin dengan perubahan penyajian kutipan, dari:  http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=924&Itemid=121

Minggu, 04 Agustus 2013

Kaharingan Bukan Hindu Kaharingan

Ufuk timur masih malu-malu menampakan wajahnya. Di tepi sungai, suara riang anak-anak kecil bermain air bersatu padu dengan suara air yang tersiram ke tubuh-tubuh warga yang sedang mandi di sungai Kahayan, Desa Tumbang Malahui, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Suara ayunan sapu lidi bersentuhan dengan tanah, mengoyak sampah-sampah disekitar halaman bangunan bercorak Dayak Kuno. Orang Dayak menyebut bangunan ini Balai Kaharingan.

Pagi itu, Jumat (22/03/2012) puluhan orang sudah beramai-ramai mendatangi Balai Kaharingan. Puluhan orang ini adalah penganut agama Kaharingan. Sebagian orang diluar dayak menambahkan katra Hindu di depannya. Tapi warga Desa Tumbang Malahui yang pagi itu melaksanakan ibadah pagi, menolak disebut dengan nama Hindu Kaharingan, “Kaharingan bukan Hindu Kaharingan,” tegas Kokon (71) warga Tumbang Malahui penganut agama Kaharingan kepada Citra Nusantara.

Warga Dayak memiliki agama lokal yang dipaksakan pemerintah untuk melebur dengan agama pendatang. Kaharingan merupakan agama asli leluhur warga Dayak yang saat ini disandingkan dengan agama pendatang, Hindu. Seperti halnya dengan agama lokal lainnya di Nusantara, keberadaan mereka nyaris terlupakan, terabaikan, terpinggirkan dan juga mengalami diskriminasi. Bagi warga Dayak, Kaharingan dianggap sebagai Agama Helu (agama air kehidupan), Agama Huran (agama kuno), atau Agama Tato-hiang (agama nenek-moyang).

Upacara Pernikahan Umat Kaharingan Dayak Ngaju. Sumber: Dayak of Borneo

Kaharingan berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno) yang akar katanya ialah ’’Haring’’. Haring berarti ada dan tumbuh atau hidup dari dalam diri sendiri, yang dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan. Batang Garing sangat terkenal di kalangan warga Dayak. Soal batang garing bisa ditemui oleh warga luar Dayak dengan melihat lukisan yang sangat banyak terjual jika mendatangi bumi tambun bungai ini.Dalam lukisan batang garing terlihat tombak dan menunjuk tegak ke atas. Bagian bawah pohon yang ditandai oleh adanya guci berisi air suci yang melambangkan Jata atau dunia bawah. Antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling membutuhkan.

Dari lukisan batang garing ini, warga Dayak diingatkan dunia yang ditempati saat ini hanya sebagai tempat tinggal sementara. Agama Kaharingan mempercayai tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Filosofisnya orang dayak diingatkan agar tidak terlalu mendewakan sesuatu yang bersifat dunaiwi. Kaharingan pun memiliki kitab suci yang disebut dengan nama Panaturan, juga ada kidung-kidung yang berisi puji-pujian terhadap Ranying Hattala (Tuhan Yang Maha Esa) di dalam kitab Handayu. Tidak hanya kitab suci, Kaharingan pun memiliki hari besar untuk umatnya, hari suci Tiwah. Pada hari suci itu, orang Kaharingan melakukan ritual kematian tahap akhir. Ada juga hari suci Basarah.

Ibadah rutin Kaharingan yang dilakukan setiap Kamis atau malam Jumat. Ada juga seperangkat aturan dalam ibadah Kaharingan, seperti Tawar, petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras dan buku Penyumpahan/Pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan. Statmen dari banyak orang termasuk pihak pemerintah yang mendiskriminasi Kaharingan sebagai bentuk adat/ritual yang sesat dan tidak bertuhan bisa ditampik. Mereka memiliki Tuhan yang disembah, kitab suci, hari besar keagamaan, prosesi ritual dan tempat ibadah.

Arton S Dohong, Ketua Majelis Agama Kaharingan yang juga menjabat Wakil Bupati Gunung Mas, Palangka Raya mengatakan, “Masyarakat yang beragama Kaharingan dari sisi perkembangan yang rill sangat memperihatinkan. Kemampuan daya upaya sumber daya orang Kaharingan sangat terbatas. Keterbatasan ini yang menjadi kendala terberat sehingga kita tidak bisa berkembang dengan baik,” jelas Arton.
Arton menambahkan, pemerintah pusat tidak memiliki perhatian sama sekali kepada penganut agama Kaharingan. Pemerintah pusat hanya mengembalikan soal memperihatinkan kondisi agama Kaharingan kepada penganut agama Kaharingan, “Pernyataan pemerintah ini kan sama saja membiarkan. Mau hancur ya hancur, mau mati ya mati. Ini seperti pernyataan ‘bola liar’ kepada penganut agama Kaharingan,” tambah Arton.
Pemerintah pusat kata Arton, harus membuka mata dan hati untuk perjuangan agama Kaharingan agar diakui layakanya agama-agama yang sekarang diakui oleh pemerintah. Orang Kaharingan adalah orang yang patuh dan taat, tetapi lanjut Arton jika hak penganut Kaharingan diabaikan haknya ini akan menjadi ‘blunder’ pemerintah pusat kepada agama Kaharingan. Orang Dayak Kaharingan memiliki dasar filosofis yang menjadi acuan dalam kehidupan mereka, kata Arton. Sehingga konflik antar umat beragama lain tidak pernah terjadi. Orang Dayak Kaharingan yang asli selalu menekankan hidup beradab, hidup kebersamaan dengan sesama, dan hidup saling menghormati.

“Jika pun terjadi konflik yang menyebut Kaharingan terlibat, itu dilakukan oleh orang-orang diluar Kaharingan yang mengetahui bahwa Kaharingan tidak mempunyai tradisi untuk membuat konflik. Kaharingan lalu digunakan, tujuannya untuk mendeskreditkan agama Kaharingan. Kaharingan tetap berpeguh teguh pada ajaran dan nilai filosofis untuk hidup rukun antar sesama,” tutup Arton.

Disalin sesuai dengan aslinya dari:  http://dayakofborneo.blogspot.com/2013/06/kaharingan-bukan-hindu-kaharingan.html?spref=fb

Dirjen Hindu: Tak Ada Hindu Kaharingan

Upacara Pitra Yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu Kaharingan. Sumber: One Religion that Developed in Borneo
Jakarta (ANTARA News) - Dirjen Bimas Hindu, Prof. Dr. IBG Yudha Triguna MS menegaskan, di wilayah Indonesia tak di kenal adanya agama Hindu Bali, Hindu Jawa atau Hindu Kaharingan karena yang ada hanya satu agama Hindu.

Penegasan Dirjen Bimas Hindu dilontarkan di Jakarta, Kamis, saat menyaksikan ceramah umum Mufti Besar Suriah, Syekh Dr. Ahmad Badruddin Hassoun di Gedung Depag, MH Thamrin.

Ia mengatakan, Hindu yang dianaut suku Bali Bugis, Jawa dan Kaharingan memang ada di Indonesia tetapi bukan Hindu Kaharingan atau Hindu lain berdasarkan etnis tertentu.

Jadi, lanjut dia, bukan karena ada etnis setempat lantas dikenal adanya Hindu Jawa dan seterusnya.

Ia mengakui belakangan ini ada kecenderungan kelompok tertentu memaksakan kehendak sendiri untuk memasukkan agama Hindu sesuai dengan nama etnis tertentu. Mereka ingin memecah umat Hindu berdasarkan etnis dimana Hindu dianut di wilayah daerah tertentu.

Menurut Tri, tradisi ritual agama Hindu boleh ikut tradisi setempat. Sebab, Hindu punya prinsip Desa Kala Patra (tempat, waktu dan keadaan). Namun jika ada etnis tertentu ingin adanya agama Hindu Kaharingan ataupun Hindu lainnya, tentu hal itu menyalahi ketentuan.

"Itu di luar kewenangan Dirjen Bimas Hindu," katanya sambil menambahkan bahwa hal itu tak ada di nomenklatur.

Ia menjelaskan, adanya otonomi daerah telah dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menyebut bahwa agama Hindu lebih dari satu, ada Hindu Bali, Hindu Kaharingan dan Hindu Jawa yang sesungguhnya telah menyalahi ketentuan.

Karena itu, ia berharap adanya pandangan Hindu lebih dari satu hendaknya dijauhi. Hal ini terjadi disebabkan kurangnya sosialisasi bersamaan dengan munculnya semangat otonomi daerah. Penonjolan semangat daerah berlebihan.

Dirjen Bimas Hindu punya kewajiban membina umat Hindu, apa pun etnisnya. Namun Bimas Hindu tak punya kewajiban membina etnis tertentu jika dia bukan umat Hindu.


Disadur sesuai dengan aslinya dari:  http://www.antaranews.com/berita/157950/dirjen-hindu-tak-ada-hindu-kaharingan

Sabtu, 03 Agustus 2013

Bertemu Mbah Mujioto yang Mahir Huruf Dewanagari

Mbah Muji, demikian panggilan yang sering dilontarkan umat Hindu yang berada di sekitar Kecamatan Tegal Delimo, Banyuwangi ketika memanggil tokoh Hindu yang satu ini. Mbah Muji yang bernama lengkap Mujioto ini adalah pemangku sekaligus tokoh yang disegani oleh umat Hindu di sekitar Tegal Delimo, demikian pula umat yang berada di sekitar Banyuwangi. Ditemui di kediamannya di Desa Kadungsari, Dusun Persen, Kecamatan Tegal Delimo, tokoh ini begitu bersemangat menuturkan tentang perjalanan beliau dengan beberapa tokoh lainnya di dalam membangkitkan semangat umat Hindu di sekitar Kecamatan Tegal Delimo. Tokoh ini pula salah satu dari sekian tokoh penggagas yang berhasil mendirikan Pura Giri Selaka yang berlokasi di Alas Purwo.

Mbah Mujioto (kanan). Sumber: Majalah Hindu Raditya

Senyum yang selalu menghias bibir, beliau dengan pasih menceritakan bahwa pendirian Pura Giri Selaka penuh dengan perjuangan dan semangat yang tidak pernah pudar. Yang mana cikal bakal pendirian pura ini erat sekali kaitannya dengan peninggalan situs dekat pura yang bernama Situs Kawitan. Situs Kawitan diduga oleh Mbah Muji demikian pula umat Hindu di sekitar Tegal Delimo sebagai tempat peninggalan Hindu.

Batu Bata Keramat
Lebih jauh Mbah Muji menuturkan, bahwa pada tahun 1967 penduduk desa yang melakukan pembabatan hutan tidak sengaja menemukan gundukan tanah. Dalam gundukan tanah tersebut ternyata terdapat bongkahan batu bata besar yang masih tertumpuk. Persis bentuknya seperti gapura kecil. Lalu, masyarakat desa sekitar membawa batu bata tersebut pulang ke rumah masing-masing hendak bermaksud dijadikan tungku dapur dan alas rumah. Rupanya selang beberapa hari masyarakat yang mengambil batu bata tersebut terkena musibah, yakni banyak warga yang menderita sakit. Semenjak itulah masyarakat menyimpulkan, bahwa batu bata ini bukan batu bata biasa, lalu bongkahan batu bata tersebut dikembalikan ke tempat semula.
Bongkahan-bongkahan batu bata tersebut menurut Mbah Muji maupun masyarakat Hindu sekitar Tegal Delimo ada kaitanya dengan perjalanan Rsi Markendya menuju Bali. Demikian pula ada keyakinan lain, bahwa gundukan batu bata tersebut dahulunya merupakan tempat pertapaan Mpu Baradah. Meski belum ada catatan berupa prasasti yang menguatkan atau membuktikan hal itu, namun secara pasti dan atas keyakinan umat Hindu di sekitar Tegal delimo, bahwasannya situs tersebut sebagai pemujaan Mpu Beradah. Untuk selanjutnya, situs tersebut diayakini sebagai tempat yang sangat suci, sehingga dekat situs itu kemudian didirikan Pura Giri Selaka.

Mbah Muji juga menceritakan, bahwa di sekitar situs Kawitan Alas Purwo secara gaib terdapat bangunan berupa gapura-gapura agung yang menyerupai bangunan gapura kerajaan Majapahit. Hal itu semua orang dapat melihat, jika orang-orang mau melakukan semacam brata atau tirakat yang tidak main-main. Tirakat yang dilakukan, yaitu dengan melek selama tiga hari tanpa makan minum, dan yang terpenting adalah selama brata tidak diperbolehkan sedikitpun ada perasaan marah atau rasa benci terhadap apa pun. Jika hal itu bisa dijalankan dalam hitungan detik seseorang akan dapat melihat penampakan bangunan gapura-gapura gaib yang banyak pula prajurit dan orang-orang yang berlalu lalang. Pengalaman itu pun Mbah Muji alami sendiri. “Oleh karenanya, seluruh umat Hindu hendaknya mengunjungi pura dan situs tersebut sebagai pemujaan terhadap leluhur atau kawitan,” imbuhnya.

Ahli Huruf Devanagari
Selain sebagai pemrakasa berdirinya Pura Giri Selaka di Alas Purwo, tokoh yang sepuh ini ternyata ahli dalam membaca huruf Devanagari dan bahasa Sanskerta. Keahliannya itu didapatkannya secara otodidak. Berlatar belakang pada kecintaannya pada Hindu dan literatur Veda, beliau tidak henti-hentinya mempelajari Veda, khususnya bahasa Sanskerta dengan huruf Devanagarinya. Berdasarkan pada kecintaanya itu pula, Mbah Muji banyak mengoleksi buku literatur Veda yang dengan tekun dipelajari. Yang mengherankan, meski usianya yang sudah sepuh, namun Mbah Muji dapat membaca sekaligus melantunkan mantram Veda yang memakai huruf Devanegari dengan fasih dan chanda (irama) yang tepat. Tidak berhenti sampai di sana, yang menjadi luar biasa adalah beliau dapat menyalin bait-bait mantram Veda dengan huruf Devanagari, bahasa Sanskerta dan menerjemahkannya dengan huruf latin. Sembari menulis, Mbah Muji berkata, “Semua ini Mbah lakukan supaya nanti ada warisan intelektual bagi anak-cucu dan generasi Hindu selanjutnya,” tuturnya.

Dengan semangat yang berapi-api, Mbah Muji mengharapkan ke depannya generasi muda tidak takut belajar Veda. Sambil mengutip salah satu dalam sloka Veda, ia mengatakan, bahwa Veda sangat takut sama orang yang bodoh. Cetusan pemikiran beliau yang membuat saya berdecak kagum adalah ketika dengan tegas beliau berujar “Jika kita ingin Hindu dapat bangkit seperti yang tertuang dalam ramalan Sabda Palon, generasi muda hendaknya menekuni Veda mulai dari huruf, bahasa, dan ajarannya. Yang sudah tua biarlah, toh juga akan mati. Sing (yang) penting yang muda harus berani menenggelamkan dirinya dalam samudra pengetahuan Veda. Sebab semua sudah terdapat dalam Veda, dan tidak hanya dipelajari saja penting pula lakune (perilakunya) Veda”. 


Dikutip sesuai dengan aslinya dari: http://majalahhinduraditya.blogspot.com/2012/11/bertemu-mbah-mujioto-yang-mahir-huruf.html

Parisada Berubah dari Majelis Menjadi Ormas Perkumpulan

Tanpa diketahui Sabha Pandita dan Sabha Walaka, Pengurus Harian PHDI Pusat mendaftarkan Parisada Hindu Dharma Indonesia sebagai ormas Perkumpulan di Kementrian Hukum dan HAM. Parisada kini tak lagi berupa majelis seperti MUI, KWI, PGI atau Walubi, namun seperti Ansor atau Front Pembela Islam.

Perubahan status Parisada Hindu Dharma Indonesia dari majelis ke organisasi masyarakat -- dalam hal ini yang dipakai istilah perkumpulan -- diketahui dalam Pesamuhan Sabha Pandita yang mendahului Pesamuhan Parisada di Swiss Belhotel Palangka Raya, 22 Februari lalu. Adalah Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda, wakil dharma adyaksa, yang menanyakan hal itu. Perubahan itu tercantum dalam draf keputusan pesamuhan yang merekomendasikan penegerian UNHI Denpasar.

Sebelum Dharma Adyaksa Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa menjawab, Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda menambahkan bahwa perubahan ini merupakan sejarah baru dalam perjalanan Parisada yang dilahirkan lewat Piagam Campuan Ubud 1959. Pada saat kelahirannya Parisada berbentuk Majelis Umat, seperti halnya Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konperensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) dan sejenisnya. Majelis umat tidak mempunyai anggota terdaftar yang dinyatakan dengan kartu anggota. Dengan didaftarkannya sebagai ormas Perkumpulan, maka Parisada harus memiliki anggota seperti halnya perkumpulan yang lain. “Jadi, ini sama dengan ormas yang berupa partai politik atau ormas yang serupa perkumpulan lain seperti Front Pembela Islam dan sejenisnya. Apakah dalam hal ini Dharma Adyaksa dan Sabha Pandita tahu?” tanya Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda.

Ternyata Ida Pedanda Sebali menyatakan tidak tahu. Begitu pula Ketua Sabha Walaka Putu Wirata Dwikora tak tahu soal perubahan itu. “Nanti kita minta klarifikasi dari Pengurus Harian,” jawab Dharma Adyaksa.

Namun, selama berlangsungnya Pesamuhan Agung Parisada di Palangka Raya itu, hal ini tak pernah dijelaskan oleh Pengurus Harian. Ternyata peserta pesamuhan juga tak banyak yang mempersoalkan karena tak tahu apa resiko dari perubahan ini. Apalagi jalannya pesamuan tidak mulus dan tak sempat peserta memikirkan perubahan itu.

Ternyata perubahan itu benar adanya. Hal ini menjadi jelas karena ada dalam laporan yang dibacakan oleh Ketua Umum PHDI Pusat Mayjen TNI (Purn) S. N. Suwisma. Perubahan dari majelis menjadi ormas dengan mengambil kelompok perkumpulan itu dilakukan oleh Pengurus Harian PHDI Pusat hasil Mahasabha di Hotel Bali Beach Sanur bulan Oktober 2011. Pengurus Harian ini cepat bergerak dengan mendaftarkan Parisada menjadi ormas (organisasi masyarakat), menghilangkan identitas majelisnya. Tidak disebutkan kapan permohonan itu diajukan, namun yang jelas pemerintah cepat menyetujui dengan keluarnya surat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-101.AH.01707 Tahun 2012 pada tanggal 8 Juni 2012. Pengesahan itu langsung diumumkan pada Tambahan Berita Negara tanggal 4/12-2012 No. 97-53/Perk/2012.

Suwisma dalam laporan itu menyebutkan, alasan perubahan status dari Majelis ke ormas Perkumpulan ini agar Parisada berbadan hukum sehingga dalam kedudukannya sebagai subyek hukum dapat mendirikan yayasan.

Rupanya, perubahan status ini untuk mengejar target penegerian UNHI Denpasar, yang melanggar ketentuan Mahasabha Parisada yang tidak setuju ada penegerian UNHI karena yang disebut perguruan tinggi Hindu itu adalah IHDN Denpasar saat ini. Justru seharusnya IHDN Denpasar yang ditingkatkan statusnya menjadi Universitas Hindu Negeri seperti halnya IAIN (Institut Agama Islam Negeri) di seluruh Indonesia sudah ditingkatkan statusnya menjadi Universitas Islam Indonesia.

Entah kenapa UNHI ngotot minta dinegerikan dan Parisada -- dalam hal ini Pengurus Harian -- memberikan lampu hijau bahkan ikut memperjuangkan. Perjuangan itu pun dengan keblablasan dengan mengubah format Parisada dari Majelis Agama menjadi Ormas Agama dengan sebutan Perkumpulan.

Nah, kembali menyimak laporan Ketua Umum Parisada yang disampaikan pada Pesamuhan Agung di Palangka Raya itu, dengan bentuk Parisada sebagai badan hukum, kemudian didirikan Yayasan Pendidikan Widya Kerti. Parisada menyebutkan, kepengurusan Yayasan Pendidikan Widya Kerti ini untuk pertamakalinya ditetapkan oleh Parisada Pusat dengan menempatkan Ketua Umum secara exs-officio menjadi Ketua Dewan Pembina. Gerak cepat pun dilakukan oleh ormas Perkumpulan Parisada ini dengan mendaftarkan yayasan itu ke pemerintah, lalu keluar surat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Keputusan Nomor AHU-5449. AH.01.04 Tahun 2012 tanggal 4 September 2012. Pengesahan ini dimuat pada Tambahan Berita Negara RI Tanggal 4/12-2012 No. 97-146/AD/2012. Ketua Yayasan dijabat oleh Prof. Doktor Ida Bagus Gunadha, staf pengajar di UNHI Denpasar.

Tentu saja ini aneh dan rekayasa. Bagaimana mungkin Yayasan Widya Kerti dinyatakan baru berdiri “untuk pertamakalinya” pada 2012, padahal yayasan itu sudah mendirikan UNHI sejak lama. Tentu aneh bin ajaib jika UNHI sudah puluhan tahun ada tetapi yayasan yang mendirikannya baru ada tahun 2012.

Selain keanehan itu, Yayasan Widya Kerti yang memang dibentuk oleh Parisada, Ketua Dewan Pembinanya selalu Dharma Adyaksa sebagai ex-officio, karena Dharma Adyaksa adalah ketua Sabha Pandita sementara dalam organ Parisada sebagai Majelis Umat, Sabha Pandita punya kedudukan tertinggi. Dalam Piagam Campuan disebutkan, yang bernama Parisada itu adalah kumpulan pada pandita, pengurus harian hanya pelaksana.

Perubahan status dari Majelis ke Perkumpulan ini serta merta membuat Pesamuhan Agung Parisada di Palangka Raya penuh dengan “nuansa ormas”. Ketika rombongan pendeta datang dari Bali, di depan loby hotel disambut dengan poster: “Yang Tak Setuju UNHI Menjadi Negeri adalah Pengkhianat”.

Sidang-sidang pun penuh dengan gejolak. Berkali-kali ada pimpinan sidang yang menyatakan walk-out, tapi kemudian dibujuk-bujuk lagi untuk kembali. Bahkan nyaris terjadi adu jotos. Beberapa anggota Sabha Pandita meninggalkan sidang karena merasa malu dengan suasana seperti itu. “Ini memang resiko menjadi ormas, meskipun itu ormas keagamaan. Lihat saja HMI, FPI, Ansor dan lainnya, kongresnya pasti juga ribut. Ini biasa. Sebaiknya Parisada dikembalikan menjadi Manjelis,” kata Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda.

Pada akhirnya, hasil pesamuhan tetap belum meloloskan UNHI menjadi negeri, setelah Sabha Pandita memberi arahan. Perlu dibawa ke Mahasabha.


Disadur sesuai dengan aslinya dari: http://majalahhinduraditya.blogspot.com/2013/03/parisada-berubah-menjadi-ormas.html

Tumpek Kandang: Antara Konsep dan Realitas


Alam semesta dan semua isinya merupakan perwujudan Ida Sang Hyang Widhi. Umat Hindu secara turun temurun sudah diajarkan nilai-nilai untuk menjaga keharmonisan dan keselarasan lingkungan serta alam semesta, antara lain dinyatakan dalam bait Puja Tri Sandya: Sarvaprani hitankarah (hendaknya semua makhluk hidup sejahtera), yang mendoakan kesejahteraan dan keseimbangan jagat raya dan semua isinya.

Namun dalam beberapa dekade terakhir, isu-isu lingkungan selalu menjadi pembicaraan hangat di seluruh dunia, sepert isu pemanasan global (global warming) yang berakibat pada perubahan iklim (climate change), kepunahan berbagai spesies flora dan fauna, penebangan hutan ilegal, pencemaran wilayah perairan, kerusakan ozon dan polusi udara. Pada tahun 2006, PBB mengeluarkan laporan berjudul Livestock’s Long Shadow, dilanjutkan pada tahun 2008 dengan judul laporan Kick the Habit, pada kedua laporan itu tersaji fakta perusakan lingkungan besar-besaran yang dilakukan oleh industri peternakan di dunia.

Dalam berbagai penelitian, diperkirakan kegiatan peternakan skala besar untuk konsumsi manusia berpotensi sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca yang melebihi emisi kendaraan bermotor di dunia, setidaknya mencapai 51 persen. Hal ini diperburuk dengan pola hujan yang tidak menentu, menyebabkan sistem persediaan air (water supply) terganggu. Semua permasalahan tersebut berdampak langsung bagi manusia di bumi.

Pada tataran individu, kesehatan manusia semakin terancam dengan meluasnya penyakit berbahaya. Kita merasakan bahwa cuaca semakin panas, terutama di perkotaan. Obesitas dan kelaparan, serta perpindahan penyakit dari hewan ke manusia menjadi isu hangat dalam dua dekade belakangan. Lebih dari 65 persen penyakit menular manusia diketahui ditularkan melalui hewan, antara lain flu burung dan flu babi. Perubahan iklim merupakan fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Dampaknya pun bersifat global, sehingga memerlukan penanganan yang holistik dan menjadi tanggung jawab bersama.

Periode 1940 hingga sekarang, tercatat lebih dari 60 perjanjian internasional yang terkait dengan lingkungan hidup. Terakhir, pada tahun 2007 diselenggarakan konferensi PBB tentang perubahan iklim di Bali, yang hasilnya disebut Bali Road Map. Agenda utama Bali Road Map berfokus pada aksi-aksi untuk melakukan kegiatan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim (misalnya banjir dan kekeringan), cara mengurangi emisi GRK (Gas Rumah Kaca), cara mengembangkan dan memanfaatkan teknologi yang bersahabat dengan iklim serta pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi.

Upaya-upaya untuk melestarikan lingkungan di Bali sudah dilaksanakan sejak lama, melalui kearifan lokal yang dimiliki masyarakatnya. Salah satu kearifan lokal tersebut adalah Upacara Tumpek Kandang, sering juga disebut Tumpek Uye, upacara ini diselenggarakan pada Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Uye yang jatuh setiap 210 hari sekali.

Selain hari Tumpek Kandang, dalam hari-hari raya Hindu di Bali terdapat juga lima jenis Tumpek yang lain, yaitu Tumpek Bubuh atau Tumpek Wariga, yakni upacara selamatan untuk tumbuh-tumbuhan, Tumpek Landep, selamatan untuk senjata, Tumpek Kuningan, selamatan untuk gamelan, Tumpek Wayang, selamatan untuk wayang dan Tumpek Krulut, selamatan untuk unggas. Umumnya upacara selamatan untuk unggas ini digabungkan pada hari Tumpak Kandang/Uye ini.

Selanjutnya, menurut Prof. DR. I Made Titib Ph.D, hari Tumpek Krulut sama dengan hari Rakshabhanda, Raksha Bandhan atau Rakhi, yakni hari kasih sayang di India. Rakshabhanda adalah acara khusus untuk merayakan ikatan emosional dengan mengikatkan benang suci di pergelangan tangan, sebagai simbol kasih sayang, perlindungan dan doa-doa. Inti dari perayaan ini adalah kasih sayang kepada semua makhkluk, dan dimaknai sama sebagai hari Valentine di Eropa.

Dalam Lontar Sundarigama disebutkan, pada Hari Tumpek Kandang, umat Hindu memuja kebesaran Tuhan sebagai Siva atau Pasupati, terutama dalam manifestasi beliau sebagai Rare Angon (Sang Hyang Rudra), agar selalu memberikan anugrah perlindungan dan keselamatan bagi semua makhluk hidup, terutama binatang ternak dan hewan peliharaan, karena hewan-hewan tersebut telah berjasa dalam menompang kehidupan manusia di dunia. Selain itu, makna lain yang terkandung dalam upacara ini adalah upaya untuk menyucikan jiwa (roh) dari hewan-hewan peliharaan/ternak. Diharapkan, di kehidupan selanjutnya, para binatang tersebut dapat naik ke derajat yang lebih tinggi, dan bisa terlahir sebagai manusia. Sekarang, terkait upacara Tumpek Kandang, bagaimana implementasi nyata kita untuk membantu menyelamatkan lingkungan dan menghargai semua mahkluk?

Saat ini banyak orang memilih menjadi seorang vegetarian, sebagai sebuah alternatif hidup berkualitas di era modern. Di Indonesia masyarakat masih beranggapan, bahwa orang menjadi vegetarian adalah karena larangan agama atau aliran kepercayaan (sampradaya) tertentu dan belum menjadi sebuah gaya hidup. Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa dulu menjadi seorang vegetarian adalah karena mengikuti ajaran agama, sebagaimana dalam agama Hindu diajarkan Ahimsa, yang berarti tidak membunuh dan menyakiti, dan dalam agama Buddha mengenai dharma, cinta kasih dan kasih sayang terhadap semua makhluk. Namun jika kita maknai lebih mendalam, sebenarnya vegetarian adalah gaya hidup yang universal dan tidak terkait dengan agama tertentu.

Menjadi vegetarian bukan berarti orang tersebut tidak suka atau tidak mampu membeli daging, tentu ada alasan lain yang melatarbelakanginya. Seiring dengan kemajuan jaman, motivasi orang untuk menjadi vegetarian pun mulai berkembang, baik karena alasan medis, gaya hidup sehat, bahkan di sejumlah negara maju bergeser menjadi demi lingkungan dan etika. Demi lingkungan, karena untuk menghasilkan daging dalam skala besar diperlukan energi dan sumber daya yang besar pula, yang berimbas pada kerusakan lingkungan, dan di negara-negara maju hal tersebut menjadi isu penting. Sedangkan etika berhubungan dengan perilaku manusia yang keji, kejam dan semena-mena terhadap binatang. Selama manusia belum bisa menciptakan kehidupan, maka selama itu pula ia tidak berhak mengambil hak hidup (membunuh) mahkluk lain. Bagi kaum vegetarian, pembunuhan terhadap binatang sangat dihindari.

You are what you eat, atau Anda adalah apa yang Anda makan, merupakan ungkapan yang sangat populer di dunia Barat. Perilaku yang kejam dalam proses memperoleh, memperoses dan mengkonsumsi daging, akan memberikan dampak negatif bagi orang yang melakukannya. Para penikmat daging biasanya cendrung agresif, cepat marah, mudah stress dan lebih sering sakit. Sebaliknya kaum vegetarian cenderung lebih mampu menjaga kestabilan emosinya dan lebih jarang sakit. Untuk itu, gaya hidup vegetarian akan memberikan dampak positif bagi fisik-psikis manusia dan lingkungan hidup sekitarnya.

Perayaan Tumpek Kandang adalah upaya umat Hindu untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan berbagai hewan peliharaannya, baik unggas, babi, kambing, sapi dan sebagainya. Khusus sapi, dalam kitab suci Veda, disebutkan mengenai keangungan sapi dalam agama Hindu, bahwa sapi merupakan hewan yang sangat suci dan sangat mulia. Sapi diibaratkan sebagai seorang ibu yang memberi makan, memberi susu dan menyayangi anak-anaknya. Di jaman dahulu, masyarakat agraris menggunakan sapi dan kerbau untuk membantu proses pertanian dan transportasi, susunya diolah menjadi susu segar, ghe, yogurt, keju dan lain-lain, sedangkan kotorannya dipakai sebagai pupuk dan sarana penting upacara Agnihotra. Sedemikian besar jasa sapi bagi manusia, sehingga agama Hindu dengan jelas melarang umatnya untuk membunuh dan mengkonsumsi daging sapi, apalagi di luar kepentingan yadnya atau upacara.

Ironisnya, pembantaian sapi besar-besaran justru terjadi di Bali. Bukan hanya umat lain dan para wisatawan asing saja yang mengkonsumsi sapi, namun sekarang banyak umat Hindu yang tidak malu-malu lagi untuk menyantap olahan sapi, mereka sangat menggemari makanan-makanan berbahan dasar sapi, seperti bakso sapi, lawar sapi (godel), sate sapi, soto sapi, bahkan kuliner asing seperti steik sapi selalu ramai pengunjung. Dan yang paling disayangkan, di Bali telah dibangun Rumah Potong Hewan (Sapi) bertaraf internasional yang berlokasi di Gianyar, RPH ini menyedot anggaran pemerintah pusat dan pemda lebih dari 16 milyar. Jumlah yang sangat fantastis.
Sangat ironis memang, ajaran Hindu yang sangat memuliakan sapi, dimana sapi sebagai hewan suci dan lambang kendaraan Dewa Siwa justru dibantai besar-besaran di Bali. Upacara Tumpek Kandang yang seharusnya menjadi wujud penghargaan kita kepada para binatang terkadang hanya menjadi seremonial semu semata. Hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai moral agama di masyarakat telah dikalahkan oleh kilauan materi. Seharusnya kita bisa meneladani para sulinggih/pendeta dan pemangku yang memang sudah memahami ajaran Hindu dengan baik, dengan tidak mengkonsumsi daging, terutama daging sapi.

Sebaliknya, daripada membuat Rumah Potong Hewan dengan biaya mahal, alangkah baik dan mulianya jika di Bali justru dibangun peternakan susu sapi terbesar, dengan melibatkan serta memberdayakan masyarakat lokal. Untuk memperoleh susu berkualitas baik, maka sapi-sapi tersebut harus diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang. Di Bali, pangsa pasar produk susu dan hasil olahannya masih terbentang luas, kebutuhan produk olahan susu sampai saat ini masih mengandalkan pasokan dari Jawa dan luar negeri. Agar berhasil, tentu saja rencana ini harus ditopang oleh manajemen serta pemasaran yang baik dan professional, dengan SDM-SDM yang berkualitas Jika ini bisa diwujudkan, maka taraf hidup masyarakat bisa terbantu, tanpa harus melakukan pembantaian terhadap sesama mahkluk ciptaan Tuhan.


Penulis: Nararya Narottama
Disadur sesuai dengan aslinya dari tulisan: http://majalahhinduraditya.blogspot.com/2013/06/tumpek-kandang-antara-konsep-dan.html

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites