Sabtu, 03 Agustus 2013

Tumpek Kandang: Antara Konsep dan Realitas


Alam semesta dan semua isinya merupakan perwujudan Ida Sang Hyang Widhi. Umat Hindu secara turun temurun sudah diajarkan nilai-nilai untuk menjaga keharmonisan dan keselarasan lingkungan serta alam semesta, antara lain dinyatakan dalam bait Puja Tri Sandya: Sarvaprani hitankarah (hendaknya semua makhluk hidup sejahtera), yang mendoakan kesejahteraan dan keseimbangan jagat raya dan semua isinya.

Namun dalam beberapa dekade terakhir, isu-isu lingkungan selalu menjadi pembicaraan hangat di seluruh dunia, sepert isu pemanasan global (global warming) yang berakibat pada perubahan iklim (climate change), kepunahan berbagai spesies flora dan fauna, penebangan hutan ilegal, pencemaran wilayah perairan, kerusakan ozon dan polusi udara. Pada tahun 2006, PBB mengeluarkan laporan berjudul Livestock’s Long Shadow, dilanjutkan pada tahun 2008 dengan judul laporan Kick the Habit, pada kedua laporan itu tersaji fakta perusakan lingkungan besar-besaran yang dilakukan oleh industri peternakan di dunia.

Dalam berbagai penelitian, diperkirakan kegiatan peternakan skala besar untuk konsumsi manusia berpotensi sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca yang melebihi emisi kendaraan bermotor di dunia, setidaknya mencapai 51 persen. Hal ini diperburuk dengan pola hujan yang tidak menentu, menyebabkan sistem persediaan air (water supply) terganggu. Semua permasalahan tersebut berdampak langsung bagi manusia di bumi.

Pada tataran individu, kesehatan manusia semakin terancam dengan meluasnya penyakit berbahaya. Kita merasakan bahwa cuaca semakin panas, terutama di perkotaan. Obesitas dan kelaparan, serta perpindahan penyakit dari hewan ke manusia menjadi isu hangat dalam dua dekade belakangan. Lebih dari 65 persen penyakit menular manusia diketahui ditularkan melalui hewan, antara lain flu burung dan flu babi. Perubahan iklim merupakan fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Dampaknya pun bersifat global, sehingga memerlukan penanganan yang holistik dan menjadi tanggung jawab bersama.

Periode 1940 hingga sekarang, tercatat lebih dari 60 perjanjian internasional yang terkait dengan lingkungan hidup. Terakhir, pada tahun 2007 diselenggarakan konferensi PBB tentang perubahan iklim di Bali, yang hasilnya disebut Bali Road Map. Agenda utama Bali Road Map berfokus pada aksi-aksi untuk melakukan kegiatan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim (misalnya banjir dan kekeringan), cara mengurangi emisi GRK (Gas Rumah Kaca), cara mengembangkan dan memanfaatkan teknologi yang bersahabat dengan iklim serta pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi.

Upaya-upaya untuk melestarikan lingkungan di Bali sudah dilaksanakan sejak lama, melalui kearifan lokal yang dimiliki masyarakatnya. Salah satu kearifan lokal tersebut adalah Upacara Tumpek Kandang, sering juga disebut Tumpek Uye, upacara ini diselenggarakan pada Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Uye yang jatuh setiap 210 hari sekali.

Selain hari Tumpek Kandang, dalam hari-hari raya Hindu di Bali terdapat juga lima jenis Tumpek yang lain, yaitu Tumpek Bubuh atau Tumpek Wariga, yakni upacara selamatan untuk tumbuh-tumbuhan, Tumpek Landep, selamatan untuk senjata, Tumpek Kuningan, selamatan untuk gamelan, Tumpek Wayang, selamatan untuk wayang dan Tumpek Krulut, selamatan untuk unggas. Umumnya upacara selamatan untuk unggas ini digabungkan pada hari Tumpak Kandang/Uye ini.

Selanjutnya, menurut Prof. DR. I Made Titib Ph.D, hari Tumpek Krulut sama dengan hari Rakshabhanda, Raksha Bandhan atau Rakhi, yakni hari kasih sayang di India. Rakshabhanda adalah acara khusus untuk merayakan ikatan emosional dengan mengikatkan benang suci di pergelangan tangan, sebagai simbol kasih sayang, perlindungan dan doa-doa. Inti dari perayaan ini adalah kasih sayang kepada semua makhkluk, dan dimaknai sama sebagai hari Valentine di Eropa.

Dalam Lontar Sundarigama disebutkan, pada Hari Tumpek Kandang, umat Hindu memuja kebesaran Tuhan sebagai Siva atau Pasupati, terutama dalam manifestasi beliau sebagai Rare Angon (Sang Hyang Rudra), agar selalu memberikan anugrah perlindungan dan keselamatan bagi semua makhluk hidup, terutama binatang ternak dan hewan peliharaan, karena hewan-hewan tersebut telah berjasa dalam menompang kehidupan manusia di dunia. Selain itu, makna lain yang terkandung dalam upacara ini adalah upaya untuk menyucikan jiwa (roh) dari hewan-hewan peliharaan/ternak. Diharapkan, di kehidupan selanjutnya, para binatang tersebut dapat naik ke derajat yang lebih tinggi, dan bisa terlahir sebagai manusia. Sekarang, terkait upacara Tumpek Kandang, bagaimana implementasi nyata kita untuk membantu menyelamatkan lingkungan dan menghargai semua mahkluk?

Saat ini banyak orang memilih menjadi seorang vegetarian, sebagai sebuah alternatif hidup berkualitas di era modern. Di Indonesia masyarakat masih beranggapan, bahwa orang menjadi vegetarian adalah karena larangan agama atau aliran kepercayaan (sampradaya) tertentu dan belum menjadi sebuah gaya hidup. Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa dulu menjadi seorang vegetarian adalah karena mengikuti ajaran agama, sebagaimana dalam agama Hindu diajarkan Ahimsa, yang berarti tidak membunuh dan menyakiti, dan dalam agama Buddha mengenai dharma, cinta kasih dan kasih sayang terhadap semua makhluk. Namun jika kita maknai lebih mendalam, sebenarnya vegetarian adalah gaya hidup yang universal dan tidak terkait dengan agama tertentu.

Menjadi vegetarian bukan berarti orang tersebut tidak suka atau tidak mampu membeli daging, tentu ada alasan lain yang melatarbelakanginya. Seiring dengan kemajuan jaman, motivasi orang untuk menjadi vegetarian pun mulai berkembang, baik karena alasan medis, gaya hidup sehat, bahkan di sejumlah negara maju bergeser menjadi demi lingkungan dan etika. Demi lingkungan, karena untuk menghasilkan daging dalam skala besar diperlukan energi dan sumber daya yang besar pula, yang berimbas pada kerusakan lingkungan, dan di negara-negara maju hal tersebut menjadi isu penting. Sedangkan etika berhubungan dengan perilaku manusia yang keji, kejam dan semena-mena terhadap binatang. Selama manusia belum bisa menciptakan kehidupan, maka selama itu pula ia tidak berhak mengambil hak hidup (membunuh) mahkluk lain. Bagi kaum vegetarian, pembunuhan terhadap binatang sangat dihindari.

You are what you eat, atau Anda adalah apa yang Anda makan, merupakan ungkapan yang sangat populer di dunia Barat. Perilaku yang kejam dalam proses memperoleh, memperoses dan mengkonsumsi daging, akan memberikan dampak negatif bagi orang yang melakukannya. Para penikmat daging biasanya cendrung agresif, cepat marah, mudah stress dan lebih sering sakit. Sebaliknya kaum vegetarian cenderung lebih mampu menjaga kestabilan emosinya dan lebih jarang sakit. Untuk itu, gaya hidup vegetarian akan memberikan dampak positif bagi fisik-psikis manusia dan lingkungan hidup sekitarnya.

Perayaan Tumpek Kandang adalah upaya umat Hindu untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan berbagai hewan peliharaannya, baik unggas, babi, kambing, sapi dan sebagainya. Khusus sapi, dalam kitab suci Veda, disebutkan mengenai keangungan sapi dalam agama Hindu, bahwa sapi merupakan hewan yang sangat suci dan sangat mulia. Sapi diibaratkan sebagai seorang ibu yang memberi makan, memberi susu dan menyayangi anak-anaknya. Di jaman dahulu, masyarakat agraris menggunakan sapi dan kerbau untuk membantu proses pertanian dan transportasi, susunya diolah menjadi susu segar, ghe, yogurt, keju dan lain-lain, sedangkan kotorannya dipakai sebagai pupuk dan sarana penting upacara Agnihotra. Sedemikian besar jasa sapi bagi manusia, sehingga agama Hindu dengan jelas melarang umatnya untuk membunuh dan mengkonsumsi daging sapi, apalagi di luar kepentingan yadnya atau upacara.

Ironisnya, pembantaian sapi besar-besaran justru terjadi di Bali. Bukan hanya umat lain dan para wisatawan asing saja yang mengkonsumsi sapi, namun sekarang banyak umat Hindu yang tidak malu-malu lagi untuk menyantap olahan sapi, mereka sangat menggemari makanan-makanan berbahan dasar sapi, seperti bakso sapi, lawar sapi (godel), sate sapi, soto sapi, bahkan kuliner asing seperti steik sapi selalu ramai pengunjung. Dan yang paling disayangkan, di Bali telah dibangun Rumah Potong Hewan (Sapi) bertaraf internasional yang berlokasi di Gianyar, RPH ini menyedot anggaran pemerintah pusat dan pemda lebih dari 16 milyar. Jumlah yang sangat fantastis.
Sangat ironis memang, ajaran Hindu yang sangat memuliakan sapi, dimana sapi sebagai hewan suci dan lambang kendaraan Dewa Siwa justru dibantai besar-besaran di Bali. Upacara Tumpek Kandang yang seharusnya menjadi wujud penghargaan kita kepada para binatang terkadang hanya menjadi seremonial semu semata. Hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai moral agama di masyarakat telah dikalahkan oleh kilauan materi. Seharusnya kita bisa meneladani para sulinggih/pendeta dan pemangku yang memang sudah memahami ajaran Hindu dengan baik, dengan tidak mengkonsumsi daging, terutama daging sapi.

Sebaliknya, daripada membuat Rumah Potong Hewan dengan biaya mahal, alangkah baik dan mulianya jika di Bali justru dibangun peternakan susu sapi terbesar, dengan melibatkan serta memberdayakan masyarakat lokal. Untuk memperoleh susu berkualitas baik, maka sapi-sapi tersebut harus diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang. Di Bali, pangsa pasar produk susu dan hasil olahannya masih terbentang luas, kebutuhan produk olahan susu sampai saat ini masih mengandalkan pasokan dari Jawa dan luar negeri. Agar berhasil, tentu saja rencana ini harus ditopang oleh manajemen serta pemasaran yang baik dan professional, dengan SDM-SDM yang berkualitas Jika ini bisa diwujudkan, maka taraf hidup masyarakat bisa terbantu, tanpa harus melakukan pembantaian terhadap sesama mahkluk ciptaan Tuhan.


Penulis: Nararya Narottama
Disadur sesuai dengan aslinya dari tulisan: http://majalahhinduraditya.blogspot.com/2013/06/tumpek-kandang-antara-konsep-dan.html

0 komentar:

Posting Komentar

Kami sangat berterima kasih kepada Anda yang berkenan menyampaikan komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites