Kamis, 22 Agustus 2013

Banten Pejati - Cara Membuat dan Kajian Filosofis

Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang disampaikan dalam bahasa tulis, misalnya pustaka Veda Samhita dalam bahasa Sanskerta, ada yang disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya. Di Indonesia disampaikan dalam bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dalam bahasa Bali.

Di samping itu, Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam, dengan menggunakan  banten sebagai sarana. Dalam “Lontar Yajña Prakrti” disebutkan:
sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana
artinya:
semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).

Banten Pejati adalah nama banten atau sesajen yang dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan prabhava-Nya. Dalam “Lontar Tegesing Sarwa Banten” dinyatakan:
Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang
artinya:
Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.

Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap, yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung makna diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.

Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati ke hadapan Hyang Widhi dan manifestasi-Nya akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.

Unsur-unsur banten pejati meliputi daksina, banten peras, banten ajuman/soda, ketupat kelanan, penyeneng/tehenan/pabuat, pesucian, dan segehan alit. Sarana yang lain mencakup daun/plawa sebagai sebagailambang kesejukan, bunga sebagai lambang cetusan perasaan, bija d lambang benih-benih kesucian, air sebagai lambang pawitra/amertha, dan api sebagai lambang saksi dan pendetanya Yajna.
Ketupat kelanan dibuat dengan alas tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat, rerasmen/lauk pauk dan 1 butir telor matang, dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari. Ketupat kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.

Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu: peras kepada Sanghyang Isvara, daksina kepada Sanghyang Brahma, ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu, dan ajuman kepada Sanghyang Mahadeva

Penjelasan Bahan Banten Pejati Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten;
Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian
Artinya: 
Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu. 
Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo
Artinya: 
Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan
Artinya: 
Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaiyu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.
Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan
Artinya; 
Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu, Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang ditirukan.
Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih
Artinya: 
Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaanny, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan

Mudah-mudahan pemahaman sebagaimana diuraikan di atas dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu dalam membuat dan menghaturkan Banten Pejati dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang penuh dengan simbol-simbol. Semoga uraian ini dapat mengikis dogma “Anak Mula Keto” pada masa yang akan datang.

0 komentar:

Posting Komentar

Kami sangat berterima kasih kepada Anda yang berkenan menyampaikan komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites